HARI Aksara Internasional atau International Literacy Day yang diperingati tanggal 8 September, menjadi pengingat akan pentingnya pemberantasan buta huruf. Saat ini, hampir seluruh masyarakat di dunia memang telah sepakat menggunakan aksara latin sebagai alat berkomunikasi. Namun, tidak ada salahnya jika menengok kembali huruf-huruf asli warisan budaya Indonesia. Salah satunya, yaitu aksara Jawa Kuno yang mengiringi peradaban di Pulau Jawa pada era kerajaan.
Aksara Jawa Kuno tergolong unik. Banyak sekali variasi gaya penulisan yang tertera di prasasti maupun lembaran naskah dari kerajaan masa Hindu-Buddha. Dalam istilah arkeologi, perbedaan corak itu dikenal dengan sebutan paleografi. Di antara ratusan jenis aksara itu, salah satu corak yang masih dikaji hingga kini yaitu gaya Kuadrat yang berasal dari Kerajaan Kediri pada abad 11 Masehi.
Aksara ini mempunyai ciri khas berbentuk persegi dan ditulis timbul dari permukaan medianya. Huruf-hurufnya menonjol ke luar, mirip relief candi. Selain itu, keberadannnya dilengkapi dengan hiasan ukir tumbuh-tumbuhan serta ornamentasi ular.
Dari kajian budaya, huruf ini bisa dibilang merupakan identitas budaya dari Kerajaan Kediri. Hal tersebut bisa dilihat gaya Kuadrat yang tertera di goa pertapaan, batu monolit, komponen bangunan candi, artefak batu (terutama arca), prasasti, dan fragmen benda kuno lainnya.
Aksara kuadrat tersebar di segala penjuru mata angin kawasan dataran rendah sekitar Gunung Wilis. Berdasarkan persebaran prasasti-prasastinya, Kerajaan Kediri memiliki struktur wilayah kekuasaan atau geopolitik meliputi Kediri, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, dan Nganjuk.
Pada era kejayaan Kerajaan Kediri, huruf kuadrat juga berfungsi menandai pengaruhnya pada daerah-daerah di sekitarnya. Persebaran aksara kuadrat meliputi Wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah (tebing batu di Dataran Tinggi Dieng), Bali, ada juga yang ditemukan Candi Muaro Jambi di Sumatera.
Menurut catatan sejarah, aksara kuadrat tertua muncul pada era setelah masa pemerintahan Raja Mpu Sindok. Prasasti tertua bertuliskan aksara kuadrat ditemukan pada Situs Petirtaan Jalatunda-Mojokerto. Inskripsi kuadrat tersebut pada situs tersebut berangka tahun 899 Śaka atau 977 Masehi.
Tulisan aksara kuadrat terus dilestarikan oleh anak keturunan Mpu Sindok lewat Dinasti Isyana (Iśanawaŋśa). Mulai Raja Dharmawaṃśa Têguh (± 996-1017 M), Airlangga (±1019-1041 M), hingga raja-raja yang memimpin Kerajaan Keḍiri abad XII Masehi. Hingga akhirnya diprediksi berakhir bertepatan dengan berakhirnya Kerajaan Keḍiri sekitar tahun 1220 Masehi.
Sebagai contoh nilai-nilai budaya peninggalan Kerajaan Keḍiri ditulis dengan aksara kuadrat, misalnya Inskripsi Situs Bioro yang berada di Kecamatan Kandangan, Kabupaten Kediri. Enskripsi kuno tersebut dibaca dari bawah ke atas, berbunyi “wwang wiku gwa kalaga”. Artinya, seorang wiku atau tokoh agama merahasiakan hubungan dengan orang lain.
Kalimat tersebut bermakna bahwa seorang wiku tidak boleh menjalin hubungan dekat dengan seseorang, yang nantinya menimbulkan perbuatan menyimpang. Sementara itu sebagai candrasengkalan lamba, tulisan tersebut mengandung angka tahun 1071 (Śaka atau 1147 Masehi).
Sebenarnya masih banyak lagi nilai-nilai budaya peninggalan dari Kerajaan Keḍiri yang dapat ditemukan pada tulisan-tulisan beraksara kuadrat, termasuk nilai menghormati guru pada Inskripsi Kebon Karet-Tulungagung. Namun satu contoh di atas dirasa cukup untuk disajikan dalam tulisan ini.
Pentingnya melek huruf atau aksara warisan budaya bagi masyarakat dalam memahami Kerajaan Keḍiri tidak hanya tahu tentang nama-nama raja dan peristiwa-peristiwanya. Hal yang lebih penting yaitu wawasan tentang nilai-nilai budaya yang telah diwariskan kepada generasi masa kini dan yang akan datang. Keberadaan aksara Kuadrat membuktikan bahwa para kawi (pujangga) dan citralekha (penulis prasasti) dari Kerajaan Keḍiri memiliki selera seni yang tinggi dalam penulisan aksara dan menunjang kreatifitasnya dalam berkarya.
Sebagai salah satu warisan budaya, Aksara Jawa sebenarnya masih dilestarikan. Aksara Jawa Baru atau Modern masih diajarkan pada pelajaran Bahasa Daerah (Jawa) di sekolah-sekolah. Meskipun demikian, tak sedikit masyarakat yang masih buta aksara Jawa.
Bertepatan dengan peringatan Hari Aksara Internasional, upaya membumikan literasi warisan budaya masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Aksara Jawa tidak dapat dipandang sebagai susunan huruf semata. Substansi pendidikan di dalamnya terdapat upaya meningkatkan jatidiri, martabat, dan hak asasi manusia. (A’ang Pambudi Nugroho, Kandidat Master Arkeologi Universitas Gajah Mada, Ketua Komunitas Jawa Kuno Sutasoma)
Daftar Pustaka
Casparis, J.G. 1975. Indonesian Palaeography, a History of Writting in Indonesia from the Beginnings to C. A. D 1500. Leiden: E.J.Brill.
Istari, R., Priswanto, H., Nugroho, A.P. 2017. “Tinggalan Arkeologi di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo”, Laporan Peninjauan Arkeologi. Yogyakarta: Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta.
Munandar, A.A. 2016. Arkeologi Pawitra. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Nastiti, T.S. 2016. “Perkembangan Aksara Kwadrat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali: Analisis Paleografi”, Forum Arkeologi XXIX (3): 175-188. Sedyawati, E. 1985. “Pengarcaaan Gaṇesa Masa Kaḍiri dan Siŋhasāri: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”, Disertasi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Discussion about this post