DITUTUP selama hampir setahun akibat kebakaran hutan dan meruyaknya pandemi Covid-19, pendakian ke Gunung Semeru kini dibuka kembali. Kabar baik itu datang usai akun official Instagram Bromo Tengger Semeru National Park mengumumkan jika wisatawan sudah dibolehkan mendekat ke area gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut.
Selepas subuh, saya dan suami berangkat dari Kabupaten Jember menuju kawasan Ranu Pani pada Sabtu, 3 Oktober 2020. Berada di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut, Ranu Pani adalah desa terakhir sebelum memasuki kawasan Semeru. Desa yang terletak di Kecamatan Senduro, Kota Lumajang merupakan titik kumpul para pendaki dari berbagai daerah.
Air hujan menabrak kaca mobil ketika memasuki daerah Semboro, Jember. Guyuran hujan bahkan semakin deras saat kami tiba dan memarkir mobil di dekat sekretariat pendakian di Ranu Pani. Kala itu, jam di telepon seluler menunjukkan pukul 07.15 WIB. Kantor Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau TNBTS ternyata masih tutup. Belum ada satu pun petugas yang terlihat. Kami terpaksa berdamai dengan udara dingin sembari menunggu kantor itu hingga dibuka.
Tiupan udara yang semakin dingin menuntun kami ke sebuah warung. Sejumlah kudapan dan segelas wedang jahe efektif menangkal udara dingin agar tak semakin menggigil. Namanya warung makan Bagus, sudah terkenal di kalangan pendaki karena rasa dan harganya yang terjangkau.
Tepat jam 8 pagi, plakat tulisan tutup di kaca loket sudah diganti “buka”. Petugas TNBTS Ranu Pani sudah siap menerima para pendaki yang hendak mengurus izin. Hari itu, kami adalah rombongan pertama yang melakukan registrasi.
Rombongan kami hanya dua orang. Sedangkan izin pendakian baru keluar jika aktivitas mendaki dilakukan minimal tiga orang. Terkait aturan ini jauh hari sebelumnya kami sudah mengetahui informasi ini. Kami mendapat informasi tidak akan ada masalah karena toh sudah membayar untuk 3 orang. Ternyata, tetap tidak diperbolehkan.
“Sebaiknya ajak porter saja, jadi pas 3 orang,” kata petugas loket.
Beruntung, tidak butuh waktu lama kami berhasil menyewa seorang porter. Setelah tercapai kesepakatan harga sebesar 500 ribu untuk perjalanan pulang pergi. Dia membawakan 1 tas carrier dan bertemu di Ranu Kumbolo.
Dengan tambahan satu orang, akhirnya kami lolos registrasi. Izin mendaki didapat. Akan tetapi kami harus mengikuti pembekalan dari pihak TNBTS. Bersama beberapa kelompok lain kami dijelaskan peraturan yang harus dipatuhi selama pendakian maupun ketika bermalam.
Hujan belum kunjung reda saat tiba waktu berangkat. Memakai ponco atau jas hujan tipis kami menyusuri jalur pendakian. Ada 4 pos yang harus dilewati sebelum sampai di Ranu Kumbolo.
Pos 1 hingga 3 ditempuh dengan selalu beristirahat di setiap pos. Sekedar duduk sebentar, mengistirahatkan kaki sembari menyantap buah semangka di sela guyuran hujan. Baik semangka maupun gorengan semua dibandrol dengan harga sama, Rp.2.500.
Usai kondisi stamina berangsur pulih, dari pos 3 kami melanjutkan perjalanan. Jalur dari pos 3 kali ini cukup menantang. Kontur tanah ekstrim yang dipenuhi tanjakan curam membuat kami berjalan perlahan.
Tas carrier yang menempel di punggung semakin menambah berat perjalanan. Setelah melewati tanjakan paling curam rasa berat itu hilang, mungkin sudah bisa beradaptasi. Bahkan, tas punggung ini seperti mendorong langkah kami menjadi semakin cepat.
Tiba di pos 4, kami memutuskan tidak berhenti. Pos keempat dilewati tanpa istirahat. Dengan berjalan sebentar saja, kami bisa melihat bentangan luas kawasan Ranu Kumbolo. Menempuh jalan yang menukik turun, sampailah kami di pinggiran danau.
Di pinggir savana terdapat plang tulisan batas mendirikan tenda. Anehnya, kami sama sekali tidak bertemu dengan orang. Suasananya benar-benar sunyi, sedangkan hujan belum juga berhenti. Kami sempat berpikir, apa iya kami tersesat.
Akhirnya kami nekat jalan terus, menembus ladang ilalang yang tingginya melebihi tinggi rata-rata manusia. Kami menemui beberapa ranting ilalang yang ditandai plastik berwarna merah putih. Itu menandakan kami memang tidak sedang tersesat. Dengan mengikuti tanda tersebut kami menyusuri tanjakan naik dan tepian danau dari atas bukit.
Hanya beberapa langkah, kami benar-benar merasa lega. Dari kejauhan, porter yang kami sewa berteriak menyambut kedatangan kami. Merasa penasaran, kami bertanya berapa jam perjalanan dia hingga sampai ke Ranu Kumbolo. Dia menjawab, hanya butuh waktu 1 jam saja.
Jawaban porter itu tentu mengejutkan kami. Sebab, kami menghabiskan waktu 5 jam untuk sampai. Entah pengakuannya itu benar apa tidak. Mungkin penduduk di sana mempunyai jalan pintas. Jangan-jangan porter ini naik motor, atau dia bisa terbang sehingga cepat sampai.
Hari itu tepat tanggal 16 dalam penanggalan Jawa. Sembari mendirikan tenda, kami berharap di malam hari nanti menjumpai bulan bertabur gemintang.
Tapi apa daya, tak ada yang bisa dilakukan selain rebahan. Hujan terlampau setia menemani kami. Mulai dari pagi hingga petang, guyuran hujan belum juga berhenti. Kami memutuskan untuk tidur saja. Meski begitu, dinginnya udara membuat tidur tak nyenyak.
Setiap kali terbangun, kesempatan itu kami manfaatkan untuk mengintip keluar tenda, siapa tahu hujan sudah berhenti. Sialnya, hingga jam 3 pagi, hujan masih saja jatuh.
Di hari itu kami sedikit beruntung. Sebelum fajar tiba atau tepat jam 5 pagi, kami akhirnya dapat melihat bulan yang sejak semalam dinantikan.
Jam 8 pagi, setelah menyusuri ranu yang berkabut tebal, kami berjalan ke Oro-oro Ombo. Melewati Tanjakan Cinta yang terkenal dengan cerita mitosnya. Dari atas bukit, pemandangan yang disuguhkan luar biasa. Perasaan kecewa semalam seperti terobati.
Ranu Kumbolo yang semula tertutup kabut kini berwarna hijau. Kabut tak lagi menghalangi semua air danau yang dianggap suci oleh penduduk Suku Tengger itu. Awan tipis yang menyelimuti gunung di belakang danau indahnya pemandangan Ranu Kumbolo. Kami terpaku menikmati keindahan lukisan Ilahi yang tak bisa diungkap lewat kata-kata. (Purwantini, Kepala Unit Bank Rakyat Indonesia Kebonsari Jember)
Discussion about this post