TANGGAL 5 Oktober diperingati sebagai Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Momen tersebut mengingatkan pada tokoh Panglima Besar Jenderal Sudirman. Dia adalah panglima perang di masa revolusi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949. Dalam peristiwa Palagan Ambarawa pada 1945, laskar yang dia pimpin berhasil memukul mundur pasukan Sekutu menggunakan strategi perang supit urang.
Sedangkan pada akhir tahun 1948 sampai pertengahan tahun 1949, Jendral Sudirman menerapkan taktik perang gerilya, menembus hutan rimba di perbukitan Gunung Wilis bagian timur atau wilayah Kediri (Djamhari dkk, 2010). Perjuangan Sudirman itu didampingi para prajurit dan rakyat yang sangat setia menjaga kedaulatan wilayah Indonesia. Peristiwa bersejarah tersebut sesuai dengan slogan masa kini, “TNI Kuat Bersama Rakyat”.
Sinergitas tentara dan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan itu, mirip dengan Kerajaan Kaḍiri abad XII Masehi ketika menjaga kedaulatan wilayah. Saat itu, Kerajaan Kaḍiri memang lebih memusatkan perhatian pada sistem pertahanan. Hal ini masih berhubungan dengan terjadinya peperangan secara terus-menerus akibat peristiwa pembagian kekuasaan Raja Airlangga atas Jenggala dan Pangjalu (Kaḍiri), dalam periode pemerintahan sebelumnya. Permasalahan tersebut tidak dapat terselesaikan sehingga mengakibatkan gejolak peperangan yang terjadi sewaktu-waktu.
Selama ini mungkin menjadi pertanyaan besar, mengapa Kerajaan Kaḍiri memiliki persebaran tinggalan arkeologi pada daerah-daerah yang jauh dari wilayah Kediri sekarang. Hal itu disebabkan, Kerajaan Kaḍiri memiliki kekuasaan berupa dataran rendah yang secara geografis dikelilingi benteng-benteng alam berupa pegunungan. Mulai dari Gunung Wilis yang membentang di bagian barat, Gunung Pandan di bagian utara, Pegunungan Anjasmoro-Kawi-Kelud di bagian timur, dan Pegunungan Selatan di bagian selatan.
Dataran rendah Kerajaan Kadiri amat subur akibat abu vulkanik Gunung Kelud, kaya sumber mata air, dan dilewati Sungai Brantas. Di tepi-tepi sungai itu dihuni oleh masyarakat yang disebut thāni (desa) dan wiṣaya (kumpulan beberapa thāni). Informasi itu didapat berdasarkan prasasti yang tersebar mulai dari Kabupaten Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Nganjuk, hingga Kecamatan Ngantang-Kabupaten Malang.
Keberadaan masyarakat thāni dan wiṣaya tersebut berperan penting, karena hidup di antara celah-celah lembah, jalur menuju pusat kerajaan. Misalnya Celah utara, antara Gunung Pandan-Anjasmoro; Celah timur, antara Gunung Kelud-Kawi-Anjasmoro; Celah tenggara, antara Gunung Kelud-Pegunungan Selatan, dan Celah barat daya, antara Gunung Wilis-Pegunungan Selatan.
Pengetahuan geopolitik dan geostrategi itu wajib dipahami oleh raja dan pejabat tinggi kerajaan lainnya. Misalnya, pejabat tinggi kemiliteran, prajurit, dan semua abdi dalem Kerajaan Kaḍiri yang bertugas menjaga kedaulatan wilayah. Para raja dan pejabat tinggi kemiliteran dengan gelar rakryan kanuruhan menempatkan beberapa batalyon-batalyon tempur di celah-celah lembah pegunungan jalur masuk menuju pusat kerajaan.
![](https://kediripedia.com/wp-content/uploads/2021/10/peta-kediri.jpg)
Fakta itu tertuang dalam Prasasti Jaring tahun 1181 Masehi (kode: BP-4), dari Desa Kembangarum-Blitar. Piagam itu menyebutkan adanya kelompok prajurit dengan bendera (makasikasir) bergambar kerbau, menjangan, lembu, dan gajah. Ada juga yang bergambar macan putih dan macan kumbang. Mereka bertugas menjaga perbatasan di celah tenggara.
