GELOMBANG protes besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat, tak menggoyahkan pemerintah dan DPR. Pembahasan tentang Omnibus Law tetap dikebut dan diresmikan menjadi undang-undang pada Senin, 5 Oktober 2020. Munculnya regulasi baru itu sarat polemik karena dianggap merugikan rakyat di multi-sektor. Misalnya, kondisi buruh, pertanian, lingkungan, agraria, pendidikan, bahkan HAM.
“Pengesahan UU Cipta Kerja sudah melalui pembahasan dan masukan dari semua pihak. Jalan tengah sudah ditempuh. Kalau toh jalan tengah tersebut masih dirasa belum tepat, masih ada ruang untuk peninjauan kembali di MK,” kata Rahmad Handoyo, Anggota Komisi IX DPR RI dalam siaran pers pada Rabu, 7 Oktober 2020.
Istilah Omnibus Law mengemuka ke tengah publik dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu, 20 Oktober 2019. Dalam kesempatan itu, Jokowi mengungkapkan rencananya mengajak DPR untuk membahas sejumlah undang-undang yang akan menjadi omnibus law.
Secara definisi, Omnibus Law merupakan aturan yang dirancang untuk menyasar isu besar di suatu negara. Undang-undang ini berfungsi merampingkan regulasi dan menyederhanakan peraturan. Satu regulasi baru dibentuk menggantikan lebih dari satu regulasi lain yang sudah berlaku. Ibarat pepatah, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Salah satu kontroversi dari regulasi ini adalah soal prosedur pembahasan yang mengabaikan aspirasi masyarakat yang nantinya terdampak langsung. Adanya pembatasan gerak sebab terpaan pandemi covid-19, seolah dimanfaatkan untuk meneruskan pembahasan.
“Munculnya desakan agar pembahasan dihentikan dan fokus pada penanganan wabah, tak pernah diindahkan pemerintah,” kata Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia.
Sejak pembahasan Prolegnas sampai penyusunan draft oleh Kemenko Perekonomian RI, Naskah Akademik dan draf RUU tidak dapat diakses masyarakat. Hal ini tentu melanggar Pasal 89 jo 96 UU 12/2011 yang mewajibkan pemerintah membuka akses secara mudah tentang segala rancangan peraturan perundang-undangan.
Selain dari aspek prosedur pembahasan, penolakan publik tertuju pada substansi Omnibus Law yang dinilai merugikan buruh dan kepentingan negara dalam jangka panjang. Pasal-pasal UU Ketenagakerjaan cukup banyak yang direvisi. Pengubahan itu dinilai menunjukkan keberpihakan sepihak, yaitu kepada para pengusaha, bukan pada pekerja atau buruh.
Lebih jauh Manan menjelaskan, keberadaan Omnibus Law merupakan upaya revisi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sejak tahun 2006 terus digagalkan gerakan buruh. Dengan disahkannya regulasi itu, nantinya buruh akan dibayar dengan penghitungan upah per jam. Pembayaran upah di bawah standar minimum juga dibolehkan, serta kontrak kerja diatur tanpa batasan waktu.
Perempuan pekerja yang diupah per jam merupakan kelompok yang paling terdampak. Upah per jam hanya diberlakukan saat perempuan pekerja sedang melakukan aktivitas produksi. Mereka akan kehilangan akses terhadap hak cuti haid, melahirkan, keguguran, dan kesempatan menyusui di tempat kerja karena dianggap sedang tidak produktif.
Konsep ketenagakerjaan pada UU Cipta Kerja ini mirip dengan perburuhan di masa kolonial Belanda. Pada akhir abad ke-19, pemerintah Belanda menerbitkan aturan Koeli Ordonantie yang menjamin pengusaha dapat mempekerjakan buruh perkebunan dengan upah murah dan tanpa perlindungan. Sementara pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi denda ringan.
