SARONGGE, sebuah dusun di Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur ini tak hanya dikenal lewat desa wisata yang menyuguhkan keindahan alam Gunung Gede. Kawasan di ketinggian 1000-1600 Mdpl itu juga populer dengan produksi Kopi Sarongge. Kopi berjenis arabica ini memiliki cita rasa khas. Ada sensasi manis yang bercampur rasa asam segar dari buah, karena kopi ditanam berdekatan dengan tanaman buah endemik hutan tropis.
Kepopuleran Kopi Sarongge tak lepas dari sosok Tosca Santoso. Dia mendampingi para petani untuk menanam kopi di bawah rindangnya pohon hutan. Selain tanaman endemik Jawa Barat, tumbuhan penaung kopi dikombinasi buah-buahan seperti nangka, alpukat, petai, pusparasmala, suningten, dan kayu manis.
“Petani Sarongge menanam kopi bukan hanya untuk menambah penghasilan, tetapi juga bagian dari upaya merawat hutan,” kata pria berusia 57 tahun itu kepada Kediripedia.com pada Selasa, 7 Juni 2022.
Sebelum kini mengelola Kopi Sarongge, Tosca dikenal sebagai aktivis dan jurnalis. Nama aslinya yaitu Santoso. “Tosca” sebenarnya adalah nama samaran ketika bergerilya pada rezim Orde Baru. Dia sempat diburu karena berdemo di depan gedung Dewan Pers usai dibredelnya tiga media yakni Tempo, Editor, dan Detik pada tahun 1994.
Tosca kemudian ikut mendirikan organisasi profesi wartawan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), yang di masa Orde Baru dianggap sebagai organisasi terlarang. Dia juga pernah ditangkap polisi ketika mengadvokasi petani Cimacan yang tanahnya hendak dijadikan lapangan golf Cibodas.
Lelaki yang juga pendiri Kantor Berita Radio 68H itu bercerita, perkenalannya dengan warga Dusun Sarongge dimulai pada tahun 2008. Lewat program Green Radio dari KBR 68H, kedatangan Tosca awalnya hendak menjalankan reforestrasi atau penghijauan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo.
Selama puluhan tahun, para petani memanfaatkan tanah seluas puluhan hektar itu untuk ditanami sayuran. Dengan status lahan hutan konservasi, tindakan tersebut tentu ilegal. Tosca dengan gigih meyakinkan warga agar mau mengembalikan fungsi hutan, meski awalnya mendapat penolakan.
“Mereka tentu menolak, karena tanah itu menjadi sumber penghasilan mereka bertahun-tahun,” ujar sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Teknologi Pertanian itu.
Proses negosiasi akhirnya menghasilkan solusi terbaik bagi warga dan keberlangsungan hutan konservasi. Petani diberikan uang ganti rugi lahan. Tosca lalu menawarkan berbagai konsep ekonomi alternatif. Mulai dari ternak kambing, ternak kelinci, hingga merintis kebun sayur organik. Ada juga yang membuat industri rumahan seperti membuat sabun, minyak sereh, jamu, dan mengelola eco-wisata Sarongge.
Pria yang pernah menjabat sebagai komisioner Dewan Pers periode 2003-2006 ini mengajak warga menanam pohon di hutan konservasi, lewat program adopsi pohon. Tosca juga mengajak orang di luar kawasan Sarongge turut dalam program reforestrasi melalui pembelian senilai 108 ribu perpohon. Tanaman tersebut lalu dirawat para petani di Sarongge. Bekas kebun sayur seluas 38 hektar itu kini berubah menjadi hutan kembali dengan pohon-pohon setinggi 20 meter.
“Setelah 6 tahun berjalan, terkumpul sekitar 22.000 pohon lebih kini yang berdiri tegak di kaki Gunung Gede,” kata pria kelahiran Cilacap ini.
Kisah kegigihan Tosca dan para petani mengembalikan fungsi hutan didengar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada Januari 2013, Presiden SBY bersama para menterinya datang melihat langsung aktivitas warga Sarongge. Saung tempat presiden keenam Indonesia singgah itu kini dijadikan ikon desa. Kunjungan tersebut menghasilkan izin kelola atas hutan yang dipulihkan kepada koperasi petani Sugih Makmur. Mereka dipercaya negara memanfaatkan hutan untuk tujuan wisata dan pendidikan hingga sekarang.
Dengan keberhasilan program penghijauan itu, tugas Tosca sebenarnya sudah selesai. Namun, dia memutuskan untuk terus mendampingi para petani dalam proses reforestrasi dan menjaga hutan. Bahkan, Tosca kini menetap dan membangun rumah di Sarongge. Di sela aktivitas bersama warga, dia sempat menulis buku. Di antaranya, novel berjudul Sarongge, Cerita Hidup Rosidi: penyintas peristiwa 1965 di Sarongge, Ladu, dan Lima Hutan Satu Cerita.
Pada tahun 2015, Tosca dan petani Sarongge mulai menanam kopi dan mengajukan izin perhutanan sosial Februari 2018. Izin untuk petani yang tergabung dalam KTH Satria Mandiri itu dikeluarkan Juli 2018. Sebanyak 35 petani diizinkan mengelola hutan seluas 21,2 hektar.
“Kopi Arabica di sini ditanam dengan pola agroforestry. Mereka kembalikan kopi menjadi tumbuhan hutan,” kata Dewan Pengawas Kantor Berita ANTARA itu.
Teknik menanam inilah yang menghasilkan rasa dan khas kopi Sarongge. Tosca membuka rumah produksi olahan kopi pada tahun 2017. Usaha ini menampung dan mengolah hasil panen biji kopi dari petani. Hingga kini sejumlah warga dari 3 desa ikut menanam kopi, yakni dari Sarongge, Pakuwon, dan Ciherang. Sekitar 100 petani menjadi binaan Tosca dalam proses produksi kopi. Jika musim panen Tosca mampu memproses 2-3 kuintal biji tiap harinya, yang selanjutnya diproses kembali menjadi 11 varian minuman.
Pemasaran dilakukan secara langsung di sekitaran Jakarta, Bogor, dan Cianjur. Beberapa kedai mempercayakan pasokan pada merk kopi desa tersebut. Dibantu 12 karyawan, setiap bulan ia menjual sekitar 300 kilogram kopi.
Setiap akhir pekan, pusat produksi Kopi Sarongge membuka pintu bagi siapa saja yang ingin mengetahui kebun kopi, pengolahan kopi pasca panen, serta konservasi hutan hujan tropis. Di depan rumah produksi disediakan kedai kecil bagi pengunjung yang ingin langsung menikmati hasil olahan biji kopi.
Ketika diuji kualitasnya, kopi Sarongge mendapat skor 87.2 atau berpredikat cup of excellent. Adholk, kedai asal Jerman terpikat dan membeli produk kopi tersebut. Selain itu rumah produksi kopi tersebut pernah didatangi roaster asal Los Angeles dan Korea Selatan. (Ahmad Eko Hadi)
Discussion about this post