Pengantar Redaksi:
Perjalanan panjang Kediri melahirkan banyak hal yang kelak mengawali keberlangsungan sejarah berikutnya. Seperti arus sungai yang susul-menyusul, sejarah Kediri bergerak dalam lapisan-lapisan tebal, panjang, kerap tak saling berhubungan. Salah satu noktah yang turut mewarnai peradaban yang beragam itu adalah sosok Tan Khoen Swie, lelaki Cina yang turut memahatkan keniscayaan berubahnya tradisi lesan ke dalam tradisi tulis. Bagaimana sepak terjang Tan di semak-belukar sejarah Kediri, Dwidjo U. Maksum melakukan penelusuran yang kemudian diracik secara bersambung untuk para pembaca kediripedia.com di manapun berada.
Sebuah bangunan tua kokoh berdiri di kawasan pertokoan Jl. Doho, Kota Kediri, Jawa Timur. Tak seperti deretan toko lain di kawasan bisnis Kota Kediri yang umumnya bergaya modern, bangunan itu nampak kusam tanpa kilatan lampu billboard atau papan nama mentereng. Di atas pintu depan hanya terlihat papan kayu warna biru bertuliskan toko “SURABAYA”. Beberapa tahun terakhir, tulisan itu diremajakan dan terlihat lebih segar.
Toko kelontong yang dulu bernama “SOERABAIA” itu kini menjual bahan makanan seperti abon, dendeng, krupuk, dan aneka kue kering. Di sebelah kiri toko terdapat bangunan berukuran 12 meter persegi, yang sehari-hari berfungsi sebagai tempat praktek dokter gigi. Sang ahli gigi itu adalah drg, J Sutjahjo Gani, cicit (buyut) Tan Khoen Swie, penerbit legendaris di Kota Kediri.
Berdasarkan foto tua yang bisa ditemukan kediripedia.com dari ahli waris Tan, selain menjadi pusat boekhandel (penerbitan) dan toko buku, juga menjadi pusat penjualan ban mobil dan pompa bensin.
“Ya, inilah sisa peninggalan kakek buyut saya, tempat beliau berkarya dan menjalankan kegiatan spiritual sekitar 70 tahun silam,” kata Gani usai menjalankan tugasnya melayani puluhan pasien sakit gigi yang berjubel sejak sore hari.
Dalam perbincangan di akhir bulan Ramadan 2015, Gani mengaku bukan ahli waris buku-buku peninggalan Tan Khoen Swie. Namun dia setiap hari merawat dan menjaga ribuan buku yang menumpuk di lantai tiga rumah tua itu. Bersama istrinya, Lena Irawati dan dua anaknya: Vanya dan Catriona, lelaki kelahiran Kediri 18 Januari 1963 ini menempati salah satu kamar di lantai dua, persis di bawah bangunan bekas tempat aktivitas spiritual Tan Khoen Swie. Kedua anaknya kini kuliah di Surabaya, meneruskan jejak Gani belajar menjadi dokter gigi.
Menurut Gani, pada masa jayanya sekitar tahun 1921, toko Surabaya adalah pusat penjualan boekhandel (penerbit) Tan Khoen Swie. Berdasarkan foto tua yang ditunjukkan Gani kepada kediripedia.com, di bagian atas bangunan toko terdapat papan bertuliskan: Toko Tan Khoen Swie, Sedia Boekoe Djawa, Melajoe dan Ollanda.
“Toko buku ini mulai tidak terurus sekitar tahun 1962, ketika ditinggal Michael Tanzil ke Jakarta. Michael adalah putra bungsu sekaligus ahli waris tunggal Tan Khoen Swie,” kata Gani.
Pada awal abad-19, bagian belakang toko merupakan pusat penerbitan Tan Khoen Swie. Menurut Gani, banyak pihak menyebut Tan Khoen Swie sebagai cikal bakal penerbitan di Indonesia, yang memiliki peran penting dalam perubahan tradisi oral (lisan) ke tradisi tulis. Penerbitan itu menandai dimulainya era buku, menggantian tradisi tutur yang sebelumnya dikenal dengan bentuk tedhakan (turunan yang ditulis tangan).
Selain itu, bagian belakang rumah yang dibangun pada tahun 1939 tersebut juga merupakan rumah tinggal Tan Khoen Swie bersama keluarganya. Bagian rumah paling bersejarah adalah bangunan paling atas mirip klentheng berukuran sekitar 20 meter persegi. Untuk menuju ke loteng itu harus melalui lorong bertangga yang dipenuhi kamar. Menurut Gani, kamar-kamar itu dulunya dipakai tempat singgah para penulis atau sastrawan yang mencetakkan bukunya di boekhandel Tan Khoen Swie.
Bangunan tua di lantai tiga dilengkapi daun jendela bundar. Di dalamnya terdapat rak buku peninggalan Tan Khoen Swie. Belasan foto hitam putih pernah terpampang di dindingnya. Mulai foto keluarga Tan Khoen Swie, foto saat Boekhandel Kamadjoean ikut pameran di Yogyakarta, foto bersama Ki Padmosusastro (pengarang cerita Kancil Nyolong Timun) serta foto-foto aktivitas Tan Khoen Swie.(Dwidjo U. Maksum) bersambung ~~~
Tulisan selanjutnya: SI TUKANG RAKIT YANG SUKA MENGINTIP KERATON (Tulisan II)