SAAT masih berusia 12 tahun, Ikin Sodikin Mustari iseng membuka lemari sang kakek. Tanpa sengaja dia menemukan kertas berwarna kekuning-kuningan yang dijadikan alas baju. Usai dibaca, lembaran itu ternyata adalah koran Harian Indonesia Raya tahun 1958. Surat kabar di era Orde Lama ini menjadi koleksi pertamanya, sekaligus mengawali hobi menyimpan produk media cetak terbitan lawas.
Selama hampir 30 tahun, pria kelahiran Subang, Jawa Barat ini telaten mengumpulkan tabloid, majalah, dan koran. Total koleksinya kini mencapai lebih dari 3000 edisi periode 1950an hingga 2000an yang diterbitkan 300 media. Tidak hanya media di Indonesia, tapi juga koran luar negeri seperti Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Belanda, Australia, dan sejumlah negara kawasan Timur Tengah.
“Surat kabar lawas saya dapat dengan membeli dan meminta langsung kepada perusahaan media, ada juga lewat barter dengan kolektor lain,” kata lelaki yang akrab disapa Kin Sanubary, pada Senin 21 Juni 2022.
Pria 51 tahun ini berhasil mendapat koran lawas mancanegara dari siaran radio luar negeri. Berkat kemampuannya berbahasa inggris, Kin kerap menghubungi radio mancanegara untuk meminta koleksi surat kabar. Di antaranya, Radio Australia (ABC) Melbourne, BBC London, Radio Voice of America (VOA) Washington, Radio Nederland, Radio Deutsche Welle Jerman, dan beberapa radio lainnya. Dia juga menjalin komunikasi dengan kedutaan besar asing di Jakarta untuk mendapat koran terbitan lama dari berbagai edisi.
Dengan koleksi benda langka itu, dia mengaku jika banyak kolektor yang hendak membelinya. Daripada dijual, Kin lebih memilih barter atau dihibahkan untuk kepentingan kearsipan dan akademik. Sejauh ini, dia kerap memberikan dan meminjamkan koleksinya sebagai bahan penelitian, disertasi, skripsi, bahkan penulisan buku ataupun biografi.
“Banyak jurnalis senior yang datang dan ingin melihat karyanya puluhan tahun silam untuk bernostalgia,” ujar ayah 3 anak ini.

Kin menjelaskan, koran koleksi tertuanya yaitu terbitan media cetak pada tahun 1950an. Sebagian besar sudah tidak berproduksi lagi. Salah satunya, Koran Indonesia Raya yang berkali-kali diberedel, baik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Soeharto.
Selain Koran Indonesia Raya, ada juga koran yang eksis hingga era Orde Baru misalnya Kabar Nusantara dan Suara Indonesia. Sejumlah surat kabar nasional edisi lama yang juga dikoleksi antara lain Kompas, Tempo, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, dan Detik. Beberapa di antaranya dalam bentuk tabloid maupun majalah, termasuk Prioritas, media yang tahun 1986 dibredel Orde baru, sempat dihidupkan lagi di era reformasi namun kini kembali mati.
“Dari ribuan koleksi ada juga koran yang terbit di berbagai daerah di Indonesia,” kata pria yang kini bekerja sebagai distributor di salah satu perusahaan swasta.
Sedangkan surat kabar luar negeri yang dikoleksi antara lain London Evening Standard, The Financial Times, Metro, Daily Mail, danThe Telegraf dari Inggris. Ada juga yang dari Jerman yakni Die Zeit, Bild, danFrankfurter Zeitung.
Dari media Australia yaitu The Australian, The Sydney Morning Herald, The Canberra Times, The Financial Review, The Age, The Sun, dan The Daily Telegraph. Dari Belanda yaitu Algemeen Dagblad, De Telegraaaf, dan De Volkrant. Sedangkan dari Prancis yakni, Le Monde danLiberation. Dari Amerika adaUSA Today, Washington Post, danNew York Times, serta media cetak dari berbagai negara lainnya.

Hobi yang ditekuni ini mulai mendapat banyak apresiasi usai Kin mengunggah foto koran lama di media sosial pada 2015. Dia kini masih aktif memposting koran lawas itu di Facebook dan Instagram dengan nama akun Kin Sanubary. Dari situlah kemudian sejumlah media di Indonesia dan mancanegara banyak yang tertarik meliput kisahnya. Koran koleksinya sempat dipamerkan di kantor media Pikiran Rakyat di Bandung pada acara kunjungan Presiden Joko Widodo.
Berkat majalah di tahun 1980-an, Kin juga mendapat apresiasi dari artis di Indonesia yang eksis pada era tersebut. Tabloid itu memuat kisah perjalanan para penyanyi sebelum mereka terkenal. Kin diundang untuk berjumpa dengan artis seperti Doel Sumbang dan Renny Djajusman.
“Saya rutin menulis resensi dari beberapa edisi majalah lama untuk portal berita online di Jakarta,” ujarnya.
Ke depan, Kin berharap ada pihak yang bisa diajak bekerjasama untuk memindahkan koleksinya ke format digital. Dia merasa ketekunannya ini tak hanya dipandang sebatas hobi atau nostalgia pada kejayaan media cetak. Ini bagian dari kerja intelektual karena ribuan surat kabar lawas itu menjadi rekaman perjalanan bangsa. Jika senjakala media cetak benar-benar terjadi, maka koleksi ini akan menjadi memorabilia penting bagi pers di Indonesia dan dunia. (Ahmad Eko Hadi)
Discussion about this post