GEDUNG bekas kolonial Belanda berukuran separuh lapangan sepak bola itu nampak tak terawat. Dinding beton setebal setengah meter kondisinya mengelupas, berjamur, dan dipenuni akar tanaman perdu. Meski begitu, konstruksi ini masih berdiri kokoh di dekat permukiman warga Dusun Bendorejo, Desa Cangkring, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar.
Di balik usangnya tembok gedung itu, siapa yang menyangka jika bangunan tersebut dulunya adalah pusat industri raksasa di era Belanda. Ketika masih beroperasi sekitar seratus tahun lalu, Pabrik Bendoredjo memproduksi karung goni dan tapioka yang diekspor hingga ke mancanegara.
“Belanda mendirikan Pabrik Bendoredjo untuk semakin menambah penghasilan, selain dari komoditas gula,” kata Yazid Bustomi, Senin 9 Agustus 2021.
Anggota Komunitas Pelestari Sejarah dan Budaya Khadiri (PASAK) menambahkan, pada tahun 1900an, karung goni dan tapioka berperan penting dalam aktivitas dagang dunia. Dalam buku Handbook of the Netherlands East Indies disebutkan, karung digunakan sebagai wadah pengemas gula kristal, beras, dan tepung. Selain itu, juga dimanfaatkan untuk membuat benteng pelindung pasukan perang. Sedangkan tapioka atau pati singkong yang dihaluskan, dijadikan bahan baku lem, permen karet, tekstil, dan mebel.
Dari pusat pengolahan yang berlokasi di lereng barat Gunung Kelud, karung dan tapioka kemudian dikirim ke berbagai negara seperti Inggris, Belgia, Jerman, dan Amerika. Sirkulasi produk ekspor Hindia Belanda semakin lancar karena dibukanya Terusan Suez pada 1870. Jika pada abad 17 perjalanan laut dari Jawa ke Eropa memakan waktu hingga 8 bulan, melalui Terusan Suez, hanya membutuhkan waktu sekitar sebulan saja.
“Pabrik Bendoredjo bisa dibilang merupakan pabrik karung goni terbesar Belanda ketika menjajah Indonesia,” ujar Tomi.
Dari kajian literatur yang dilakukan Tomi, pabrik seluas dua hektar ini dulunya masih berada di bawah naungan Afdeling Kediri. Ketika masih beroperasi, kegiatan industri pabrik mempekerjakan teknisi dari luar negeri seperti Jerman dan Inggris. Sedangkan para buruh berasal dari wilayah Karesidenan Kediri seperti Blitar dan Tulungagung.
Secara administratif, pabrik ini dikelola oleh perusahaan swasta Belanda, Handels Vereeniging Amsterdam (HVA). Dalam catatan sejarah, korporasi itu didirikan karena terkurasnya uang kas Belanda untuk membiayai perang melawan Pangeran Diponegoro. Pada peristiwa Perang Jawa yang terjadi pada 1825 hingga 1830 itu, biaya selangit yang digelontorkan nyaris membuat Belanda bangkrut.
Demi menyehatkan kembali neraca keuangan Belanda, maka didirikanlah pabrik-pabrik besar di bawah naungan HVA, salah satunya Pabrik Bendoredjo. Lewat upaya itu, kantong Kerajaan Belanda kembali gemuk. Total laba yang didapat HVA dari tahun 1878 hingga 1939 senilai 30 miliar gulden. Jika dikonversi ke nilai mata uang sekarang, totalnya sekitar 215 Triliun Rupiah.
“Untuk menjaga kelancaran produksi, saat itu hampir seluruh perkebunan di barat lereng Kelud ditanami pohon agave (serat nanas) dan singkong,” kata Ganang Widiyanto Kakiyat.
Pria yang akrab disapa Ganang Parto menjelaskan, informasi tersebut dia dapat dari kakeknya, Sari Rahardjo. Semasa hidup, Mbah Sari bekerja sebagai teknisi mesin di Pabrik Bendoredjo. Dari kisah itu juga disebutkan, infrastruktur dilengkapi dengan instalasi rel kereta uap yang menghubungkan perkebunan hingga Pabrik Bendoredjo.
Di sepanjang lahan sebelah barat Gunung Kelud itu, hampir di semua area pertanian terhampar pohon singkong dan agave. Tumbuhan agave merupakan tanaman perdu dari Meksiko Tenggara yang masih satu kerabat dengan nanas. Bedanya, daun-daun agave berukuran lebih panjang mirip pedang.
Daun agave diambil seratnya untuk dijadikan kain goni dengan cara dijemur, disisir, kemudian diikat. Sementara jantung atau buah tanaman bernama latin sisalana itu digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan tequila.
Ganang melanjutkan, kapasitas mesin yang digunakan Pabrik Bendoredjo tergolong paling canggih jika dibandingkan pabrik lainnya di karesidenan Kediri. Menurut cerita kakeknya, pada tahun 1930 hingga 1940an, mesin pengolah agave dan singkong sangat sering mengalami perbaikan dan perawatan. Hal itu disebabkan tingginya intensitas produksi yang terus bergulir setiap harinya.
“Dokumen lama Belanda menyebutkan, pada 1935 pabrik itu sempat merilis produk baru berupa tas,” kata Tomi.
Akan tetapi, Pabrik Bendoredjo akhirnya menghentikan produksi ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942. Pabrik seluas 2 hektar yang sudah terbengkalai, akhirnya benar-benar rata dengan tanah memasuki masa Agresi Militer Belanda pada 1947-1949.
Konstruksi bangungan hancur total. Jalur rel, pondasi pabrik, maupun gawang pintu yang terbuat dari besi, seluruhnya diambil warga. Aksi penjarahan itu dilakukan karena setelah Indonesia merdeka pada 1945, masyarakat dilanda kesulitan ekonomi.
“Seluruh aset Pabrik Bendoredjo sebenarnya sudah menjadi milik Pemerintah Indonesia,” kata Tomi.
Hal itu ditandai dengan Undang-undang No. 86 mengenai nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 27 Desember 1958. Meski sudah dikuasasi, tidak semua aset perusahaan dan perkebunan senilai 600 Juta Gulden atau hampir 5 Triliun Rupiah itu dapat dilanjutkan.
Salah satunya, Pabrik Bendoredjo yang terletak di Desa Cangkring, Kabupaten Blitar. Usai kemerdekaan, kesuksesan pabrik yang di masa penjajahan Belanda berhasil merajai ekspor karung goni dunia ini gagal diteruskan. Keberadaannya hanya menyisakan gedung dan cerobong asap tua yang posisinya sudah miring beberapa derajat mirip Menara Pisa. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post