CAIRAN kekuningan mengucur deras dari pipa pembuangan pabrik-pabrik tahu di Kelurahan Tinalan, Kota Kediri. Limbah itu langsung dialirkan ke sungai yang berdekatan dengan pemukiman. Dari kawasan produksi tahu, aliran limbah melewati saluran air di Pakunden, Kaliombo, hingga tembus ke Sungai Brantas.
Di tiga kelurahan tersebut, setiap ruas jembatan dipasang papan larangan membuang limbah cair yang belum diolah. Akan tetapi, peringatan dari Pemerintah Kota Kediri itu tak mengubah keadaan. Air sisa olahan tahu masih mengalir bebas di sungai kecil dan parit-parit.
“Kalau air sungai sedang surut baunya sangat menyengat,” kata Mega, salah satu warga Kelurahan Pakunden Kota Kediri, Senin, 28 Juli 2025.
Dia menambahkan, residu tahu bercampur dengan limbah cair masyarakat. Misalnya dari aktivitas mandi, mencuci, hingga memasak. Sehingga, air buangan yang mulanya kuning berubah kehitaman. Namun, bau cuka yang menyengat dari bekas produksi tahu lebih mendominasi.

Sebanyak 36 industri tahu kini beroperasi di Tinalan. Kawasan ini populer disebut Kampung Edukasi Tahu. Lokasi produksi itu berderet membelakangi aliran sungai.
“Kami terpaksa membuang ke sungai karena penampungan sudah tidak muat,” kata Supingi, salah satu pemilik pabrik.
Pria 53 tahun itu setiap harinya mengolah 50 hingga 80 kilogram kedelai untuk dijadikan tahu. Dia membuat penampungan limbah yang ditanam di bawah tanah. Kedalamannya 2 meter dan lebar 1 meter. Dia berdalih wadah tersebut selalu penuh saat produksi, hingga akhirnya tumpah ke sungai.
Supingi mengaku kewalahan mengelola residu cair produksi tahu. Pada 2022, dia mencoba mengolahnya menjadi pupuk tanaman melalui sistem fermentasi. Namun, upaya itu gagal. Cairan malah berubah keruh dan baunya semakin menyengat. Sehingga, dia kembali membuang limbah ke sungai hingga sekarang.

“Masalah di Tinalan itu kompleks, di balik pencemaran air sungai, ada sentra industri yang menggerakkan ekonomi,” kata Aris Mahmudin, Kepala Bidang Penataan dan Penataan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan dan Pertamanan (DLKHP) Kota Kediri.
DLKHP akan segera meninjau ulang baku mutu air sungai di Tinalan. Selain itu, jika ada produsen yang kedapatan melanggar akan mendapat teguran.
Aris menyarankan setiap pabrik membuat penampungan lebih besar. Wacana penambahan volume wadah limbah sebenarnya pernah dibahas Pemkot Kediri dengan pelaku usaha tahu. Sayangnya, hal itu tak kunjung terealisasi karena terkendala biaya dan keterbatasan lahan.
Menurut Imam Habibi, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Kadiri (UNISKA), pabrik tahu Tinalan sejauh ini hanya fokus pada produksi. Dari pada limbahnya mencemari lingkungan, lebih baik diolah jadi pupuk cair. Pupuk itu dapat dijual, sehingga bisnis pemilik pabrik tahu semakin berkembang.
“Ini bisa menjadi inovasi bisnis ramah lingkungan bagi pengusaha tahu,” jelas Imam.
Pengolahan limbah dilakukan dengan menaruh cairan di drum tertutup selama 3 minggu. Sedangkan pada sistem terbuka, limbah diendapkan di kolam agar terkena panas matahari selama 2 hari. Kedua metode itu menggunakan bahan pengurai seperti molase EM4, tetes tebu, atau rebusan air gula.

Menurut Imam, pencemaran sungai di Tinalan jangan sampai dibiarkan berkepanjangan. Limbah tahu memiliki kandungan asam yang menyebabkan ikan-ikan mati. Jika terserap tanah, bisa mengakibatkan matinya unsur hara serta kontur tanah semakin mengeras. Sedangkan pada manusia, efek negatif limbah memicu gangguan pernapasan, penyakit kulit, hingga pencernaan. (Dimas Eka Wijaya)
Discussion about this post