KEBERADAAN relief pada sebuah candi bukan sekadar menampilkan kesan estetik saja. Pahatan tiga dimensi itu berfungsi layaknya sebuah naskah yang menceritakan peristiwa atau kisah tertentu. Salah satunya yaitu relief yang terdapat pada dinding Candi Tegowangi yang berada di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Relief candi peninggalan Kerajaan Majapahit itu memuat berbagai informasi seperti kondisi sosial, budaya, maupun ekologi di masa lalu. Visualisasi kehidupan masyarakat Jawa kuno itu terselip di antara gambar relief kisah Sudamala. Cerita pewayangan itu berisi adegan-adegan pensucian Dewi Durga yang dilakukan oleh Sadewa, tokoh bungsu dalam cerita Pandawa.
Dia menjelaskan, model busana masyarakat biasa dapat dilihat pada pahatan relief Candi Tegowangi di bagian barat. Panil itu menampilkan seseorang sedang memikul hasil bumi. Hal tersebut bisa diartikan jika kehidupan warga bergantung pada sektor pertanian. Sedangkan relief di sisi selatan terukir seseorang yang membawa tombak, sedang berburu kelinci dan kuda.
“Di balik cuplikan epos Mahabharata itu, tergambar pula suasana keseharian warga seperti cara berpakaian dan mata pencaharian masyarakat pada zaman dulu,” ujar Nur Ali, Juru Pelihara Candi Tegowangi, Kamis 15 Juli 2021.

Nur Ali melanjutkan, di panil sebelah timur terdapat dua orang yang sedang terlibat adu gulat. Ada juga gambar pria mengendong gajah menunjukan yang menunjukkan sifat kearoganan manusia. Selain itu, digambarkan pula sosok keseharian pria Jawa yang tidak memakai apa-apa selain celana pendek hingga lutut.
“Gambaran pakaian pada relief Candi Tegowangi menunjukkan kelas sosial pada masyarakat Jawa Kuno,” kata Aang Pambudi Nugroho, kandidat master Arkeologi Universitas Gajah Mada.
Dia menerangkan, begawan atau orang yang mempunyai kedudukan tinggi dengan rakyat jelata dapat dibedakan melalui busana yang dikenakan. Sehingga, hal tersebut tentu berpengaruh pada perbedaan bahan, bentuk, serta motif hias.
Misalnya, penggambaran cara berpakaian sosok wanita begawan seperti ukiran Dewi Kunti di Candi Tegowangi. Ibu dari Nakula dan Sadewa tersebut mengenakan kemben dengan selendang yang disampirkan ke bahu. Setelan busana itu dilengkapi sejumlah perhiasan seperti anting, kalung, dan gelang.
Sementara pakaian pria begawan seperti sosok Nakula dan Sadewa mengenakan celana pendek hingga lutut dengan dilengkapi ikat pinggang. Gaya rambut disanggul ke belakang dihiasi mahkota, lengkap dengan berbagai aksesoris yang menempel di badan.
“Kala itu, masyarakat biasa mengenakan pakaian hanya untuk menutupi dan melindungi, sedangkan kalangan kerajaan, memiliki fungsi lebih yaitu menghias tubuh,” kata Aang.
Akan tetapi, meski sudah diketahui bagaimana bentuk busana, hingga kini masih sulit mengidentifikasi jenis kain apa yang dikenakan masyarakat Jawa kuno. Satu-satunya informasi tertulis yang bisa dijadikan rujukan adalah catatan pedagang Cina dari dinasti Song.
Berita itu menyebutkan, masyarakat Jawa banyak yang memelihara ulat sutra dan menenun kain sutra. Selain itu, penduduk sudah memakai baju dari bahan katun atau kain dari serat alami tanaman kapas.
Candi Tegowangi seperti yang tertulis dalam Kitab Pararaton merupakan tempat Pendharmaan Bhre Matahun. Dia adalah saudara ipar Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Menurut Kitab Negarakertagama, Bhre Matahun meninggal tahun 1388 M. Dari informasi itu dapat disimpulan, candi itu dibuat pada tahun 1400. Sebab, di era Majapahit, ritual penyimpanan abu jenazah di bangunan suci dilakukan 12 tahun setelah keluarga kerajaan meninggal. (Siti Nurul Fatimah, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNP Kediri, sedang magang di Kediripedia.com dalam Program Kampus Merdeka Kemendikbud)
Discussion about this post