DI suatu malam, panggilan video dari nomor tak dikenal tiba-tiba masuk ke gawai milik perempuan berinisial Y. Tanpa merasa curiga, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Kota Kediri lantas mengangkat video call lewat aplikasi WhatsApp itu. Namun, betapa terkejutnya dia ketika mendapati ada seorang pria yang tidak menunjukkan wajah, tapi malah menampakkan organ vitalnya.
“Saya panik, lalu langsung mematikan panggilan dan memblokir nomor tidak dikenal tersebut,” kata Y pada Kediripedia.com pada Kamis, 11 November 2021.
Apa yang menimpa Y barangkali hanya satu dari banyak kekerasan seksual melalui digital. Kecepatan, daya akses, dan anominitas di dunia maya ternyata menjadi ruang bebas yang membuka peluang terjadinya berbagai pelecehan.
Catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan, ada delapan jenis kekerasan seksual akibat kemudahan akses teknologi infomasi. Mulai dari pelecehan siber, peretasan, pemerasan, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga ancaman penyebaran foto dan video intim.
“Hampir di semua tingkatan masyarakat, perempuan sangat rentan mengalami berbagai bentuk pelecehan seksual melalui platform digital,” kata Rainy Maryke Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan.
Sepanjang tahun 2020, sedikitnya ada 940 kasus yang dihimpun Komnas Perempuan. Angka itu meningkat sekitar 3 kali lipat dari tahun 2019, yaitu sebanyak 241 kasus. Bentuk kekerasan yang dilaporkan cukup beragam. Mayoritas didominasi orang-orang dekat korban, seperti pacar, mantan pacar, dan suami korban sendiri.
Bukan hanya di Indonesia, maraknya pelecehan seksual juga terjadi di negara-negara di seluruh dunia. Seperti dilansir dari lembaga PBB, UN Women, angka perundungan online meningkat tajam seiring dengan ramainya penggunaan dunia digital di masa pandemi covid-19.
Sebelum adanya wabah pun, ternyata lebih dari separuh perempuan muda mengaku pernah mengalami pelecehan secara online. Penyebaran foto, video, atau informasi pribadi tanpa persetujuan pemilik, adalah jenis pelanggaran yang paling banyak terjadi.
“Kita harus segera menyadari jika internet semakin tidak ramah,” kata Rainy.
Menurutnya, pelecehan seksual di media sosial masih dapat dicegah dengan cara membangun perlindungan diri sendiri. Di antaranya, mengatur privasi akun media sosial, untuk akun facebook dan instagram diupayakan selektif memilih teman. Identitas pemilik akun berupa nama serta foto diri harus diteliti terlebih dahulu. Sebab, sejumlah informasi itu bisa saja dipalsukan.
Naiknya jumlah kasus memang cukup mengkhawatirkan. Di sisi lain, hingga kini belum ada upaya penanganan serta pemulihan yang sistematik. Hal itu mendorong Komnas Perempuan merancang sejumlah diskusi dan bangunan pengetahuan dengan berbagai pihak. Misalnya dengan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri, Direktorat Pengendalian Kemenkominfo, lembaga pengada layanan, perempuan korban, jurnalis, dan akademisi di berbagai daerah di Indonesia.
Rainy menegaskan, bila ternyata masih terjadi pelecehan seksual, sebaiknya jangan berdiam diri. Pertama yang perlu dilakukan yaitu mengamankan bukti dengan merekam postingan atau screen-shoot. Jangan memblokir akun pelaku sebelum mengamankan bukti. Pelaku boleh diblokir setelah dilaporkan ke patrolisiber.id, Cyber Crime Polri, atau posko penyedia layanan terdekat.
“Hal yang lebih penting yaitu berani speak up, serta menggalang dukungan dari netizen agar bahaya pelecehan seksual online dapat diredam bersama-sama,” ujar Rainy. (Laela Yunita AS, Mahasiswi Program Studi Sosiologi Agama IAIN Kediri, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post