KELURAHAN Togogan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, tak ubahnya seperti kawasan agraris lain di Indonesia. Sebagian besar lahannya digunakan untuk area persawahan. Namun siapa sangka, kampung dengan tujuh puluh persen penduduk beraktivitas sebagai buruh tani ini juga melahirkan atlet-atlet profesional, bahkan berskala internasional. Bukan olahraga populer seperti sepakbola dan badminton, melainkan balap Bicycle Motocross atau akrab disebut BMX.
Cabang olahraga sepeda ini sejatinya sudah diakui publik luas. Pengukuhan itu dibarengi dengan pendirian Federasi BMX Internasional pada April 1981. Kejuaraan dunia menyusul setahun kemudian, tapi International Olympic Committee (IOC) baru mengikutsertakan BMX pada Olimpiade Beijing 2008 di Cina.
Bila menengok jauh ke belakang, pamor BMX justru pertama kali mencuat pada akhir dekade 1960-an. Kala itu demam motocross kian mewabah, khususnya di selatan California, Amerika Serikat. Sebuah fenomena yang memicu bocah-bocah di sekitar danau Elsinore, Riverside, gandrung memodifikasi sepeda sport Stingray pabrikan Schwinn. Sehingga terbentuk menyerupai motor trail yang bisa dipacu di atas medan offroad.
Animo mempereteli sepeda tambah meninggi setelah film dokumenter tentang motocross “On Any Sunday” diluncurkan. Tersebab, film yang juga merekam 1.500 crosser mengantri di jalan utama, menunggu waktu start di Elsinore Gran Prix 1970 itu, dibuka dengan adegan anak-anak balapan sepeda.
Penampilan singkat bocah-bocah menggenjot pedal di jalan tanah berkerikil, sambil melompati gundukan dan jumping, mengesankan banyak kalangan muda. Secara cepat, melejitkan gengsi Bicycle Motocross serta makin mewabah ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Gelagat itu tampak pula di Kelurahan Togogan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar pada awal 1990-an. Era awal kemunculan Caltrek, singkatan dari Mancal atau Memancal Trek. Perlombaan adu cepat BMX yang akrab dijumpai di tengah masyarakat akar rumput.
Kehadiran kompetisi antar kampung di bumi Proklamator tersebut, turut mengangkat pembalap sepeda dari daerah hilir. Sebut saja, Gunawan Wibowo dan Muji Raharjo. Dua kakak beradik ini adalah biker BMX andalan komunitas kecil bernama Ganesto: Gabungan Anak Nekat Sport Togogan. Kepiawaian mereka mengendalikan sepeda cross kemudian ditularkan kepada generasi yang lebih muda.
“Saya mulai melatih sekitar tahun 1996, tapi saat itu masih aktif bertanding Caltrek juga,” kata Muji Raharjo, pada Senin, 3 Agustus 2020.
Hal tersebut ia lakukan atas dasar kecintaan pada olahraga, bahkan tanpa memungut biaya. Sementara untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari, lelaki kelahiran 1978 itu mencukupinya dengan berternak dan mengolah sawah. Kini bersama sang kakak yang bertindak sebagai manajer, Muji membangun akademi Ganesto Gun Muji Management (GGMM).
Sedikitnya enam puluhan atlet BMX terlahir dari klub desa ini. Mayoritas telah malang melintang di berbagai kompetisi, baik di tingkat provinsi, nasional, sampai internasional.
“Saya pertama kali bertanding di luar negeri saat mewakili GGMM di Malaysia dan dapat juara dua,” kata Wiji Lestari, atlet BMX binaan GGMM.
Performa apik di berbagai kompetisi, membuat atlet BMX kelas Elite Women ini pernah bertengger di posisi 6 dunia. Wiji turut mewakili Indonesia berlaga di berbagai negara, seperti di Korea Selatan dan Thailand. Bersama timnas pula, dia berhasil menyumbang medali perunggu di ajang Asian Games 2018.
Baca juga:
Crosser BMX Perempuan Kelas Dunia Pulang ke Blitar
Mahasisiwi IKIP Budi Utomo Malang ini, bukan satu-satunya atlet gemblengan GGMM yang mampu bersaing di arena internasional. M Khabibur Rohman, misalnya, ia penyandang peringkat kedua Elite Men di Indonesian BMX Series. Adapun Yosi Saputra berada di papan teratas kelas Men Junior. Sementara atlet belia asli Kediri, Azriel Galang Za’i Risqullah, rutin menyabet podium nasional dalam dua tahun berkiprah di kategori Challenge.
Prestasi demi prestasi yang diraih adalah hasil selama hampir tiga puluh tahun GGMM berjerih payah. Capaian itu malah mengundang sejumlah biker yang ingin menempa bakatnya di GGMM. Baik dari sekitar Pulau Jawa, Kalimantan, serta Sumatera.
“Saya hanya berharap masa muda mereka bisa terisi dengan kegiatan positif,” tegas Muji. Ia melanjutkan, semangat dalam GGMM terbangun di atas pondasi solidaritas dan gotong royong antar anggota. Sebagai contoh, sirkuit tempat anak didiknya berlatih dibangun dengan swadaya bersama.
Meski sederhana, gelanggang bikinan mereka sudah dilengkapi bermacam rintangan standar balap BMX. Mulai dari ragam-ragam karakter gundukan untuk jumping, hingga trek miring atau bermed corner. Menariknya, lintasan offroad itu berada di atas sepetak tanah lapangan milik Kelurahan Togogan yang dipinjamkan secara cuma-cuma. (Naim Ali)