COVID-19 adalah musuh senyap yang mengancam tak hanya nyawa, namun kelangsungan daya hidup orang perorang. Sejumlah profesi tumbang atau bisa dikata: mati suri. Jaringan internet kemudian menjadi salah satu solusi menakar, agar hidup kembali berdetak.
Sejumlah 226.586 seniman dan pekerja kreatif yang terdampak Covid-19, pada April lalu mencari jalan; menerobos kemungkinan-kemungkinan. Para seniman bercengkerama dengan sekat-sekat penghalang dan tetap harus bisa survival. Tak hanya termangu menunggu bantuan sosial dari berbagai arah.
Dengan segala cara, para seniman kini malah mampu menemukan formula baru. Seperti halnya wabah, kreativitas ditularkan kemana-mana. Di antaranya membuat Pameran Virtual, Artist Talk, Kelas dan Pelatihan Onlines, Bursa Pembuatan Meme & Propaganda Komersial Korporat, Forum Diskusi Para Profesional Bulanan yang berbayar, Kiat dan Strategi Motivasi Para Pakar, hingga peluang kreatif pada alat perlindungan diri dan Desain Alat Perlindungan Diri (APD) yang artistik.
Ada pula seniman yang secara organik menciptakan kantung kultural mandiri dengan komunitasnya. Meraka saling berkirim Podcast dengan mengandalkan konten kreatif di Youtube, sampai melayani pembuatan Desain Sekuritas pada Fintech (Financial Technology).
Di masa pandemi Covid-19, para pekerja seni bertahan dengan konsep VUCA. Akronim dari Volatile (perubahan amat cepat), Uncertainty (tak pasti), Complexity (rumit), serta Ambiguity (membingungkan). Ditemukan pada tahun 1987, VUCA didesain untuk para petinggi militer memahami musuh yang tak terdeteksi.
Konsep VUCA saat ini diadopsi oleh kalangan pebisnis bahkan para seniman. Dari situlah kemudian acara #Basri Menyapa lahir. Didukung Kidung Artspace yang menawarkan program reguler, talkshow online dengan topik khas digelar untuk membangun koneksi, bertukar gagasan, serta menampilkan tokoh-tokoh kreatif dan inovatif.
Dengan hadirnya #Basri Menyapa diharapkan para seniman dapat saling berbagi, mengilhami, dan secara kongkrit menularkan daya survivalnya. #Basri Menyapa, dipandu sendiri oleh penulis, Bambang Asrini sebagai sebuah cita-cita kemandirian untuk semua.
Farhan Siki dan Tokoh Kreatif Lain
#Basri Menyapa menghadirkan dua sesi Bedah Profil (45 menit), sebagai sapaan ramah, lepas lagi bernas. Tiap bintang tamu membahas berbagai topik tertentu seputar latar belakang profesi dan visi kreatifnya. Kemudian berlanjut ke sesi kedua, yaitu Bedah Karya (45 menit). Tiap bintang tamu bereksplorasi dan unjuk karya-karyanya dengan pesan-pesan yang disampaikan kepada publik.
Para tokoh kreatif yang menjadi bintang tamu datang dari berbagai kalangan pekerja seni. Bisa desainer, arsitek, ketua komunitas seni, seniman & perupa, kolektor dan art dealer, gallerist, pakar Museum, ilmuwan humaniora dan sosial, film maker, penulis, dan pekerja-pekerja kreatif lain.
Pada Minggu pertama Juni 2020 ini, #Basri Menyapa menghadirkan Farhan Siki, alumni Fakultas Sastra Universitas Jember dengan visinya sebagai seniman street art. Bahasan tentang “Seniman Lahir di Jalanan” menjadi tajuk utama.
Sukses lewat pameran berjuluk Jogja Art Fair 2009, Farhan kemudian Go International. Dia diundang ke benua Eropa untuk melakukan kerja kolektif dan mandiri di kantung-kantung komunitas street art Eropa. Di Milan, Italia, Farhan menggelar pameran di galeri Primo Marella tahun 2012 dengan solo show-nya: Implosion.
