SETENGAH berlari, lelaki itu menyusuri jalanan. Seperangkat rombong pikul yang bertumpu di pundaknya bergoyang-goyang tiap kali kakinya melangkah. Tampak tak terasa berat. Mungkin menerapkan teori para pemikul kayu di hutan; jalan setengah berlari kecil. “Rangiinnn…,” kata lelaki itu berulang-ulang.
Di depan makam Ngadisimo, Kota Kediri, Jawa Timur, dia menyeberang jalan, lalu berhenti di depan bengkel milik almarhum Mbah Lan, ahli scooter. Melihat kehadiran lelaki tu, sejumlah pecinta scooter yang sedang membenahi Vespa langsung memanggilnya dan mempersilahkan masuk ke teras bengkel.
“Wah, ada kue rangin. Silahkan masuk Kang, lama sekali nggak pernah ketemu jajanan masa kecil saya” kata Imanullah Fibrianto, pegawai Dinas Perhubungan Kota Kediri yang sedang menyerviskan Vespa, usai lebaran 2015.
Udin Badrudin, sang penjual kue rangin itu meletakkan pikulannya, kemudian mengeluarkan adonan kue yang disimpan di dalam rombong. Adonan yang terdiri dari tepung beras, tepung ketan, garam, gula, dan kelapa itu diaduk-aduk agar ketika dituangkan ke dalam cetakan loyang kandungannya bercampur rata.
Posisi loyang berada di tempat permanen. Di bawahnya ditaruh bara dari arang hitam. Ada dua loyang yang posisinya berdampingan di atas tungku. Masing-masing loyang berisi 12 cetakan rangin. Jadi sekali masak, menghasilkan 24 kue rangin.
Sebelum adonan dituangkan, loyang disaput dengan minyak goreng. Hanya beberapa menit, adonan berubah warna dari putih menjadi kecoklatan, tanda sudah matang, siap untuk disantap. “Bau asapnya harum banget, ehmmm, enak tenan,” kata Adnan, lelaki sepuh yang akrab disapa Mbah Nan. Tanpa basa-basi scooterist berumur 64 tahun itu menyantap kue yang masih panas.
Tak mau ketinggalan, Imanullah dan Arif, rekan sesama pecinta Vespa, turut menunggu matangnya rangin. Mereka membuat pincuk kertas untuk wadah rangin yang masih panas. Setelah berpindah tempat dari loyang ke pincuk kertas, rangin ditaburi gula dan siap dinikmati. Udin pun kembali mengocok adonanya dan memasaknya lagi hingga berulang-ulang.
“Kue rangin ini cocok untuk menangkal masuk angin bagi yang tidak sempat sarapan,” kata Arif. “Gurih, lezat, angin pun kabur.”
Seperti kue dan jenis makanan lain, sulit menentukan darimana sesungguhnya asal kue rangin. Di kawasan Jawa Timur saja, selain ada yang menyebut rangin, ada juga yang menamai kue gandos. Sedangkan di Jawa Barat disebut pancong.
“Saya juga tidak tahu darimana asal kue ini. Di tempat asal saya, orang menyebut kue pancong,” kata Udin menjual kue rangin di Kediri sejak tahun 2012 itu.
Sebelum mencari nafkah di Kediri, lelaki berumur 47 tahun asal Banjarwaringin, Tasikmalaya, Jawa Barat itu, berjualan sandal di Semarang, Jawa Tengah. Di Kediri, Udin kos di daerah Ngadisimo bersama rekannya sesama penjual rangin. Istri dan keempat anaknya tinggal di Tasikmalaya. Anak pertama sudah lulus SMA dan telah bekerja. Sedangkan ketiga adiknya duduk di bangku SD; kelas 6 dan 4, dan Taman Kanak Kanak. “Empat bulan sekali saya menengok keluarga di Tasikmalaya,” kata Udin.
Modal yang dikeluarkan setiap hari untuk membeli bahan baku rata-rata Rp 70 ribu. Setelah dijajakan keliling kota, Udin bisa mendapatkan hasil penjualan sekitar Rp 130 ribu. Jadi keuntungan bersih yang diperoleh rata-rata Rp 60 ribu.
Rute jualan biasanya di kawasan dekat tempat tinggalnya. Selain itu juga di pasar. Tapi yang paling laris di sejumlah Sekolah Dasar. “Langganan saya kebanyakan murid-murid SD,” kata Udin.
Harga kue rangin buatan Udin cukup terjangkau uang saku anak sekolah. Satu loyang berisi 12 buah rangin, dibanderol Rp 4 ribu. Jika satu tungku berisi dua loyang, berarti sekali memasak bisa menghasilkan 24 buah rangin senilai Rp 8 ribu.
Meskipun setiap hari dagangannya habis terjual, ada kalanya Udin tidak terlihat berkeliling. Itu berarti Udin sedang ada pesanan untuk pesta, sedang pulang kampung, atau kecapekan. “Saya nyaris tidak pernah libur. Harus terus bekerja menafkahi keluarga,’ kata Udin.
Selain digemari anak-anak, banyak kalangan mengundang Udin dan rombong pikulnya datang ke pesta atau hajatan. Tidak selalu di rumah, kadang juga melayani undangan pesta yang digelar di hotel dan tempat pertemuan umum. Harganya sama seperti saat keliling. “Kalau mau pesan buat hajatan, bisa telepon saya,” kata Udin sembari tersenyum.
Usai melayani pembeli di bengkel scooter, Udin kembali memikul rombongnya. Panas terik matahari yang berada tepat di atas kepala tak menyurutkan langkahnya. Terus berjalan, memikul rombong, berkeliling kota menjajakan kue rangin. ”Rangiiiinnnnn….” (Dwidjo U. Maksum)
Nomor Telepon Udin Badrudin: 082330126651