WABAH covid-19 yang meruyak sejak Maret 2020, memaksa ratusan lembaga kursus di Kampung Inggris berhenti beroperasi. Ribuan siswa dipulangkan, cafe-cafe ditutup, sejumlah ruas jalan yang sebelumnya ramai, kini lengang. Tak dijumpai lagi seliweran para pelajar yang menjadi pemandangan khas Kampung Inggris yang berada di Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri.
“Suasana seperti ini mengingatkan saya dengan suasana Desa Tulungrejo pada masa lampau,” ujar Mat Nur Khasan, Kepala Desa Tulungrejo, Senin, 4 Oktober 2020.
Menurut Nur Khasan, kondisi berkurangnya intensitas keramaian ini kurang lebih sama seperti sebelum adanya lembaga-lembaga kursus. Di pagi hari, banyak ibu-ibu berkumpul di teras rumah dan anak kecil yang asyik bermain di jalanan. Ketika sore hari, anak-anak dengan muka putih karena tebalnya bedak berangkat mengaji. Berbagai pemandangan itu barangkali sulit dijumpai saat kursus dibuka.
Sebelum Kampung Inggris berdiri mayoritas masyarakat setempat berprofesi sebagai petani. Sebagian lainnya ada yang menjadi pegawai, berternak sapi, maupun berdagang di pasar. Secara geografis, dulunya Desa Tulungrejo didominasi area persawahan dengan total luas 532,8 hektar.
Nur Khasan menambahkan, sejauh ini tidak ada catatan resmi mengenai tahun berdirinya Desa Tulungrejo. Namun menurut cerita tutur warga, tokoh pendirinya adalah Kiai Nur Wakid, salah seorang perwira Pangeran Diponegoro. Saat Diponegoro ditangkap Belanda sebagian pasukan melarikan diri ke Jawa Timur, salah satunya adalah Kiai Nur Wakid.
Ketika bersembunyi dari kejaran Belanda, Kiai Nur Wakid bersama anak buahnya singgah dan membangun sebuah permukiman bernama Tulungrejo. Kawasan inilah yang kemudian populer disebut Kampung Inggris. Berdasarkan keterangan anak Kiai Nur Wakid yakni Mbah Imam Puro, Desa Tulungrejo diyakini berdiri pada tahun 1862.
“Dulu memang sepi, itu karena penduduknya masih sedikit. Beda dengan sekarang,” kata Mudafi, warga asli Tulungrejo.
Mudafi menambahkan, lembaga kursus pertama di Desa Tulungrejo adalah Basic English Course (BEC) yang dirintis Mr. Kalend Osen pada tahun 1977. Meski begitu, daerah Tulungrejo tidak serta merta langsung ramai. Pertumbuhan tempat kursus baru menggeliat ketika memasuki tahun 1990an. Mereka yang mendirikan lembaga belajar dulunya adalah anak didik Mr. Kalend di BEC.
Seiring perkembangannya, Kampung Inggris perlahan dikenal. Kawasan itu dijadikan rujukan belajar Bahasa Inggris oleh para pelajar di seluruh Indonesia. Mayoritas warga yang dulunya bekerja sebagai petani, mengalihkan mata pencaharian ke bisnis yang mengakomodir pelajar Kampung Inggris. Tanah persawahan banyak yang disewakan dan dibangun gedung. Mereka membuka warung makan, kios kebutuhan sehari-hari, hingga membangun kamar kos untuk siswa kursus.
Laju perekonomian di Kampung Inggris menemui puncaknya pada tahun 2015. Investor dari warga luar Desa Tulungrejo berdatangan. Mereka membeli tanah, mendirikan lembaga kursus, warung, dan berbagai jenis layanan jasa. Kawasan di Kecamatan Pare itu semakin ramai dengan fasilitas seperti lapangan futsal, pusat kebugaran, dan pembangunan beberapa taman oleh pemerintah untuk menunjang eksistensi Kampung Inggris.
Jika menengok lebih jauh ke belakang, Pare sebenarnya sudah menjadi daerah penting sejak zaman kolonial Belanda. Kediri yang saat itu menjadi pusat pengembangan pertanian, perkebunan, dan industri, menjadikan Pare sebagai kawasan penghubung antara Surabaya-Jombang-Kediri. Berbagai komoditas seperti gula, karet, dan kopi yang hendak diekspor, harus melalui Pare terlebih dahulu.
Jejak kolonial berupa bangunan hingga kini masih bisa dijumpai di sekitar kawasan Desa Tulungrejo. Salah satunya, Rumah Sakit HVA Toeloengredjo yang bediri pada tahun 1908. Secara arsitektur, gedung yang terletak di Jalan Ahmad Yani No 25 Pare itu masih terjaga keasliannya dan tidak banyak mengalami perubahan.
“Sebelum ada kampung inggris, yang dikenal dari Pare adalah RS HVA, rumah sakit itu sudah ada sejak jaman Belanda,” ujar Hendro Susilo ketua RW Dusun Tulungrejo.
HVA atau Handels Vereeniging Amsterdam merupakan perusahaan pedagangan di bidang perkebunan swasta milik orang Belanda. Kala itu, korporasi HVA memfokuskan bisnis pada industri gula. Para ilmuwan di dalamnya bertugas menyaring molase berbentuk alkohol yang digunakan untuk rumah sakit, spiritus, dan tembakau.
Korporasi itu tergolong raksasa, karena mempunyai anak perusahaan sejumlah pabrik gula (PG) besar di Kediri, yaitu PG Meritjan dan PG Pesantren. Dengan besarnya sirkulasi produksi gula, berdirinya RS HVA digunakan untuk memfasilitasi pelayanan kesehatan bagi karyawan pabrik maupun perkebunan.
Dari segi kebudayaan, kehidupan warga Desa Tulungrejo, Pare pernah menarik perhatian dunia. Clifford Geertz, antropolog asal Amerika, menjadikan Tulungrejo sebagai objek penelitian dan penulisan buku berjudul Religion of Java. Pada tahun 1954, Geertz sukses melakukan penelitian berkat kerja samanya dengan Kiai Ahmad Yazid, pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah, Tulungrejo, Pare. Kiai Ahmad Yazid yang juga seorang tokoh Sarekat Islam dikenal menguasai bermacam-macam bahasa asing, antara lain Inggris, Arab, Spanyol, Jerman, Belanda, dan Urdu.
Buku Religion of Java mengurai sisi pluralisme agama sebagai pedoman yang terbagi menjadi santri, priyayi, dan abangan. Kisah kehidupan masyarakat di kawasan Tulungrejo atau yang kini populer dikenal dengan Kampung Inggiris, menjadi rujukan studi kebudayaan para akademisi seantero dunia, bahkan hingga sekarang. (Muhamad Hamas Thaliban, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post