Di tanah air, Farhan Siki juga melakukan berbagai proyek mandiri dan saling interdependesi dengan para seniman-seniman di Jakarta, Bandung, Yogjakarta, Surabaya dan Bali. Pada akhir 1990-an sampai 10 tahun kemudian, dia bergiat pameran kelompok atau solo, merespon beragam atmosfer kota dengan karya artistiknya: kritik pada kehidupan urban.
Pada karya terbarunya, Farhan merespon Covid 19 dengan menyusuri “kotak Pandora” kegelisahan manusia dan pertempuran batin melawan derita. Wabah corona ditampilkan justru sebagai jalan sakral menuju sang Khaliq. Berjudul Via Via yang diambil dari bahasa Italia yang berarti “jalan-jalan”, dibenturkan dengan makna Via Dolorosa, jalan kesengsaraan menuju spiritualitas.
Penderitaan akan wabah membuka jalan ke Tuhan. Sementara, karya yang lain, seperti Dalam Gersang, Farhan menampilkan sayup-sayup karakter virus Corona bertumpuk di imej pohon-pohon kaktus. Visual yang dihadirkan segera melayangkan konstruksi pikiran bahwa kondisi kegersangan melanda manusia di abad 21 ini, mungkin tak hanya karena wabah penyakit, tapi masa depan kemanusiaan kita: konflik geo-politik di beberapa wilayah jagat mencipta gurun nan tandus pada nalar dan rasa.
Sebelum menghadirkan Farhan Siki, #Basri Menyapa seri ke-1, pada Mei 2020 mengundang perupa perempuan, Arahmaiani. Narasi perjalanannya sebagai seniman perempuan banyak diulik di acara itu. Seperti pengalaman menjelajah Tibet, Jerman, sampai bagian wilayah-wilayah tertentu di Bali yang menarik minatnya sebagai aktivis lingkungan hidup.
Arahmaiani berbagi pengalamannya tentang bagaimana Tibet menyumbang sumber air bersih bagi 47% populasi dunia. Sedangkan di Asia, kawasan Tibet menyediakan air bagi 85% populasi Asia, lewat sungai-sungai yang berhulu di dataran tinggi: Gangga, Brahmaputra, Indus, Karnali, Sutlej, Yangzi, Huanghe (Sungai Kuning), Mekong, Salween sampai Irrawady. Peran apa yang berikkan oleh seniman Arahmaiani di sana, juga dibahas.
Sementara tamu di seri ke-2 #Basri Menyapa, menghadirkan Teguh Ostenrik. Dia seorang seniman senior yang tenar membangun instalasi raksasa seperti Tembok Berlin di Kalijodo Jakarta atau membuat coral buatan di perairan-perairan Indonesia dengan visi Underwater Sculpture Museum. Karya Teguh terakhir menyoal berbagi makanan dalam masa wabah sebagai bagian dari estetika relasi dengan menghubungkan orang-orang dan lingkungan sekitar yang disantuni makanan-makanan siap santap.
Berikutnya, #Basri Menyapa juga menghadirkan Adi Panuntun, desainer yang tenar dengan video proyeksi atau video mapping raksasa. Ia akan membagi pengalaman tentang penemuan baru teknologi media digital dalam satu dekade ini. Pada situs outdoor, komunitasnya, Sembilan Matahari mempresentasikan teknik proyeksi yang menghasilkan cahaya masif ke obyek raksasa sebagai layar. Biasanya di sebuah gedung monumental dan bersejarah.
Pada akhirnya, Covid-19 memang sebuah deraan berat bagi kemanusiaan, tapi tak harus selalu diakhiri dengan tangis dan tangan menegadah. Sebab hidup harus dilanjutkan, dengan kemandirian serta kegotong-royongan untuk terus berbagi dan berkreasi. (Bambang Asrini Widjanarko, Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru.)