DUA minggu lalu, saya menemani kelompok tani kopi, main ke Pondok Pesantren Wonosantri, di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Senang rasanya, melihat para petani itu, saling berbagi pengalaman.
Waktu di lahan, sempat muncul pertanyaan. “Pak, di tempat kami, kopi arabika itu mudah rusak tanamannya. Khususnya, saat setelah panen dengan buah yang banyak.”
“Owhh.. Iya, tanaman itu mencerminkan pemiliknya. Penggarapnya. Terutama, nafsunya. Tanaman kopi arabika itu, termasuk pohon yang berbuah lebat. Nah, kalau pemiliknya memburu hasil yang banyak, maka dia akan membiarkan dahan dan rantingnya berbunga dan berbuah lebat.”
Padahal, tanaman itu kalau berbuah lebat, dia pasti membutuhkan asupan gizi yang banyak. Seluruh daya energi tanaman, akan dikerahkan hingga membuat buah kopi itu masak.
Kalau dibiarkan, tanaman itu sendiri yang akan kalah. Setelah berbuah, dia akan kehabisan energi. Terlihat gersang. Daunnya akan gogrok. Meranggas.
“Lha terus, kuncinya? Perlu pupuk yang banyak kah?”
“Tidak semua tanaman membutuhkan pupuk yang banyak. Namun balik lagi. Kembali kepada nafsu pemiliknya. Kalau kami di sini, tidak membiarkan semua dahan dan ranting yang berbunga tumbuh hingga berbuah. Kuncinya, kita mesti tega. Tega pada tanaman.”
Lantas, pria yang akrab dipanggil pak Hari itu menjelaskan. “Sebut saja satu dompol, gerombol buah kopi itu ada lima buah. Satu dahan biasanya ada sekitar 12-15 dompol. Satu ranting lima kali dua belas, ada 60 buah. Kalau kita pilih 10 ranting terbaik saja, berarti sudah 600 butir. “Satu kilo kopi arabika, kalau gak salah, ada sekitar 350-400an butir bauh kopi. Jadi, satu pohon bisa menghasilkan 1-1,5 kg kopi. Itu sudah cukup.
Tinggal mengalikan saja, sambungnya, kalau memiliki satu hektar lahan, di situ ada 1.300-an batang pohon kopi, ya kita bisa panen minimal satu ton biji kopi. “Sepertinya itu sudah standarnya. Ya kuncinya itu tadi, kita tega pada tanaman. Tega memotong, agar setelah panen dia tidak menderita.”
Ada dua puluh pasang mata yang menyimak setiap jengkal kalimat yang diucapkan. Mereka terkesima, utamanya dengan kecermatan dan kedekatan pak Hari dengan tanaman kopinya.
Pak Hari merupakan salah satu anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Wonosantri. Dia diasuh oleh Fatkhul Ulum atau yang akrab disapa dengan nama Gus Ulum.
Gus Ulum merupakan sosok yang intens pada tanaman kopi. Baginya, bertanam kopi, bukan sekadar mencukupi kebutuhan hidup. Dengan menanam kopi, “Kita sudah ikut lho memelihara alam semesta ini. Kita sudah ikut menyediakan udara, oksigen yang segar. Kita sudah ikut memelihara tanah di pegunungan agar tidak gundul dan mudah longsor. Di situlah ibadah kita. Kita bersedekah kepada alam dan sesama manusia. Maka, ya alam yang kita rawat itulah yang akan merawat hidup kita,” katanya.
Gus Ulum menekuni budidaya kopi semenjak 2011. Beberapa tahun bekerja di Jakarta, dia memutuskan diri untuk kembali pulang mengembangkan budidaya kopi. Dia belajar secara mandiri dengan para petani di sekitar lereng Gunung Arjuna, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Pemahaman mengenai budidaya kopi secara baik dan benar, dia upayakan bersama para petani kopi. Lahan ditata sedemikian rupa, bahkan rumah tinggalnya menjadi ‘mabes’. Rumah besar itu banyak didatangi orang dari berbagai kalangan untuk belajar bareng.
Pada kesempatan pengajian, tak jarang pemahaman tentang kopi menjadi bagian materi dakwah. Dari sanalah, munculnya slogan Ngopi sak ngajine. Ngaji sak ngopine.
Menurut Gus Ulum, penting membangun kesadaran bahwa kita ini petani yang memiliki harga diri dan martabat. “Bukan semata-mata biji kopi kita bisa dihargai mahal oleh pembeli. Beberapa kali, kami kedatangan orang. Setelah merasakan, mencicipi kopi hasil olahan kami, mereka bilang, saya mau beli. Ada berapa setoknya? Minimal pembeliannya berapa “ujar Gus Ulum menirukan logat sang pembeli tersebut.
“Owhh, kalau bagi kami bukan berapa banyak persediaan yang bisa dibeli. Sebaliknya, buat sampeyan, maksimal dua kilogram. Ya dia jelas kaget. Jawaban yang tak terduga mungkin, bagi dia. Pedagang yang merasa dirinya besar, modalnya kuat, lalu dapat jawaban cukup dua kilo saja. Kaget dia.”
“Ya, begitulah, kami ingin harga diri dan martabat petani itu bukan sekadar berarti jumlah nominal uang. Tidak. Jangan jangan, uang yang dia miliki itu adalah duit utangan. Tapi poinnya adalah kita sebagai petani, mesti bangga dengan martabat kita sendiri.” Hari semakin beranjak siang. Udara segar lereng Arjuna, sejuk menyapa. Deretan pohon kopi, berjajar begitu rapi. Indah. elok memanjakan mata. Tak sia-sia rasanya, ngaji kopi bersama kelompok tani peraih Juara I Lomba Kelompok Tani Hutan Tingkat Nasional tahun 2023 ini. (Tri Anom Suryandharu, Staf Karyawan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Ma Chung Malang)
Discussion about this post