TERLETAK di lereng Gunung Wilis sebelah tenggara, Candi Penampihan berdiri dengan corak kebudayaan dari era neolitikum. Konstruksi bangunan situs purbakala di Dusun Turi, Desa Geger, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung ini bertingkat atau berundak-undak. Di teras paling atas terdapat struktur batu andesit mirip tempurung kura-kura, sebagai simbol perwujudan Dewa Wisnu.
Pada tahun 898 Masehi, Dyah Balitung, seorang Raja Mataram Kuno mendirikan bangunan ini sebagai lokasi peribadatan. Keterangan tersebut diambil dari Prasasti Tinulat yang berada di teras paling bawah Candi Penampihan. Ditulis menggunakan huruf Pallawa, prasasti dilengkapi dengan stempel kerajaan berbentuk lingkaran.
“Berusia lebih dari seribu tahun, candi ini merupakan yang tertua di antara candi lainnya di Kabupaten Tulungagung,” kata Winartin, juru kunci Candi Penampihan, Minggu, 30 Agustus 2020.
Menurutnya, catatan paling penting di Prasasti Tinulat adalah kalimat tentang Wilis. Di dalam artefak itu kata Wilis diartikan sebagai kawasan yang hijau dan subur. Ada dugaan, deskripsi itulah yang menandai Wilis menjadi nama gunung.
Candi Penampihan tetap berdiri meski era demi era pemegang kekuasaan di tanah Jawa silih berganti. Hal tersebut membuat benda-benda bersejarah bertebaran di sekitar situs. Sejauh ini sudah ditemukan lebih dari 50 arca dari berbagai layer kerajaan. Mulai dari kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singosari, hingga Majapahit sekitar abad 9-14 M.
Selain Tinulat, dulu pernah dijumpai tujuh lempeng prasasti berbahan tembaga. Beberapa di antaranya berasal dari masa pemerintahan Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Ada pula prasasti dari zaman Girindra Wardhana di era Majapahit akhir.
“Ketujuh prasasti itu kini disimpan di Museum Nasional Jakarta,” ujar perempuan berusia 55 tahun itu.
Winartin menambahkan, candi di teras utama yang berbentuk mirip kura-kura, dulu dikelilingi arca naga. Ada pula dua buah patung laki-laki menyerupai Bima, Ganesha, dua arca tokoh wanita, dan sebuah bola batu. Sedangkan di teras kedua terdapat sepasang arca Makara, Jaladwara berkepala ikan, dan Reco Penthung atau Dwarapala. Puluhan arca tersebut kini berada di Museum Wajakensis Tulungagung.
Di benak Winartin, menerima keputusan bahwa arca harus disimpan di museum, sebetulnya sangat berat. Dia mengaku merindukan puluhan benda bersejarah tersebut. Jika arca-arca masih berada di area Penampihan, dapat semakin memperkaya kegiatan pariwisata. Jadi, pengunjung tidak hanya sekedar berfoto saja. Akan tetapi, juga bisa menambah wawasan mengenai tinggalan peradaban masa lalu.
“Kalau arcanya masih ada di sini, saya bisa lebih mudah menjelaskan tentang informasi seputar Candi Penampihan,” kata perempuan diamanahi menjadi juru kunci sejak tahun 1982 itu.
Di candi kecil sebelah utara, terdapat relief hewan-hewan seperti kera, burung, ular, ayam hutan, babi hutan, dan macan. Ada juga pahatan yang bercerita tentang tiga ekor gajah yang digunakan untuk membajak sawah. Itu menandakan pada seribu tahun lalu daerah sekitar candi penampihan sudah menjadi kawasan agraris. Relief tersebut sudah dipindahkan di Musem Trowulan, Mojokerto, untuk keamanan.
Winartin berharap, benda-benda yang dulunya ada di Candi Penampihan dikembalikan ke tempat asal. Agar terhindar dari aksi pencurian, barangkali bisa dibangun museum mini di sekitar lokasi. Kurang lebih, konsepnya seperti ruang Karmawibhangga di Museum Borobudur, Magelang.
Tempat menyimpan barang purbakala itu dipenuhi kenangan masa lalu Candi Borobudur. Sejumlah patung diletakkan ke dalam kotak kaca dan dilengkapi narasi sejarah dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris. Dengan begitu, pengunjung yang hendak mengetahui sejarah tentu lebih dimudahkan. Misalnya, dengan melihat arca secara langsung dan membaca deskripsi-deskripsi singkat.
Meski semua relief dan arca sudah direlokasi, candi ini masih tetap eksotik. Kondisi alam di sekitarnya masih sangat asri dan udaranya sejuk. Area sekitar candi penampihan sejak jaman kolonial Belanda memang terkenal sebagai penghasil teh. Sayangnya, kini kebun teh di kawasan itu hanya tersisa sekitar 1 hektar saja.
Akses jalan menuju candi sudah diaspal, sebagian lainnya berupa rabat beton. Sehingga, dapat ditempuh dengan sepeda motor. Jika cuaca tidak sedang berkabut, pengunjung dapat lebih leluasa menikmati lanskap agraris di lereng Gunung Wilis.
Sedangkan asal-usul nama penampihan berasal dari kisah seorang tokoh dari Ponorogo. Dari cerita tutur masyarakat, kala itu dia jatuh hati kepada putri Kerajaan Kediri. Ketika bermaksud menikahi putri Kediri, lamarannya ditolak.
Merasa kecewa, ketika perjalanan pulang dia singgah ke candi tersebut. Tokoh asal Bumi Reog lalu menggunakan candi ini sebagai tempat berdoa kepada Tuhan agar lamarannya ditampi atau diterima. Hal itulah yang mendasari masyarakat sekitar menyebut candi ini dengan nama penampihan. Diambil dari bahasa Jawa tampi, yang berarti penerimaan. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post