STIGMA lucu selalu terasa ketika menjumpai orang yang bertutur dengan dialek Ngapak. Kesan humoris itu muncul,salah satunya karena karakter Ngapak pernah dibawakan sejumlah pelawak di Indonesia. Di antaranya, S. Bagio yang terkenal lewat grup Bagio CS, Indro dan Kasino di Warkop DKI, ada juga Kartika Putri dan Cici Tegal.
Bahasa Ngapak yang masih serumpun dalam budaya Jawa ini digunakan sebagai bahasa sehari-hari masyarakat di wilayah Eks-Karisidenan Banyumas hingga di sekitar lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah. Antara lain, Kabupaten Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, Banjarnegara, Tegal, dan Brebes.
Namun barangkali tak banyak yang tahu, jika sebutan Ngapak sebenarnya adalah olok-olokan. Istilah Ngapak muncul karena para penuturnya memberi penekanan saat mengucapkan kata berakhiran konsonan “K”. Misalnya, kata “bapak”yang dilafalkan dengan artikulasi gamblang dan jelas.
“Penyebutan Ngapak itu olok-olokan. Bagi penutur asli, bahasa ini dikenal dengan dialek Banyumasan atau Penginyongan,” kata Ahmad Tohari, Sastrawan dan Budayawan Banyumas, Kamis, 5 Mei 2022.
Penulis novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ini menjelaskan, dialek Banyumasan adalah bahasa turunan dari sastra sansekerta. Dalam kajian genealogi atau asal usul sejarah, Ahmad Tohari menyebut jika nenek moyang orang-orang Banyumas berasal dari Kutai, Kalimantan. Keterangan itu dia kutip dari buku Indonesia di Ambang Sejarah yang ditulis van der Muelen, sejarawan Belanda.
Sekitar abad ke 3 Masehi, para pendatang dari Pulau Borneo memasuki tanah Jawa pada era pra-hindu atau sebelum terbentuknya Kerajaan Kutai Kertanegara. Mereka mulai penetrasi ke Jawa melalui Cirebon, lalu menuju Gunung Ceremai Jawa Barat, Gunung Slamet, serta di lembah Sungai Serayu, Banyumas.
Suku Kutai yang menetap di lereng Gunung Cermai membuat peradaban Sunda. Sementara pendatang yang bermukim di sekitar Gunung Slamet dan Sungai Serayu mendirikan Kerajaan Galuh Purba. Kerajaan inilah yang konon melahirkan para penguasa di Jawa. Di antaranya, Wangsa Syailendra yang terkenal dengan Candi Borobudur, serta Wangsa Sanjaya atau Mataram Kuno yang dipimpin Mpu Sindok.
“Sayangnya tidak banyak peninggalan arkeologi dan literasi era Kerajaan Galuh Purba,” ujar Ahmad Tohari.
Dia menambahkan, cikal bakal bahasa Banyumasan dari Suku Kutai serta peradaban Galuh Purba masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Sejauh ini, penelitian ilmiah yang menerangkan asal usul orang Banyumasan hanya dari van der Muelen saja.
Akan tetapi, Ahmad Tohari menyebut jika tinggalan Galuh Purba yang hingga kini masih bisa dirasakan adalah dialek Banyumasan atau Panginyongan. Sehingga, kemungkinan besar peradaban di era Galuh Purba masih memegang budaya lisan, tidak seperti kerajaan di Jawa Timur yang banyak ditemukan tinggalan literatur atau karya tulis. (Ryan Dwi Candra)
Discussion about this post