SELAIN menjadi identitas, julukan bagi tim sepak bola tak ubahnya seperti rantai yang mengikat solidaritas para pemain, supporter, maupun manajemen. Termasuk, bagi klub Persik Kediri saat memilih Macan Putih sebagai julukan pada awal tahun 2000. Sejak sebutan itu melekat, Persik tampil garang dengan torehan dua gelar Liga Indonesia pada 2003 dan 2006, serta berlaga di kompetisi internasional Liga Champhions Asia.
“Julukan Macan Putih pertama kali muncul saat Persik diketuai Achmat Maschut, Wali Kota Kediri periode 1999-2009,” ujar Hendri Ego, salah satu pendiri Persikmania, Kamis 4 Agustus 2022.
Hendri menjelaskan, sebutan Macan Putih sebenarnya sudah eksis sebelum kelompok supporter Persikmania lahir pada tahun 2001. Nama ini mulai dikenal ketika Persik masih berkompetisi di Divisi 2 atau liga kasta terbawah di persepakbolaan Indonesia. Simbol tersebut diambil dari logo Pemerintah Kota Kediri. Di lambang itu, gambar harimau berada di tengah Buta Locaya, sosok mitologi yang dipercaya sebagai penguasa Kediri.
Pria yang sekarang bekerja sebagai ASN Kota Kediri itu bercerita, munculnya identitas Macan Putih sekaligus menandai kebangkitan sepak bola di Kediri. Sosok harimau putih dijadikan logo, boneka, maupun yel-yel ketika pertandingan. Julukan ini membuat animo sepak bola di kawasan yang dibelah Sungai Brantas mulai menggeliat.
“Bagi supporter, sebutan Macan Putih yang disematkan semakin mempertebal keyakinan bahwa Persik akan meraih banyak prestasi,” kata Hendri.
Secara bertahap, Persik meraih beragam trofi seperti Juara 3 Divisi 2 tahun 2001, Juara 1 Divisi 1 pada 2002, dan Juara Divisi Utama pada 2003. Raihan prestasi pada tahun 2003 tergolong istimewa. Sempat dipandang sebelah mata, Macan Putih dikenal sebagai pembunuh raksasa. Persik menyingkirkan tim-tim yang diperkuat pemain bintang seperti Persija Jakarta, Persib Bandung, Arema Malang, dan PSM Makasar. Bahkan, saat itu Persik tercatat tak pernah kalah ketika bertanding di kandangnya Stadion Brawijaya.
Sosok Macan Putih yang dipilih sebagai julukan Persik sebenarnya tidak pernah hidup di kawasan Kediri. Habibat satwa karnivora dengan nama latin Panthera Tigris Bengalensis hanya berada di hutan liar India, Bangladesh, Buthan, dan Nepal. Namun, harimau putih sebenarnya sudah dekat dengan masyarakat Kediri selama ratusan tahun. Selain berada di logo Pemkot Kediri, hewan buas ini terdapat pada narasi sastra berupa cerita rakyat dan gelaran kesenian wayang kulit di Kediri.
“Macan putih merupakan makhluk mitologi, jelmaan Dewa Siwa pada kisah Bhubuksah dan Gagang Aking,” kata Dwi Cahyono, Sejarawan Universitas Negeri Malang.
Pria kelahiran Tulungagung itu menerangkan, dalam cerita tersebut Dewa Siwa berubah menjadi harimau putih untuk menguji ketulusan dua bersaudara bernama Bhubuksah dan Gagang Aking. Sastra yang muncul di era Majapahit itu menjelaskan jika keduanya bertapa di tempat berbeda di lereng timur Gunung Klotok Kediri. Bhubuksah bertapa di Gua Selomangleng dan Gagang Aking di Gua Selobale. Pada akhir cerita, Dewa Siwa menjelma menjadi harimau putih bernama Kalawijaya dan bertanya siapa yang bersedia dimangsa.
Gagang Aking tidak bersedia menjadi mangsa macan putih dengan alasan tubuhnya kurus kering. Sehingga, dia menyuruh harimau itu untuk memakan Bhubuksah yang badannya lebih gemuk. Bhubuksah yang ketika bertapa sering makan ternyata tulus dan bersedia berkorban demi keselamatan Gagang Aking.
“Bhubuksah akhirnya mendapat hadiah naik punggung harimau putih menuju nirwana. Adapun Gagang Aking hanya bisa berpegangan ekor harimau sambil jalan kaki,” kata Dwi Cahyono.
Kisah macan putih yang akhirnya menjadi julukan Persik Kediri ini terdapat di relief Candi Surowono, Candi Penataran, dan secara tersirat di Gua Selomangleng. Pada era kolonial Belanda, kisah tersebut dipentaskan dalam seni pertunjukan wayang kulit di Kediri dan Blitar. Cerita rakyat ini juga masih menjadi tradisi oral yang masih dikenal di Bali. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post