SEJAK berabad-abad silam, tumbuh-tumbuhan menjadi kawan yang selalu bersanding dengan sejarah peradaban umat manusia. Aneka tanaman ini dikompilasi dengan keindahan baru yang populer disebut taman. Salah satu yang termegah dan masyhur di antara keajaiban dunia kuno ialah Taman Gantung Babilonia di tebing timur Sungai Efrat di Irak. Sayangnya, kala itu hanya para raja dan bangsawan saja yang bisa menikmati tempat rekreasi tersebut.
Seiring perkembangan zaman, beragam bentuk taman bertebaran di seluruh dunia bahkan terjangkau oleh semua kalangan. Keberadaannya yang penting untuk penyegar dalam dan luar ruangan, kini tidak sedikit orang yang berkreasi membangun taman sendiri. Apalagi di saat semua manusia harus mengisolasi diri karena pandemi virus corona. Tak ayal bila kegemaran itu dianggap masyarakat sebagai obat penghalau kejenuhan selama bertahan di rumah.
Salah seorang yang mulai tekun berkebun dan bertaman di kala pandemi ini ialah Ryan Dwi Candra. Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri ini terpaksa pulang ke kampung halamannya di Desa Karangjati, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, karena darurat wabah. Di sela menjalani studi kuliah dari rumah, ia menyibukkan diri menjalani hobi, sekalian ingin menyulap halaman rumahnya jadi sebuah taman.
“Masih proses pengolahan lahan, di beberapa bagian perlu ditambah urukan tanah, dan melengkapi koleksi tanaman hias,” katanya melalui panggilan telepon, pada Senin, 8 Juni 2020. Selain semata-mata untuk mengisi waktu luang, hobi tersebut membuat Ryan merasa nyaman seperti menyelesaikan tanggungan yang kian lama belum tertunaikan.
Dalam upaya mempercantik pelataran, Ryan tidak mengeluarkan banyak biaya. Ia hanya mengoptimalkan pendayagunaan benda-benda yang tersedia di pekarangan sendiri. Seperti batu bata dan genteng sisa-sisa renovasi rumah. Adapun kebutuhan tanaman hias, sebagian besar diperoleh dari berburu aneka tumbuhan yang hidup liar di area ladang dan sawah. Sementara keperluan pupuk telah tercukupi dari campuran kotoran ternak ayam dan abu sekam.
“Hanya kebutuhan plastik dan styrofoam yang terpaksa harus beli, tapi total biayanya tidak lebih dari dua puluh ribu Rupiah,” katanya. Keduanya digunakan untuk membuat kolam kecil, sekaligus sebagai media tanam dengan metode aquaponic. Pola ini memungkinkan Ryan menanam kangkung dan memelihara ikan mujair dalam satu wadah yang sama.
Menurut aktivis pers mahasiswa itu, membangun taman ialah hiburan paling pas di tengah marak pembatasan sosial akibat ancaman Covid-19. Apalagi hobinya cukup terdukung oleh pekarangan rumah yang subur akan berbagai jenis pohon dan perdu. Antara lain kelapa, pisang, jeruk, serai, ketela, dan durian. Kekayaan ini mendorong Ryan melahirkan banyak ide, untuk memadu keragaman hayati jadi lanskap sederhana sekaligus sedap dipandang mata.
Tidak hanya di lingkungan Ryan di kaki Gunung Slamet, kini tren berkebun dan bercocok tanam justru kian menyeruak di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kediri Jawa Timur (Jatim). Masyarakat gandrung menghias ruangan atau merenovasi taman di kediaman, agar betah berlama-lama di rumah. Mulai dari mengganti jenis tanaman, hingga mencoba ornamen anyar. Seperti menginstal lampu, pilar, dan air mancur kolam.
Geliat itu tampak pula dari aktivitas salah satu produsen pilar, pot, dan hiasan taman di Kediri, Pilar Jaya. Perusahaan yang bermukim di Dusun Terate, Desa Banjarejo, Kecamatan Ngadiluwih itu mencatat dua peningkatan produksi selama pandemi. Yaitu perlengkapan kebersihan seperti tempayan untuk cuci tangan; dan keperluan penghijauan, terutama pada pembuatan ornamen air mancur. Kemungkinan besar, tempayan dan air mancur itu digunakan untuk melengkapi sudut-sudut rumah yang berdekatan dengan taman.
“Peningkatan ini di luar ekspektasi, tapi juga membuat perusahaan bernafas kembali saat penjualan produk-produk unggulan kami anjlok karena krisis akibat virus corona,” kata Lutfi Zanwar Kurniawan, pemilik Pilar Jaya.
Di masa normal, jumlah pesanan pernik air mancur setiap bulan di Pilar Jaya dapat terhitung jari. Saat ini peminatnya terus mengalir, mulai dari sekitar Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Blitar, dan berbagai daerah lain di Jatim. Para pembeli aksesoris taman itu mayoritas adalah pelanggan baru dan rata-rata untuk keperluan pribadi. Tak sedikit pula pesanan datang dari para pedagang serta penyedia jasa pembuatan taman.
Lutfi mengaku sempat kewalahan karena marak permintaan, tapi tetap berupaya menyediakan bermacam-macam model dan ukuran pernik air mancur. Variasi taman indoor maupun pelengkap kebun di halaman ini ditawarkan dengan harga yang beragam. Mulai dari 200 ribu hingga senilai 1.500.000 Rupiah.
“Mayoritas konsumen kami malah suka air mancur ukuran besar, yang harganya di atas 300 ribu rupiah,” kata Lutfi.
Gairah masyarakat gandrung berkebun dan bertaman itu, menjadi fenomena nyata ketergantungan umat manusia dengan alam semesta. Menariknya, hubungan ini asri kembali karena kepungan pandemi. Bisa jadi, kelak berakhirnya wabah akan diiringi oleh taman-taman yang bertumbuhan di sekitar rumah. (Naim Ali)