Dalam prasasti dijelaskan bahwa pejabat militer pengaman perairan atau sungai disebut dengan Senapati Sarwwajala (Hardiati dkk, 2010). Sungai yang dimaksud tersebut tidak lain adalah Sungai Brantas, yang merupakan jalur masuk melalui perairan menggunakan perahu-perahu sungai (Brandes, 1913).
Sementara itu penjagaan perbatasan di celah barat daya dilakukan oleh batalyon tempur sāmya haji kataṇḍan sakapāt atau raja yang membawahi pejabat taṇḍa dari empat penjuru wilayah. Hal ini berdasarkan isi Prasasti Kamulan (1116 Śaka/1194 Masehi) (kode: TGP-1) dari Desa Kamulan-Trenggalek. Dikisahkan mereka memiliki kelompok prajurit dengan bendera bergambar kerbau, singa, dan nama raja. Mereka pernah menghadapi musuh dalam jumlah besar berasal dari timur.
Dalam naskah Kakawin Sumanasāntaka diceritakan bahwa sāmya haji merupakan prajurit tangguh dan sangat setia kepada raja. Selain itu, mereka memiliki pengetahuan tentang wyūha (formasi/strategi perang) (Brandes, 1913; Worsley dkk, 2014). Keberadaan batalyon tempur dengan beberapa kelompok prajurit berbendera (makasikasir) tersebut tersebar hingga daerah Tulungagung Selatan, seperti tertulis dalam Prasasti Lawadan (1127 Śaka/ 1205 Masehi) (kode: TL-3) dari Desa Wates-Tulungagung (Komaruzaman, 2005).
Ketika para panglima perang dan prajurit Kerajaan Kaḍiri melaksanakan tugas menjaga keamanan dan kedaulatan, mereka dibekali pengetahuan beberapa bentuk formasi perang atau dalam bahasa Jawa Kuno disebut wyūha. Dalam Kakawin Bharatayuddha diceritakan terdapat beberapa bentuk formasi. Antara lain, wukir-sagara wyūha, formasi gunung-samudra; wajratikshnna, formasi mirip senjata bajra; garudda wyūha, formasi garuda; gajamatta wyūha, formasi gajah mengamuk; cakra wyūha, formasi roda; makara wyūha, formasi supit urang, dan beberapa formasi/strategi perang lainnya (Wirjosuparto, 1968).
Sementara itu, dua celah di bagian utara dan timur telah dijaga oleh kekuatan unsur masyarakat. Mereka sejak lama sudah memiliki kesetiaan kepada para raja Kerajaan Kaḍiri secara turun-temurun dan memiliki jiwa militerisme (Sapto, 2013). Pertahanan dan pengamanan celah utara dalam membendung serangan musuh, dibuktikan pada Prasasti Mātaji (973 Śaka/ 1051 Masehi) (kode: NP-1) dari Desa Bangle-Nganjuk. Sementara itu pertahanan dan pengamanan celah timur dibuktikan dalam Prasasti Hantang (1057 Śaka/ 1135 Masehi).
Kitab Kakawin Sumanasāntaka menceritakan ketika terjadi serangan musuh secara mendadak, maka akan dipukul kentongan sebagai tanda bahaya (Brandes, 1913; Prabarani, 2009; Worsley dkk, 2014). Mereka yang akan ikut berperang akan tetap bersiap-siaga dengan senjata-senjatanya dalam menghadapi musuh, sementara yang tidak ikut berperang akan mengungsi di daerah-daerah aman. Ketika terjadi huru-hara peperangan, raja beserta keluarganya berada di tangan prajurit pangalasan atau pasukan pengawal pribadi raja.
Para prajurit pangalasan Kerajaan Kaḍiri telah mampu bertindak dengan cepat dan sangat mengenali daerah-daerah yang aman untuk mengamankan raja dan keluarganya dari serangan musuh. Hal itulah yang menjadi alasan kenapa pada abad XII Masehi, para raja dari Kerajaan Kaḍiri selalu selamat dari serangan musuh dan dapat kembali ke tahtanya. Mereka sudah mengetahui sistem mitigasi bencana menghadapi bahaya peperangan yang tersusun secara matang.
