TIDAK pernah terpikir di benak Kholidah Tamami, di tahun pertamanya menempuh studi doktoral di Fakultas Hubungan Internasional Baku State University, Azerbaijan, akan menemui sejumlah kendala. Saat menjalani masa karantina akibat wabah virus corona, rekening bank BCA miliknya tiba-tiba diblokir. Tidak dapat mengambil uang sama sekali, Olie, sapaan akrabnya, tidak menyerah dengan keadaan. Di negeri tempat kisah Nabi Nuh bermula itu, dia bertahan hidup dengan berjualan kue pastel, tahu, dan tempe.
Selama berada di Negara Kaukasia itu, Olie sebenarnya sudah merasa nyaman tinggal satu rumah bersama warga muslim Sunni, Syiah, bahkan atheis serta agnostic. Sejak virus corona mulai meruyak, dia terpaksa mencari tempat tinggal baru agar terhindar dari segala kemungkinan penularan. Langkah itu harus segera diambil karena pemilik kost tempat Olie menetap adalah seorang dokter yang setiap hari berinteraksi dengan pasien.
“Saya tidak bisa pulang ke Indonesia karena penerbangan sudah dibatasi. Dengan uang yang tersisa di dompet, saya menyewa flat atau rumah susun untuk menjalani karantina,” kata Olie dalam wawancara dengan Kediripedia.com via Whatsapp pada Jumat, 15 Mei 2020.
Orang Indonesia pertama yang mendapatkan beasiswa dari Kementrian Luar Negeri Azerbaijan itu, menggunakan uang sebesar 500 Manat sebagai biaya sewa flat dan membeli kebutuhan makan selama sebulan. Sayangnya, memasuki bulan berikutnya rekening masih juga diblokir. Kondisi itu diperparah dengan uang beasiswa yang ternyata belum cair.
Untuk mencukupi biaya hidup di negara yang kaya minyak itu, Olie terpaksa berdagang kuliner secara online. Kue pastel, tahu, dan tempe dipromosikan melalui akun instagram bernama @ambyarmarket. Tak butuh waktu lama, kue pastel buatan Olie langsung dibanjiri pesanan. Di hari pertama berjualan, dia mendapat order pastel sebanyak 35 buah dari Warga Negara Indonesia (WNI) di Azerbaijan. Salah satunya, Dian Sarastien, istri Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan.
Berbeda dengan kue pastel yang dia bikin sendiri, Olie tidak memproduksi tahu dan tempe. Dua makanan khas Indonesia itu didapat dari restoran masakan Asia yang tutup dan sepi orderan selama lockdown. Ketika dipromosikan di media sosial banyak warga Baku yang tertarik dengan postingan Olie. Bukan hanya dari WNI, tapi juga orang-orang dari negara lain, seperti Korea Selatan, Iran, dan Malaysia.
“Upaya itu cukup efektif untuk menutup biaya hidup di saat uang beasiswa telat masuk ke rekening,” ujar perempuan yang pernah menjadi peneliti di Islamic and Middle East Research Centre (IMERC) Universitas Indonesia (UI) itu.
Menurutnya, aktivitas niaga itu tidak mengganggu prosesnya menempuh gelar doktoral di Baku State University. Kegiatan berjualan itu dilakukan di luar jam kuliah. Apalagi, sejak perkuliahan dipindahkan ke sistem daring, Olie semakin leluasa memanfaatkan kelonggaran waktu. Berdagang jalan, kuliah pun tetap lancar.
Selain berjualan online, perempuan yang pernah ikut tes TOEFL di Kampung Inggris, Pare melewati karantina dengan sejumlah kegiatan produktif. Misalnya belajar bermain gitar, bernyanyi, menulis puisi, membuat lirik lagu, memasak, menjahit pakain yang robek, memodifikasi baju secara manual, mencuci sepatu-sepatu kotor, yoga, ikut seminar, dan rapat online. Berbagai aktivitas tersebut berguna untuk menjaga kesehatan mental di masa pandemi.
Menurut wanita yang pernah aktif di Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) itu, di masa pandemi Covid-19 warga Azerbaijan cukup tertib dan mengikuti anjuran pemerintah. Mereka tetap survive dan tidak menuntut bantuan pangan. Jika pemerintah memberi akan diterima, bila tidak ada bantuan mereka tidak protes dan berusaha bertahan hidup dengan cara masing-masing.
Jika di Indonesia dikenal dengan lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka di Azerbaijan disebut dengan Rezim Karantina. Di Baku, Ibu Kota Azerbaijan, karantina dimulai sejak 30 Maret hingga 20 April. Durasi karantina di negara yang berbatasan dengan Rusia itu bisa diperpanjang bila situasi corona belum mereda. Olie dan ribuan warga di sana, hingga kini tidak diperboleh ke luar dari kediaman.
Beruntung, sebelum Rezim Karantina diberlakukan, Olie sempat berziarah ke makam Nabi Nuh di Kota Naxchivan, Azerbaijan. Kunjungan itu dilakukan pada bulan Februari 2020. Di bulan Ramadhan ini, dia sebenarnya berkeinginan untuk kembali berziarah. Niat itu terpaksa harus ditunda dahulu karena Bandara Kota Baku telah ditutup.
“Untuk sampai ke Kota Naxchivan harus menggunakan pesawat yang menuju Iran. Tidak mungkin bisa langsung kesana karena juga harus transit di Armenia,” kata Ketua Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Azerbaijan itu.
Hampir setahun berada di Negara Api, Olie tentu sangat rindu Indonesia, terutama keluarga di tanah air. Untuk mengobati rasa rindu pada anaknya Freeda Alleysha yang kini berusia 7 tahun, hampir setiap hari Olie melakukan video call.
Situasi pandemi yang belum juga berakhir, tentu sangat kecil kemungkinan Olie bisa pulang ke Indonesia dalam waktu dekat. Jika memaksakan pulang, di perjalanan sudah pasti banyak berinteraksi dengan banyak orang yang membuka potensi penularan corona. Kalaupun ada peluang untuk kembali ke tanah air, dia akan lebih memilih bertahan di Azerbaijan demi kebaikan sesama. (Kholisul Fatikhin)