PERKEMBANGAN arkeologi Indonesia tak bisa dilepaskan dari sosok Prof. Dr. Edi Sedyawati. Selama 50 tahun lebih meneliti benda sejarah, dia banyak mengungkap peradaban masa lampau melalui arca-arca dan relief candi, khususnya arca Ganesha. Kajian mendetail seperti ukuran, pose, hingga perhiasan yang dikenakan, berhasil membuka identitas setiap periode kerajaan di Pulau Jawa.
Edi Sedyawati wafat pada 11 November 2022 di usia 84 tahun. Untuk memperingati setahun kepergiannya, BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) akan menggelar festival sebagai penghormatan atas temuan, gagasan, dan pemikirannya pada arkeologi Indonesia. Jika BWCF sebelumnya berlangsung di Borobudur, pada edisi ke-12 ini seluruh rangkaian acara dihelat di kampus Universitas Negeri Malang, 23-27 November 2023.
“BWCF tahun ini dilaksanakan di Malang, karena disertasi Bu Edi berkenaan dengan arca-arca Ganesha ditemukan dari sekitar Malang, Kediri, dan Singosari. Ini juga sebagai penghormatan terhadap pemikiran almarhum,” kata Seno Joko Suyono, Inisiator BWCF.
Dalam 12 tahun perjalanannya, BWCF merupakan festival tahunan yang berusaha menonjolkan relevansi pemikiran-pemikiran kebudayaan era lampau ke kehidupan sekarang. Festival ini mendatangkan puluhan pakar lintas disiplin dari arkeologi, sejarah, antropologi, sampai filologi. Adanya festival tersebut harapannya pemikiran nusantara dapat terangkat kembali, dan dikenali khalayak luas, termasuk generasi milenial.
“Salah satu strategi BWCF yaitu mengangkat kembali karya monumental seorang ilmuwan, seperti Bu Edi Sedyawati,” kata jurnalis Tempo itu.
Pada gelaran BWCF 2023, spektrum pemikiran Edi Sedyawati dipilih sebagai tema utama. Fokus bahasan akan mengkaji disertasi Edi Sedyawati berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian.
Disertasi itu membahas Durga (Parwati), Agastya dan Ganesha, yang dikenal sebagai pantheon utama Hindu. Namun, diskusi akan lebih berfokus pada sosok Ganesha. Secara umum, Ganesha adalah dewa pengetahuan juga seorang dewa perwira yang bisa mengatasi musuh, halangan, dan rintangan.
Seno menambahkan, Edi Sedyawati dalam disertasinya melakukan penelitian secara teliti atas 169 arca Ganesa. Salah satu kesimpulannya adalah arca Ganesa dari periode Singosari memiliki ciri-ciri tersendiri. Antara lain, tangan kanan belakang Ganesa memegang kapak, tangan kiri belakang menggenggam tasbih, kedua tangan (baik kanan-kiri) depan memegang mangkuk tengkorak, kaki tambunnya menginjak tengkorak (asana tengkorak), mengenakan anting-anting tengkorak, dan mengenakan pita di belakang kepala. Unsur aksesoris tengkorak yang menonjol tersebut merupakan kekhasan Ganesha periode Singosari.
Sampai hari ini, penelitian tentang Ganesa tidak berhenti pada disertasi Edi. Sebab, penemuan-penemuan arca Ganesa terus bermunculan saat eksvakasi situs-situs di Jawa atau ditemukan tak sengaja oleh warga desa. Pada tahun 2019, warga Dusun Genengan, Desa Bangsri, Kecamatan Ngariboyo, Kabupaten Magetan menemukan arca Ganesa batu cukup besar yang memiliki ikonografi tak lazim.
Arca Ganesa itu mempunyai rambut panjang ikal terurai. Penduduk menyebutnya Ganesha berambut gimbal dan di belakangnya ada ukiran naga. Hal tersebut sangat menarik karena di luar pengarcaan Ganesha pada umumnya.
“BWCF mengundang pakar-pakar baik dari luar negeri, Jawa dan Bali untuk membicarakan Ganesha yang masih menyimpan misteri,” ujar Seno. Seperti penyelenggaraan sebelumnya, BWCF akan diisi dengan diskusi ilmiah kebudayaan lampau hingga kontemporer. Di antaranya, pidato kebudayaan, lecture, serta workshop dunia arkeologi dan tari yang digeluti Edi Sedyawati. Selain itu, juga ada pagelaran seni dan sastra, launching buku, pemutaran film dokumenter, dan bazar buku. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post