BERDIRI sejak zaman Belanda, gedung Sekolah Tamansiswa Kediri ini mengusung gaya arsitektur indis Art Deco. Pintu, jendela, dan ventilasi udara yang berukuran besar, dibuat dari bahan kayu berbentuk krepyak atau jalusi. Bangunan klasik di Jalan Pemuda Nomor 16, Kota Kediri itu sudah melintasi berbagai era, antara lain penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, hingga masa kemerdekaan. Pada 3 Juli 2022 mendatang, Perguruan Tamansiswa genap berusia seratus tahun.
Ki Supomo, Ketua Yayasan Tamansiswa Kediri mengatakan, gedung sekolah tersebut dulunya adalah rumah milik orang Belanda. Di ruangan yang kini dijadikan kantor guru, dulu terdapat meja bar seperti di klub-klub malam, tempat nongkrong noni-noni Belanda. Sedangkan di bagian belakang gedung ada bekas kandang kuda yang sekarang difungsikan sebagai gudang.
“Usai Indonesia merdeka, kepemilikan beralih dari orang Belanda ke Yayasan Tamansiswa. Surat peralihan hak milik tanah masih kami simpan,” ujar Supomo, Selasa 28 Juni 2022.
Ketika ditemui Kediripedia.com, lelaki 65 tahun ini sibuk memandu para pengunjung Pameran Seni Rupa karya Dyan Anggraini di Tamansiswa Kediri. Acara yang berlangsung pada 24 Juni hingga 3 Juli 2022 digelar dalam rangka menyongsong seratus tahun Sekolah Tamansiswa yang diinisiasi Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara.
Sekolah Tamansiswa didirikan sebagai organisasi pendidikan alternatif yang menekankan prinsip nasionalisme dan kemerdekaan pendidikan. Tamansiswa melawan deskriminasi pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Didirikan di Yogyakarta pada 3 Juli 1922, Tamansiswa lalu berkembang ke hampir seluruh daerah di Indonesia, termasuk Kediri, Jawa Timur.
Lebih lanjut dia menjelaskan, hingga kini tidak ada keterangan pasti kapan berdirinya Tamansiswa di Kediri. Namun, dari obrolan bersama para alumni, sekolah ini diperkirakan lahir sekitar 10 tahun setelah kemunculan Tamansiswa pada 1922. Kurang lebih berbarengan dengan kelahiran Tamansiswa lainnya di luar Jogjakarta.
“Dari cerita para senior, Ki Hadjar Dewantara juga sempat mengunjungi Tamansiswa Kediri,” ujar Supomo.
Sarjana lulusan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) menambahkan, Sekolah Tamansiswa di Kediri beberapa kali pindah. Pertama berdiri di dekat Klenteng Tjoe Hwie Kiong, lalu pindah di gedung Satlantas Polresta Kediri, kemudian baru di Jalan Pemuda Kota Kediri hingga sekarang.
Menurut Supomo, gedung sekolah yang dulunya rumah orang Belanda ini menjadi saksi perjuangan rakyat Kediri di masa perjuangan kemerdekaan. Di masa Agresi Militer Belanda 2 tahun 1948, gedung ini dijadikan tempat persembunyian para gerilyawan.
Pejuang-pejuang gerilya itu merupakan masyarakat non-militer yang berasal dari Desa Panjer, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, kawasan dekat perkebunan Djengkol. Ketika diburu tentara Belanda, para kombatan itu bersembunyi di ruangan bekas kandang kuda.

Para mantan gerilyawan Agresi Militer 2 itu kini sudah wafat. Untuk mengenang perjuangan mereka, sekolah Tamansiswa membangun prasasti di tengah perempatan Desa Panjer. Setiap tahun, sekolah juga mengadakan acara bersepeda yang diikuti seluruh guru dan murid. Rute yang ditempuh sama seperti jalur gerilya, dari Desa Panjer menuju Tamansiswa Kediri.
“Beberapa tahun terakhir acara itu terpaksa kami tiadakan karena pandemi Covid-19,” kata guru yang sudah mengabdi di Tamansiswa sejak 1985 ini.
Novi Bahrul Munib, Ketua Komunitas Pelestari Sejarah dan Budhaya Kadiri (PASAK) menjelaskan, gedung Tamansiswa Kediri termasuk bangunan bersejarah. Saat Presiden Soekarno selesai membaca Proklamasi Kemerdekaan, orang pertama kali yang mendengar informasi itu adalah Mayor Bismo. Pahlawan yang sosoknya diabadikan menjadi patung di Alun-alun Kota Kediri itu mengajak berbagai elemen masyarakat untuk menggelar rapat rahasia di rumah yang kini menjadi Sekolah Tamansiswa.
“Tujuan pertemuan di gedung Tamansiswa itu untuk mendesak tentara Jepang yang masih berada di Kediri agar segera menyerah,” kata Novi.
Pertemuan kecil yang diinisiasi Mayor Bismo di Tamansiswa melahirkan keputusan menggelar rapat besar secara resmi. Mereka lalu melakukan pengepungan pos-pos tentara Jepang di Kediri. Koordinasi antara masyarakat dan militer itu berhasil membuat Jepang menyerah tanpa syarat, sehingga bendera merah putih berhasil dikibarkan di Kediri.
“Gedung Tamansiswa Kediri mempunyai andil besar dalam perjuangan kemerdekaan di Kediri, sehingga bangunan tersebut layak dilestarikan,” ujar Novi. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post