JIKA mendengar kawasan bernama Glenmore, jangan buru-buru berasumsi bahwa itu berada di Amerika, Australia, maupun Eropa. Glenmore adalah nama salah satu kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Di Bumi Blambangan, Glenmore berada di antara kecamatan-kecamatan lain dengan nama yang lebih bernuansa Jawa. Misalnya Singojuruh, Bangorejo, Tegaldlimo, Blimbingsari, Giri, dan Wongsorejo. Sebagai daerah yang berada di Pulau Jawa, Glenmore barangkali satu-satunya kawasan dengan nama yang begitu unik, asing, bahkan kebarat-baratan.
Karena keunikannya, selama puluhan tahun masyarakat di Banyuwangi harus memendam rasa penasaran. Pasalnya, asal-usul serta sejarah kawasan itu bisa dinamai Glenmore, belum diungkap secara jelas. Jika ada informasi terkait, itu hanya cerita dari mulut ke mulut yang masih samar-samar. Glenmore semakin menjadi misteri karena belum ditemukan bukti otentik berupa dokumen tertulis.
Sejarah yang masih abu-abu itu membuat Arif Firmansyah dan M. Iqbal Fardian merasa gusar. Hingga akhirnya pada tahun 2015, dua warga Kecamatan Glenmore itu bertekad untuk melacak jejak sejarah kawasan di kaki Gunung Raung itu.
“Kami menggarap riset sejarah tentang Glenmore, agar masyarakat mendapatkan informasi yang benar-benar valid,” kata Arif Firmansyah, Senin 27 April 2020.
Menurut mantan redaktur TEMPO itu, penelitian tentang peradaban masa lalu itu dilakukan seperti menyusun kepingan puzzle. Berbagai data dikumpulkan satu per satu hingga mendapat gambaran fakta yang jelas. Mulai dari mencari informasi di internet, riset tentang Glenmore menyasar data Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, serta perpustakaan Leiden dan Tropenmuseum di Belanda. Sejumlah data yang telah terkumpul, diperkuat lagi melalui wawancara dengan saksi hidup.
Lewat sederet upaya itu akhirnya asal-usul Glenmore mulai menemui titik terang. Arif mengatakan, Glenmore lahir berkat kebijakan politik etis kolonial Belanda pada tahun 1901. Regulasi tersebut membuka peluang masuknya investor dari luar negeri untuk ikut membuka perkebunan. Nah, salah satu investor itu datang dari Skotlandia.
Kedatangan orang Skotlandia ke Banyuwangi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya nama Glenmore. Ketika mendapati kawasan yang dibelinya berupa perbukitan, Ros Taylor, seorang bangsawan Skotlandia langsung memberi nama daerah itu dengan sebutan Glenmore.
Kala itu, Ros Taylor membuka lahan persil di Banyuwangi seluas 163.800 hektar untuk ditanamni kopi, kakau, dan karet. Izin penggunaan lahan ditandatangani Gubernur Jenderal Belanda dan diumumkan lewat Javasche Courant pada 30 Maret 1909. Javasche Courant adalah surat kabar Belanda yang memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang, dan berita harian di Eropa.
“Data peresmian berasal dari dokumen Perpustakaan Nasional. Di berita itu, Ros Taylor menyebut kawasan ini dengan Glenmore Estate dan mulai beroperasi pada tahun 1910,” ujar sarjana lulusan Universitas Muhammadiyah Jember itu.
Kurang lebih selama empat tahun Arif dan Iqbal menguak sejarah Glenmore. Sejumlah data yang telah dikantongi kemudian ditulis menjadi buku berjudul “Glenmore: Sepetak Eropa di Tanah Jawa”. Diterbitkan pada bulan Desember 2019, buku dengan tebal 116 halaman berisi beragam informasi menarik. Membaca buku ini akan terasa seperti mendengar cerita dongeng, karena fakta dan data ditulis dengan gaya bercerita.
Buku Glenmore: Sepetak Eropa di Tanah Jawa, bisa dipesan via online. Bagi yang tertarik mendapatkan buku ini pemesanan dapat dilakukan dengan mengakses fanpage Facebook Historica Glenmore atau melalui nomor Whatsapp 085204601406.
“Seluruh dana hasil penjualan buku akan didonasikan untuk kegiatan anak-anak di Kecamatan Glenmore,” ujar Arif.