Kerajaan Kaḍiri akhirnya jatuh pada tahun 1144 Śaka/1222 Masehi, akibat serangan pasukan Ken Angrok dari Tumapel. Perisiwa itu diceritakan pada Kitab Pararaton. Kekalahan tersebut diperkirakan karena bocornya strategi pertahanan dan pengamanan akibat para Bhujangga Śewa-sogata dari Daha mengungsi ke Tumapel.
Mereka meninggalkan Kadiri tersinggung atas ulah Raja Kaḍiri terakhir bernama Dandang Gendis (Krtajaya) yang memaksa untuk menyembahnya. Sejak itu wilayah Daha yang dahulu menjadi kekuasaan Kerajaan Kaḍiri, menjadi daerah bawahan (vassal) dari Kerajaan Singhasari (Sedyawati, 1985; Hardiati dkk, 1990; Padmapuspita, 1966; Hardiati dkk, 2010).
Sistem pertahanan dan keamanan Kerajaan Kaḍiri bukan hanya menggunakan benteng alam berupa deretan pegunungan. Tapi juga diperkuat dengan sinergitas prajurit dan rakyat kerajaan, Widya Nayati menyebutnya benteng jiwa. Sistem tersebut telah mampu menyelamatkan Kerajaan Kaḍiri dalam satu setengah abad lebih dua puluh dua tahun.
Benteng tersebut berakhir karena penghianatan sekelompok kaum Bhujangga Śewa-sogata yang mengetahui kelemahan-kelemahan dari sistem pertahanan dan keamanan yang telah diciptakan oleh para raja, pejabat tinggi dan pejabat militer kerajaan serta diwariskan secara turun-temurun. Peristiwa bocornya strategi pertahanan Kerajaan Kadiri dapat menjadi pelajaran pada masa sekarang. Selain pertahanan militer berupa pasukan dan piranti perang lainnya, unsur yang tak kalah penting adalah benteng jiwa kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk tetap mempertahankan kedaulatan. (A’ang Pambudi Nugroho, Sejarawan dan Pendiri Komunitas Jawa Kuno Sutasoma)
Daftar Pustaka
Brandes, J.L.A. 1913. “Oud Javaansche Oorkonden (OJO)”, Verhadelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (VBG), Dell. I-CLVI, Batavia Albrecht & Co, ‘s Hage M. Nijhoff.
Djamhari, S.A., Santoso, R., Imran, A., Ardhiati, Y., Wulan, A., Ferdinandus, P., Mahayana, M.S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. (S.A. Djamhari, Ed.). Jakarta: Balai Pustaka.
Hardiati, E.S., Soeroso, Suhadi, M. 1990. “Laporan Penelitian Situs Kepung, Kediri, Jawa Timur”, Berita Penelitian Arkeologi No. 40. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hardiati, E.S., Djafar H., Soeroso, Ferdinandus, P.E.J., & Nastiti, T.S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. (E.S. Hardiati, Ed.). Jakarta: Balai Pustaka.
Komaruzaman, A. 2005. “Prasasti Lawadan 1127 Śaka (Suatu Kajian Ulang)”, Skripsi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Padmapuspita, K.J. 1966. Pararaton: Teks Bahasa Kawi, Terjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Taman Siswa.
Prabarani, S.S. 2009. “Prasasti Mātaji: Sebuah Kajian Data Sejarah”, Skripsi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Sapto, A. 2013. “Perang, Militer dan Masyarakat: Pemerintahan Militer pada Masa Revolusi dan Pengaruhnya pada Indonesia Kini”, Sejarah dan Budaya VII (1): 18-32.
Sedyawati, E. 1985. “Pengarcaaan Gaṇesa Masa Kaḍiri dan Siŋhasāri: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian”, Disertasi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Wirjosuparto, S. 1968. Kakawin Bharata-Yuddha. Djakarta: Bhratara.
Worsley, P., Supomo, S., Fletcher, M., & Hunter, T.H. 2014. Kakawin Sumanasāntaka: Mati Karena Bunga Sumanasa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Discussion about this post