PULUHAN murid karate itu mandi keringat setelah hampir satu jam melayangkan pukulan kombinasi. Saat gerakan mereka melambat disertai nafas tersengal-sengal, sang pelatih meneriakkan “OSH”. Kata itu seperti obat mujarab pemulih stamina. Dalam sekejap, mereka kembali menyempurnakan kuda-kuda, lalu meninju udara sebanyak 50 kali.
Latihan ini bernama Shadow Boxing. Fungsinya meningkatkan kecepatan pukulan, kelenturan badan, reflek, dan gerakan kaki. Materi dasar karate tersebut wajib dikuasai siswa Daikyokushin Karate Indonesia Dojo Kediri. Perguruan ini terletak di pinggir Sungai Brantas, tepatnya RT 03 RW 04, Kelurahan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.
Para murid berlatih bela diri asal Jepang setiap Rabu, Jumat, dan Minggu. Mereka tampak bersemangat, meskipun gedung aula berlatih lebih mirip bangunan semi permanen. Lantai, dinding, dan pondasi, semuanya berbahan kayu. Jauh dari kesan mewah seperti yang digambarkan di film dan kartun Jepang.
“Bangunan dojo ini dulunya kandang kambing,” kata Fajri Ananda, pelatih yang juga pendiri Daikyokushin Dojo Kediri, Minggu, 5 November 2023.
Guru karate yang akrab disapa Pitut ini sehari-hari bekerja sebagai penjual kambing. Ketika libur latihan, aktivitasnya banyak dihabiskan di kandang. Setiap sore, dia juga rutin mengambil pakan berupa ampas tahu dari Desa Semen, kawasan lereng Gunung Wilis.
Jika sedang sibuk merawat kambing, tak akan ada yang menyangka bahwa Pitut sudah hampir 30 tahun menekuni bela diri karate. Pria berusia 45 tahun itu juga sudah belasan kali menjuarai kompetisi karate tingkat regional dan nasional. Selain di Kediri, dia pernah melatih karate di Denpasar, Bali selama 7 tahun. Dia kini juga dipercaya sebagai Ketua Pengembangan Daikyokushin tingkat Jawa Timur.
Pitut tergerak merintis perguruannya sendiri pada 2021 atau saat pandemi Covid-19. Saat itu, dia prihatin dengan anak-anak di lingkungan rumahnya. Sekolah yang dipindahkan ke sistem online membuat anak-anak pasif, bahkan ketergantungan pada gadget.
Dari kondisi itu, Pitut berinisiatif menyulap kandang kambing miliknya menjadi dojo karate. Kandang seluas 8×8 meter dibongkar, lalu didirikan bangunan baru. Sedangkan kambing yang sebelumnya menempati kandang itu dijual. Uangnya digunakan membeli atap galvalum, tanah urug, dan mengecor pondasi bawah.
“Ada 20 kambing yang saya jual, satu ekor harganya rata-rata 3 juta rupiah, itu biaya mendirikan dojo,” kata bapak 2 anak ini.
Selama 3 tahun berdiri, sekolah karate itu kini sudah memiliki 50 murid. Ada yang duduk di bangku sekolah dasar, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga. Belajar karate di perguruan ini tidak dipungut biaya alias gratis. Namun, murid harus mengeluarkan uang sendiri untuk membeli seragam dan sabuk.
Pitut menambahkan, tidak semua murid belajar karate untuk diarahkan ke jalur prestasi. Visi utama perguruan ini yaitu menggunakan karate sebagai olahraga atau kesehatan jasmani. Selain itu, anak-anak belajar bela diri bukan untuk jago berantem saja. Di baliknya ada penguatan karakter, disiplin, dan bertanggung jawab.
“Saya belajar bela diri di sini untuk berjaga-jaga, karena sebagai wanita saya berpotensi mengalami pelecehan,” kata Reti, mahasiswi Universitas Brawijaya Malang Kampus Kediri.
Pada 22 Oktober 2023, Daikyokushin Karate Indonesia Dojo Kediri menggelar kegiatan sosialisasi Stop Bullying. Mereka bekerja sama dengan Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kelurahan Bandar Kidul. Upaya ini diharapkan bisa anak didik dari perilaku perundungan. Entah itu sebagai pelaku maupun korban.
Kerja sama lain yang sudah terjalin yaitu dengan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) Kota Kediri. Sejak tahun 2022, sekolah karate milik Pitut sudah diakui pemerintah. Kini, Pitut dan FORMI tengah merancang kompetisi karate tingkat daerah. Harapannya, dari dojo bekas kandang kambing itu muncul atlet berbakat yang kelak berprestasi di jenjang nasional maupun internasional. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post