BANYAKNYA ucapan duka cita dan ungkapan hati yang nelangsa sepeninggal Didi Kempot menunjukkan penyanyi pop Jawa itu adalah tokoh yang tidak biasa. Ditabalkan sebagai “The Godfather of Broken Heart”, Didi menjadi seorang Lord bagi mereka yang hatinya selalu dilukai, yang cintanya kandas di tengah jalan, kerinduan yang buntu, dan cinta tak berbalas.
Dia adalah penyebar kata Ambyar yang oleh pemujanya dianggap sebagai kata kunci mewakili segenap nestapa. Para penggemarnya mencatat “Lord Didi”, yang terlahir dengan nama Dionisius Prasetyo, sebagai penyanyi yang dengan tepat mewartakan perasaan mereka yang ditinggalkan.
Setamat SMA, Didi memilih jalan kesenian seperti yang dilakoni ayahnya, pelawak Ranto Gudel. Didi berkelana di Jakarta, konon pernah pernah menjadi pengamen di kawasan Slipi. Nama Kempot, menurut pengakuannya sendiri, adalah singkatan dari Kelompok Penyanyi Trotoar, sebuah grup musik yang membawanya hijrah ke Jakarta.
Jauh sebelum dia berada di puncak ketenaran, Didi melalui jalan penderitaan sebagai seniman kelas bawah. Lagunya meledak pada tahun 1999, lewat album Solo Balapan, yang kian menguatkan namanya sebagai pelanjut tradisi campursari dengan kreatifitas baru dan nada yang lebih enak didengar. Didi terus menyanyi di mana dan kapan saja dia diundang, dari hajatan kelas kampung sampai dengan panggung besar di kota-kota.
Meski cukup produktif nama Didi sempat lama tak berada di pusat dunia musik pop, namun kita tahu dia tetap berkelana dari kota ke kota untuk memenuhi berbagai undangan pementasan. Lagu pop Jawa kembali meledak setelah penyanyi Via Vallen tampil dengan sejumlah hits dan menjadi “diva” bagi sejumlah penggemar milenial. Dalam momentum itu, para penggemar dari generasi muda menoleh ke Didi Kempot dan lagu-lagunya seperti “Sewu Kutho” kembali menjadi populer.
Didi sebetulnya sudah berkiprah lama di musik pop Jawa bahkan namanya cukup tenar di Suriname sekitar akhir 1980an. Saya termasuk telat menyadarinya, dan baru mendengar lagu Solo Balapan, ketika awal 2000an. Klip video lagu itu diputar berulang-ulang di atas kereta Argo Lawu dan melodinya langsung akrab di telinga. Bahkan rekan saya yang bukan orang Jawa bisa lancar melantunkannya. Saya juga mendengar lagu itu kerap dinyanyikan para perantau Jawa di Sumatera, dan membuat sejumlah orang di Palembang atau Medan ikut ramai melagukannya. Tak terhitung para pekerja migran di manca negara memutar lagunya dengan segenap perasaan cinta yang patah dan berantakan.
Didi Kempot meninggalkan kita di saat dia berada di puncak ketenaran. Sebuah puncak yang mungkin hanya dipandangnya dari jauh sewaktu dia menjadi pengamen di Jakarta. Kita tahu dia berjuang keras untuk sampai ke sana, dan Didi bukanlah orang yang cepat putus asa. Ibarat mendaki gunung dia menempuh jalan setapak, dan meskipun dia mungkin mendengar banyak cerita bagaimana cara gampang menjadi tenar, tapi Didi memilih jalan yang tak mudah untuk melihat bentangan dunia dari sebuah puncak.
Dia berjalan dari tepi dan tetap menyapa siapa saja yang berada di pinggir rute pendakian itu dan meyakinkan mereka bahwa segala kepedihan dalam menuju puncak kehidupan layak “dijogeti”, sebuah perayaan kesenduan yang kemudian menjadi gelombang energi baru bagi para Sobat Ambyar yang kelak turut mengangkatnya ke puncak.
Di atas puncak itu pula kita melihat Didi tak berubah sebagai penyanyi yang berakar di hati rakyat jelata. Dia tetap rendah hati menyapa semuanya, dan dia dengan ikhlas membantu sesama. Lalu di tengah kesenduan masa pandemi ini, setelah “joget selow” dari lagu-lagu yang dapat membuat para lelaki dan perempuan menangis itu, dia pergi menggenapi rasa ambyar di hati kita semua.
Al Fatihah.
(Obituari laman FB Nezar Patria, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post)