Pengantar Redaksi:
Perjalanan panjang Kediri melahirkan banyak hal yang kelak mengawali keberlangsungan sejarah berikutnya. Seperti arus sungai yang susul-menyusul, sejarah Kediri bergerak dalam lapisan-lapisan tebal, panjang, kerap tak saling berhubungan. Salah satu noktah yang turut mewarnai peradaban yang beragam itu adalah sosok Tan Khoen Swie, lelaki Cina yang turut memahatkan keniscayaan berubahnya tradisi lesan ke dalam tradisi tulis. Bagaimana sepak terjang Tan di semak-belukar sejarah Kediri, Dwidjo U. Maksum melakukan penelusuran yang kemudian diracik secara bersambung untuk para pembaca kediripedia.com di manapun berada.
Dalam keluarga besar Tan Khoen Swie, tidak semua generasinya meneruskan kiprah di bidang penerbitan. Dari pernikahannya dengan Liem Gien Nio, Tan Khoen Swie mempunyai tiga anak, yaitu, Tan Poo Hwa Nio (meninggal di Kanada, menikah dengan Kwee Djie Hoo dan mempunyai enam orang anak), Tan Bian Hoo (meninggal muda di Jakarta, kawin dengan Nyoo Kiem Nio, Tan Bian Liong alias Michael Tanzil.
Michael Tanzil menikah tiga kali. Istri pertamanya seorang warga Amerika dan mempunyai dua anak. Istri keduanya Siane Lim asal Belanda juga mempunyai dua anak. Setelah cerai dengan kedua istrinya itu, Michael menyunting gadis kelahiran Wonosobo, Yuriah Tanzil yang pernah menjadi asisten fotografer di studionya di kawasan Bendungan Hilir Jakarta Pusat.
Michael merupakan satu-satunya anak Tan Khoen Swie yang memiliki perhatian lebih terhadap buku-buku terbitan Boekhandel Tan Khoen Swie. Setelah Tan meeninggal pada tahun 1953, Michael yang mengelola toko buku sampai tahun 1963. Michael Tanzil selama itu juga menerbitkan beberapa buku baru dan mencetak ulang beberapa buku yang telah habis dan bekerja sama dengan penerbit lain.

Karena perhatiannya itulah, dalam surat wasiat yang dibuat Tan Khoen Swie pada 25 Juli 1952, dan disempurnakan dengan surat pembatalan pada 17 Maret 1953 (kedua surat itu dibuat di hadapan Notaris Raden Soedarmadji Soeriokoesoemo di Madiun), usaha penerbitan dan toko buku Boekhandel Tan Khoen Swie diserahkan ke Michael Tanzil, yang juga seorang arsitek lulusan Illionis Institut of Technology dan pernah menjadi fotografer di Associated Press.
“Menurut Tante Yuriah Tanzil, untuk buku-buku yang sudah dicetak, 60 persen menjadi hak Michael Tanzil. Sedangkan yang belum dicetak, merupakan hak penuh Michael Tanzil,” kata Gani menuturkan soal hak kepemilikan buku-buku Tan Khoen Swie.
Sejak tahun 1962, Michael Tanzil bermukim di Jakarta dan mondar-mandir Jakarta-Kediri untuk mengurus toko buku warisan ayahnya. Karena tidak di kelola sendiri dan Michael semakin sibuk di Jakarta, maka beberapa tahun kemudian ditutuplah toko buku TAN KHOEN SWIE dan buku-bukunya tetap disimpan di gudang. Michael mulai terjun ke dunia jurnalistik pada tahun 1971, di United Press Amerika.
Kemudian mulai tahun 1974 sampai 1984 sebelum kena stroke, ia bekerja sebagai stringer NBC News di Jakarta. Dan pada tahun 1980, sempat menjabat Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Warta Ekonomi Maritim Reviews. Film dokumenter tentang pembangunan LNG Arun di Aceh dan pengeboran minyak lepas pantai oleh Total Indonesie di Balikpapan Kalimantan Timur, juga pernah digarapnya pada tahun 1975-1976.
Sebelum meninggal dunia pada 14 Maret 1993, dalam kondisi lumpuh separuh badan setelah menderita stroke selama 9 tahun, Michael sempat menulis surat wasiat pada secarik kertas, yang berbunyi :
Wasiat
Saya Michael Tanzil
Dalam keadaan sadar menulis surat wasiat ini
- Karna kesehatan saya menurun
- Saya serahkan rumah, lukisan dan hak penerbit dan semua buku kepada istri saya, Yuriah Tanzil supaya anak saya rukun.
24-12 –90, Hari Natal
“Michael juga berpesan, hak penerbit tidak boleh dijual dan istrinya supaya memilih kembali buku-buku yang bisa diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia, supaya bisa dibaca dan dimengerti masyarakat luas,” tambah Gani.(Dwidjo U. Maksum) bersambung ~~~
Tulisan selanjutnya: AHLI WARIS MENERBITKAN ULANG SERAT BABAD KADIRI (Tulisan VII)