DIANGGAP sebagai spesies parasit dan hama perusak tanaman, siapa sangka jika bekicot bisa diolah menjadi kuliner lezat. Beragam masakan berbahan dasar daging siput ini dapat dijumpai di Dusun Djengkol, Desa Ploso Kidul, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri. Puluhan warung makan yang menjajakan sate bekicot, kerengsengan, keripik, lengkap dengan pusat oleh-oleh berbahan baku daging bekicot, berjejer di sepanjang jalan.
Uniknya, para penjual menyebut kuliner olahan daging kebicot ini dengan sate 02. Kode itu diambil dari angka judi togel yang disimbolkan sebagai kebicot. Alhasil, simbol 02 menjadi ciri khas dan dapat menarik perhatian para calon pembeli.
“Dalam sehari, biasanya 40 kilogram daging bekicot terjual,” ujar Lilik, salah seorang penjual sate bekicot, Minggu 4 Oktober 2020.
Dia menambahkan, di masa pandemi covid-19 jumlah pengunjung mengalami penurunan. Meski begitu, masih ada pelanggan yang datang ke warungnya. Mayoritas konsumen berasal dari Kediri, tapi banyak juga pelancong dari Surabaya dan Malang. Kebanyakan dari mereka membeli sate dan kripik bekicot untuk dibawa pulang.
Sebelum menjadi ikon kuliner seperti sekarang, bekicot dulunya adalah makanan sehari-hari warga Djengkol. Masyarakat terpaksa mengkonsumsi daging siput darat akibat krisis pangan saat penjajahan Jepang. Di kawasan yang dikelilingi rawa dan perkebunan tebu ini bekicot memang dapat dengan mudah dijumpai. Untuk mengatasi kelaparan, mayoritas warga berburu bekicot. Bahkan, mereka berhasil memasak daging bekicot hingga cita rasanya menyerupai paru sapi yang digoreng kering.
Kawasan Djengkol mulai terkenal dengan sate kebicot ketika memasuki tahun 1970an. Ide alternatif pangan ini dilirik Pemerintah Kabupaten Kediri dan Pemerintah Pusat pada era orde baru lewat kunjungan Menteri Penerangan, Harmoko. Masyarakat kemudian digerakkan membentuk budidaya atau ternak bekicot.
“Dulu peternak besar bekicot di sini namanya Sadi, warga Desa Ploso Kidul,” kata Mbah Hari, pedagang sate bekicot.
Dia menambahkan, daerah ini semakin dikenal sebagai penghasil bekicot ketika digunakan sebagai lokasi pembuatan film berjudul Ranjau-Ranjau Cinta pada 1984. Keramaian di tempat syuting film yang dibintangi Rano Karno dan Paramitha Rusady itu, dimanfaatkan warga untuk berjualan masakan daging bekicot. Salah satunya, Mbah Hari.

Perempuan berusia 68 tahun ini hampir separuh abad berjualan sate bekicot. Kebutuhan daging mentah dulunya diambil dari pengepul di daerah Sepawon, Kecamatan Wates. Usai sejumlah pengepul terdekat gulung tikar, pasokan daging diperoleh dari Pabrik Keong Nusantara Abadi di dekat Pabrik Gula Pesantren.
“Daging bekicot dari peternakan Djengkol diekspor ke Prancis sejak tahun 1980an,” ujar Mbah Hari.
Dari riset yang dilakukan Kediripedia.com, orang Prancis memang sangat menyukai masakan dengan bahan baku daging bekicot. Di negara yang terkenal dengan Menara Eiffel itu, bekicot populer dengan sebutan escargots. Bahkan, menu daging bekicot merupakan indikator apakah restoran tersebut menghidangkan masakan yang enak atau tidak.
Tekstur daging bekicot yang lembut membuat cara memasaknya cenderung mudah. Bisa dimodifikasi dengan macam-macam bumbu sesuai selera. Secara medis, daging maupun lendir bekicot berkhasiat mengurangi gatal-gatal, sesak nafas, tipes, luka-luka, dan paru-paru.
“Kalau habis berwisata dari Gunung Kelud, pulangnya pasti ke Djengkol, yang sering saya pesan sate dan krengsengan. Biasanya juga beli keripik untuk oleh-oleh,” ujar Yuni salah seorang pecinta Sate Bekicot 02 Djengkol asal Malang.
Yuni melanjutkan, kehadiran sate bekicot kian menambah kekayaan kuliner di kawasan Kediri. Selain tahu takwa, gethuk pisang, dan pecel tumpang, berbagai olahan daging bekicot menjadi jajanan yang patut dicicipi. (Muhammad Latif, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post