DUA pekan sudah, dua pemuda ‘gila’ itu mencoret-coret Gang Bendon I Jl. P.K. Bangsa Kediri. Aktifitas yang biasa dilakoni Sis Kencik dan Dodoth mulai tengah malam hingga subuh ini mulai memberikan warna. Coretan mural menghiasi deretan tembok dan dinding pagar rumah warga di sepanjang gang.
Mural sarat pesan di pagar rumah Pak Parman, misalnya. Sejumlah mural mengangkat dolanan anak-anak yang belakangan ditinggalkan lantaran pengaruh modernisasi. Cublak-cublak suweng, gobak sodor, dan permainan anak lainnya.
Kreatifitas Sis Kencik dan Dodoth, dua pemuda yang menginisiasi ‘Kampung Mural’ sejak 8 April 2016 ini mulai diapresiasi warga.
Pak Parman merelakan dinding pagar rumahnya dicorat-coret lantaran melihat mural sebagai hal positif. “Sepanjang bermanfaat sebagai sarana edukasi warga, saya pribadi rela jika tembok pagar saya dijadikan media gambar,” kata pria yang akrab dipanggil Mbah Man ini.
“Kami bergerak dengan inisiatif sendiri. Sekarang, banyak warga yang mendukung gerakan ini,” kata Sis Kencik sambil menyelesaikan detail gambar sayap untuk ber-“selfie” nantinya.
Bukan sesuatu yang mudah untuk mengawali suatu gerakan kesenian apalagi yang belum dipahami oleh warga. Namun, setelah melihat apa yang mereka berdua perbuat untuk lorong kampung mereka, warga mulai memberi dukungan. Baik secara moril maupun materiil.
Tak sedikit warga yang ikut ‘melekan’ demi melihat proses pembuatan mural. Warga juga memberikan bantuan berupa hibah cat dan beberapa material penunjang. “Tak jarang mereka juga memberikan bantuan berupa makanan dan minuman serta support selama pengerjaan,” tambah Dodoth.
Kegilaan kedua pemuda ini menyimpan niatan suci. Mereka membingkai seni budaya yang sudah banyak terlupakan oleh masyarakat sekarang dalam bingkai mural.
“Ya ini demi kampung dan kota kami tinggal. Demi generasi kita agar lebih mengenal budaya dan bangsa sendiri,”
Mereka tidak serta merta bergerak . Namun, tetap meminta ijin dari yang empunya tembok atau dinding. Ketua-ketua RT setempat juga diberitahu.
Sasaran dalam menuang ide visual ini adalah lorong gang yang merupakan Wilayah RT 01, RT 02 dan RW.10 di Kelurahan Banjaran Kota Kediri.
Menurut Dodoth, mural adalah bahasa visual yang mampu merepresentasikan sebuah kegelisahan dan pemberontakan terhadap apa yang kurang pas di masyarakat.
“Mural merupakan bentuk bahasa visual yang mampu menjadi “reminder” untuk sesuatu yang telah lama dilupakan dan juga sebagai kritik sosial terhadap kondisi dan situasi saat ini dimana banyak nilai-nilai dari budaya bangsa ini yang sudah dilupakan”, papar alumnus Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Visi Yogyakarta ini.
Mural itu akan berlanjut. Pada tiap area memiliki konsep yang mengacu pada kearifan lokal dan nilai kebangsaan serta nasionalisme.
Karena halaman di rumah Mbah Man dipakai arena bermain anak-anak, maka konsep yang dipakai adalah mengenalkan kembali dolanan anak yang telah tergerus jaman. “Untuk tembok yang lain juga memiliki konsep sendiri-sendiri, ada yang bersifat nasionalisme, ada pula yang mengacu pada sejarah kejayaan masa lalu bangsa ini,” tambah Dodoth.
Sis menambahkan, “Tidak hanya sebatas dolanan anak yang diekspos, itu baru awal. Nanti ada gambar tentang nasionalisme, gambar para pahlawan, gambar tentang relief yang menggambarkan kisah panji, atau juga yang bercerita tentang kerukunan dalam kebhinekaan. Karena konsep ini adalah yang telah kami berdua sepakati,” paparnya.
Bahkan, ada beberapa titik yang nantinya dapat dipakai sebagai tempat berfoto bagi siapapun yang ingin ber-“selfie”.”
Setelah adanya sosialisasi kepada warga sekitar, beberapa dukungan juga datang dari warga yang merantau jauh dari kampung halaman. Dukungan berupa dana untuk pembelian cat dan peralatan. Sebenarnya mereka berdua tidak mau menerima dalam bentuk uang. Namun, warga yang merantau tidak mungkin mengirimkan material cat, akhirnya mereka menerima bantuan itu.
“Untuk dukungan yang berupa dana kami berdua akan transparan dalam hal ini. Kami akan menginformasikan kepada yang memberikan bantuan tersebut untuk apa saja dana tersebut dengan cara mengirimkan bukti belanja dan foto-foto dinding mana saja yang telah kami kerjakan,” ungkap Sis Kencik.
Pengerjaan mural yang ada di kampung ini biasa mereka berdua kerjakan pukul 23.00 sampai subuh. Keduanya harus membagi waktu untuk bekerja di siang hari. Pada malam hari juga lebih nyaman karena kondisi gang telah sepi dari aktivitas warga dan anak-anak.
Perjalanan masih panjang untuk mewujudkan mimpi yang bukan hanya sekedar mimpi ini. Butuh suatu niat, perjuangan dan pengorbanan yang sungguh-sungguh.
Mimpi yang bukan hanya sekadar mimpi untuk merias kampung mereka menjadi lebih menarik dan menjadi daya tarik bagi siapapun yang kebetulan lewat.
Niat mereka bukan untuk sebuah nilai yang diukur secara nominal. Lebih dari itu, yang mereka harapkan adalah bagaimana budaya dan nasionalisme itu akan tetap lestari pada generasi-generasi mendatang.
Jangan sampai generasi kita kelak tidak tahu sejarah dan budaya sendiri. Bahkan lebih tragis, belajar budaya sendiri dari negeri orang luar.
Dengan gerakan mural yang berangkat dari sebuah militansi ini bisa menggugah siapa saja di kota ini untuk tetap “nguri-uri” budaya sendiri dan Jiwa Nasionalisme akan tumbuh kembali pada generasi sekarang dan yang akan datang. (Widodo Putra)