TERLETAK di perbukitan karst kawasan Sampung, Kabupeten Ponorogo, Gua Lawa menyimpan jejak kehidupan manusia purba. Pada ekskavasi terakhir tahun 2019, ditemukan alat berburu seperti belati, spatula, dan benda lancip mirip mata tombak. Ratusan benda prasejarah itu semuanya berbahan tulang, sehingga para arkeolog menjuluki gua ini sebagai “Sampung Bone Industries”.
“Industri alat tulang di Gua Lawa mempunyai ciri khas budaya tersendiri yang tidak dimiliki gua-gua prasejarah lain di Jawa,” tulis Jatmiko dalam buku Budaya Alat Tulang di Situs Gua Lawa terbitan Pusat Arkeologi Nasional 2020.
Situs di tengah hutan jati itu pertama kali digali oleh Louis Jean Chretien van Es, seorang geolog Belanda pada 1926. Beberapa tahun kemudian, ekskavasi dilanjutkan Van Stein Callenfels. Hasil penelitian mereka mengungkap adanya teknologi tulang manusia purba. Jika masyarakat prasejarah lain mengandalkan alat batu, penghuni Gua Lawa atau yang disebut Sampungian, memanfaatkan tulang sebagai alat bertahan hidup.
Dalam literatur arkeologi, Gua Lawa menandai bergesernya pola hidup masyarakat purba. Dari era pleistosen atau berpindah-pindah ke sistem menetap, holosen. Selain tulang, di lokasi tersebut juga ditemukan mata panah, batu pukul, dan kapak penetak.

“Artefak-artefak itu kini disimpan di Jakarta dan Museum Trowulan, karena Ponorogo belum punya fasilitas laboratorium atau museum arkeologi yang memadai,” Dodi Tri Handoko, pengelola situs purbakala Gua Lawa, Rabu, 23 September 2025.
Menurut Dodi, keputusan memindahkan artefak ke luar Ponorogo menuai pro-kontra, khususnya bagi masyarakat Sampung. Di satu sisi, penyimpanan modern menjamin kelestarian benda. Namun, warga Sampung kehilangan kesempatan melihat langsung peninggalan nenek moyang mereka.
Gua Lawa kini berstatus cagar budaya di bawah pengelolaan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Jawa Timur. Tersebab berada di kawasan hutan negara, Perhutani juga punya wewenang. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Ponorogo dan pemerintah desa setempat berhak pula mengembangkan Gua Lawa sebagai destinasi wisata. Sayangnya, kewenangan yang terbagi membuat koordinasi tersendat.
“Sebenarnya pihak pemdes bisa memanfaatkan situs ini menjadi wisata edukatif dan bisa membantu mengembangkan wisata lokal desa,” kata Dodi.
Pada Maret 2025, Desa Sampung membuat komunitas kelompok sadar wisata (pokdarwis). Tujuannya memanfaatkan destinasi lokal berkonsep wisata edukasi. Dari rancangan tersebut, harapannya dapat membantu ekonomi warga sekitar.

Namun, wisata itu masih sepi pengunjung. Berada di tengah hutan, wisatawan harus berjalan kaki sejauh 1 kilometer agar sampai ke lokasi. Di musim penghujan, akses jalan jadi becek dan licin.
Pengunjung biasanya dari kalangan pelajar anak-anak sekolah. Sayangnya, saat di lokasi mereka tak mendapatkan panduan informasi yang memadai. Di depan mulut gua, papan berisi tulisan sejarah Gua Lawa tampak kusam, catnya mengelupas, dan berkarat. Jejak purba berupa benda-benda bersejarah juga sudah tidak ada di tempat.
Di masa silam, Gua Lawa menjadi tempat hidup manusia purba. Namun, kisah kebesaran “Sampung Bone Industries” yang dirancang sebagai destinasi wisata belum bisa menghidupi masyarakat sekitar. (Andre Gallentino Febriansyah, Mahasiswa Program Studi Sejarah Peradaban Islam UIN Ponorogo, sedang magang di Kediripedia.com)







Discussion about this post