“Dia memang tidak semonumental Pramoedya Ananta Toer, tapi karya-karyanya yang mungil merupakan mutiara.”
PETIKAN kalimat itu ditulis Hans Bague Jassin, kritikus sastra Indonesia ketika mengomentari sosok Toha Mohtar. Dalam ulasan yang dimuat pada buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II tahun 1985, Jassin amat mengagumi sastrawan kelahiran Kediri itu. Khususnya pada novel “Pulang” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Rusia. Roman kemesraan, konflik batin rindu kampung halaman, dan cinta tanah air menjadi napas cerita.
Kiprah Toha Mohtar jarang dibicarakan, bahkan tersisih dari sejarah sastra Indonesia modern. Pria berpostur kerempeng dan bermata lebar ini memang tidak terlalu menyukai publikasi berlebihan. Sebagai sastrawan generasi 1950-1960an, dia dikenal bersahaja serta pemalu. Toha terbiasa menulis nama samaran pada karya-karyanya. Di antaranya, Badarijah U.P, Matulessy, M. Lessy, Tati Mohtar, Elly, Gutomo, Wahjudi, dan Ridwan.
Dia baru mengungkap nama aslinya ketika novel Pulang yang ditulis pada 1958 mendapat sambutan luar biasa di Indonesia dan mancanegara. Novel yang mengisahkan kehidupan bekas tentara Heiho Jepang itu mendapat hadiah sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) 1958. “Pulang” kemudian diadaptasi menjadi film oleh sutradara Basuki Effendi dan dibintangi Turino Djunaidi. Film ini juga dirilis di Malaysia, lalu diterjemahkan ke berbagai bahasa asing di dunia.
Toha tak mengira novel yang menurutnya ditulis dengan terpaksa dan asal-asalan itu bisa mendunia. Pengakuan ini tergambar ketika dia diwawancarai majalah Warta Dunia pada 1960.
“Saya sendiri sebenarnya tidak pernah merasa bisa melukiskan keadaan alam dan suasana desa,” kata Toha.
Meski begitu, faktanya “Pulang” disambut hangat para kritikus dan pengamat sastra Indonesia. Selain H.B. Jassin, respon positif atas novel berlatar Gunung Wilis dan Kelud itu didapat dari A. Teeuw, Ajip Rosidi, dan Sri Rahayu Prihatmi. Mereka sepakat bahwa penulisan Toha sarat dengan teknik monolog dan solilokui. Gaya penulisan seperti ini kemudian dilanjutkan sastrawan seperti Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan Budi Darma.
Dianggap piawai melukiskan suasana ke dalam tulisan, menariknya Toha bukan berasal dari keluarga sastrawan. Lahir pada 17 September 1926, dia adalah anak kedua dari Husni Mohtar, seorang penghulu di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Dia dibesarkan di lingkungan yang taat beribadah. Pagi hari sekolah, sorenya mengaji. Menjelang kemerdekaan Indonesia, Toha yang saat itu masih remaja ikut bergerilya masuk hutan Gunung Wilis dan Kelud.
Saat Kediripedia.com menelusuri jejak-jejak Toha Mohtar di Ngadiluwih, sayangnya tak ada satupun informasi yang berhasil ditemukan. Keluarga besarnya sudah lama pindah.
“Toha Mohtar mungkin hanya sampai usia 23 tahun di Kediri, selanjutnya dia pindah ke Surabaya dan Jakarta,” kata Muhammad Tontowi, Petugas Pencatat Cagar Budaya Kemendikbud tahun 2023 yang bertugas di Kecamatan Ngadiluwih, Kediri.
Menurut sarjana Sejarah Peradaban Islam UIN Tulungagung ini, Toha pindah ke Surabaya pada 1947. Dia bekerja menjadi editor majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya. Kemudian pada 1950, dia pindah ke Jakarta dan bekerja di dinas ketentaraan.
Dari riset literatur yang dilakukan Tontowi, saat itu Toha merasa tidak cocok sebagai orang kantoran. Perkenalannya dengan Dukut Hendronoto, Subagio Pr, Trisnojuwono, dan Mieke Sd, membawanya pada keputusan mendirikan Majalah Ria yang memuat tulisan hiburan dan humor. Di majalah inilah, dia menulis cerita bersambung yang menjadi novel “Pulang”.
Sayangnya, Majalah Ria bubar. Toha lalu bekerja sebagai guru menggambar di Taman Dewasa, Perguruan Taman Siswa Jakarta pada 1953-1959. Saat menjadi guru dia bertemu Tjitjih Sudarsih, istrinya.
Toha pada akhirnya kembali ke dunia media dengan mendirikan majalah anak-anak, Kawanku. Sepanjang 1970-1984, cerpen Toha di Majalah Kawanku banyak yang dimasukkan ke buku pelajaran anak sekolah dasar dan menengah. Di majalah ini pula, sejumlah penulis kenamaan Indonesia mengawali karir, misalnya Arswendo Atmowiloto, Leila S. Chudory, dan Joko Lelono.
“Pak Toha jadi pimpinan redaksi, namun tidak aktif sejak 1976. Kesehatannya menurun akibat sering begadang,” kata Tontowi.
Dalam kondisi sakit komplikasi, Toha masih gigih menulis. Kumpulan cerita pendek antara Kelud dan Wilis diselesaikan pada 1989 dengan kondisi mata buta. Namun, penyakitnya semakin parah dan pada 1992, Toha Mohtar menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Mitra, Jakarta Timur.
Sepanjang karirnya, Toha Mohtar telah menulis sejumlah novel seperti Pulang, Daerah Tak Bertuan, Kabut Rendah, Bukan Karena Kau, dan Jayamada, serta kumpulan cerpen Antara Wilis dan Gunung Kelud, Pantang Menyerah, dan Lebih Menarik dari Kuda Lumping. Dia meninggal sebelum karya terakhirnya berjudul “Pelarian” selesai. Hembusan nafas terakhirnya tak menghentikan orang-orang terus membaca karya-karya penulis besar yang pernah lahir dan tumbuh di Kediri itu. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post