“Kebijakan yang tidak berpihak ini semakin memposisikan buruh semakin tidak berdaya,” kata Herwin Nasution, Ketua Umum Serikat Buruh Perkebunan Indonesia atau SERBUNDO.
Nasib lingkungan hidup dalam aturan sapu jagat tak kalah pelik. Beberapa pasal yang disahkan mengancam kelestarian alam dengan dalih menggenjot investasi. Secara garis besar, UU Cipta Kerja menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Regulasi baru itu menggeser sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. UU Cipta Kerja menghapus hak masyarakat yang hendak memprotes hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL.
Penghapusan tersebut tentu semakin menyulitkan pengawasan, serta menghilangkan ruang pembelaan hukum pada kerusakan lingkungan. Secara otomatis, hal itu mereduksi kesempatan masyarakat memperjuangkan haknya.
“Kehadiran Omnibus Law memberikan legitimasi untuk menghancurkan lingkungan dan menyengsarakan rakyat lebih dari yang pernah dilakukan,” ujar Muhammad Izzudin, Koordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jawa Timur.
Putusan omnibus law seperti mengembalikan kondisi agraria ke zaman kolonial. Prinsip yang diusung menyerupai regulasi Agrarische Wet 1870. Aturan itu mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing, dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal.
Omnibus Law juga menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas kolonial. Sebuah kondisi dimana masyarakat akan kehilangan kesempatan menempuh jalur hukum untuk mempertahankan tanah.
Kewenangan perizinan yang semuanya bakal diampu pemerintah pusat, mirip dengan kondisi di era orde baru. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah sebagai produk reformasi. Kewenangan daerah yang akan ditarik ke pusat antara lain kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara, termasuk penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin. Sentralisasi perizinan berimplikasi terhadap semakin menjauhkan pelayanan publik dan menyulitkan penyampaian aspirasi masyarakat terdampak.
Di ranah pendidikan, pelajar dan mahasiswa akan menjadi peluang bagi kepentingan kapital yang dibawa Omnibus Law. Dalam UU disebutkan bahwa perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan sesuai aturan Izin Berusaha. Pasal perizinan pendidikan di UU Ciptaker dikhawatirkan memberi jalan atas terjadinya komersialisasi pendidikan.
Aturan itu akan membuat pendidikan makin mahal dan tak terjangkau bagi masyarakat kurang mampu. Padahal, jika merujuk pada Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, lembaga penyelenggara pendidikan harus bersifat nirlaba. Lembaga pendidikan tidak dapat mengajukan Izin Berusaha, karena bukan organisasi yang mengejar keuntungan.
Keberadaan omnibus law juga dinilai ada upaya pemerintah campur tangan dalam kehidupan pers. Omnibus Law memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran, dihilangkan. Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.
Ketentuan penting lain yang diubah Omnibus Law adalah diberikannya wewenang migrasi digital sepenuhnya kepada pemerintah. Padahal migrasi digital bukan hanya semata alih teknologi tetapi juga perubahan tata kelola penyiaran yang selayaknya diatur negara pada tingkat UU, bukan di Peraturan Pemerintah.
Sejak diresmikan menjadi undang-undang pada Senin, 5 Oktober 2020, putusan omnibus law dibanjiri kecaman. Demonstrasi yang digawangi mahasiswa terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Sedangkan di jagat maya, tagar #mositidakpercaya muncul sebagai trending topik di Twitter.
“Gelombang penolakan itu tak akan terjadi, seandainya pasal-pasal Omnibus Law tak membawa persoalan baru yang semakin memberatkan rakyat,” ujar Abdul Manan.
Dia melanjutkan, dari sejumlah pasal yang telah disahkan, omnibus law justru membawa Indonesia mundur ke peradaban zaman lampau. Di mana persoalan Hak Asasi Manusia, pendidikan, buruh, agraria, dan lingkungan, diabaikan atas nama investasi.
“Kami merasa perlu mengkritisi Omnibus Law karena kami mencintai negeri ini,” kata Manan. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post