Dengan hadirnya buku tersebut, berbagai misteri yang selama puluhan tahun menyelimuti Glenmore, berhasil terkuak. Dari kajian toponimi atau penamaan wilayah, kata Glenmore diambil dari Bahasa Gaelic atau bahasa Skotlandia kuno.
Dalam Bahasa Gaelic, Glenmore berarti “Big Glen” yaitu daerah perbukitan yang terhampar sangat luas. Istilah itu biasa digunakan orang Skotlandia untuk menyebut hal-hal yang berhubungan dengan kawasan berkontur perbukitan. Termasuk, pemberian nama Glenmore oleh Ros Taylor, bangsawan Skotlandia di Banyuwangi.
Menurut Arif, selain untuk menyebutkan daerah perbukitan, di Skotlandia Glenmore juga digunakan sebagai nama hotel, taman, dan pusat kegiatan olahraga di luar ruangan. Nama serupa juga ditemukan di negara-negara lain seperti Amerika, Inggris, dan Australia.
“Jika ada tempat yang bernama Glenmore, bisa dipastikan itu ada kaitannya dengan orang-orang Skotlandia,” kata pria yang kini bekerja sebagai konsultan Public Relation itu.
Di dunia terdapat 15 kawasan yang menggunakan nama Glenmore. Di Amerika Serikat ada 9 tempat, yang tersebar di negara bagian Wisconsin, West Virginia, Virginia, Ohio, New York, Maryland, Louisiana, Kentucky, dan Georgia.
Sementara di Irlandia terdapat 4 tempat, antara lain Roscommon Town, Kilkenny Town, Kildare Town, dan Clare Town. Glenmore di Inggris berada di Council Area Skotlandia. Sedangkan di Australia tepatnya di area suburban Sydney. Satu lagi berada di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia.
Meski namanya identik dengan Skotlandia, lingkungan di Kecamatan Glenmore Banyuwangi banyak bercokol bangunan peninggalan Belanda. Misalnya, markas tentara, stasiun kereta api, sistem irigasi, hingga gudang penimbunan hasil perkebunan. Semua infrastruktur peninggalan kolonial itu masih terawat dengan baik hingga sekarang.
Di era kolonial Belanda, Glenmore memang menjadi salah satu kawasan yang dikembangkan. Memiliki hamparan tanah yang subur, daerah ini sukses menarik minat enam investor asal Eropa. Selain Glenmore, ada pula Perkebunan Kali Sepanjang, Kali Telapak, dan Perkebunan kali Kempit yang dikelola Belanda, serta Perkebunan Trebasala milik orang Inggris dan Perkebunan Glen Falloch milik Skotlandia.
Dalam rancangan Pemerintah Kolonial Belanda saat itu, Glenmore diproyeksikan menjadi kota administratif. Bahkan, dijadikan sentra komoditas perkebunan yang berfungsi sebagai pusat pengiriman hasil bumi ke Rotterdam, Belanda.
Selain tulisan naratif, buku berjudul “Glenmore: Sepetak Eropa di Tanah Jawa” dilengkapi dengan foto-foto di periode awal kawasan itu mulai berdiri. Antara lain, foto para pekerja perkebunan, jembatan, rumah loji, dan stasiun kereta api.
Usai berhasil menerbitkan buku, Arif dan Iqbal sering diminta untuk mengisi seminar dan diajak sharing dengan guru-guru sejarah di Banyuwangi. Tema diskusi yang digelar berkaitan dengan pengungkapan fakta sejarah berdasarkan data otentik. Bukan lewat cerita mitologi atau kisah-kisah legenda.
Menariknya, sejak buku tersebut mulai diedarkan, sejumlah warga Banyuwangi terdorong untuk menyetorkan data terkait sejarah Glenmore kepada Arif dan Iqbal. Selain kisah tentang bangsa Skotlandia, rupanya masih banyak kisah-kisah menarik di balik Glenmore yang belum diungkap.
Salah satunya, cerita tentang KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Chasbullah. Pada tahun 1930an, keduanya diketahui sering berkunjung ke musholla tua di dekat stasiun Glenmore. Peristiwa itu berasal dari surat-surat kuno yang ditulis menggunakan huruf arab pegon.
“Data tentang tokoh pendiri NU yang datang ke Glenmore dan kisah-kisah menarik lain rencananya akan dimasukkan dalam terbitan buku Glenmore berikutnya,” kata Arif.
Dengan munculnya data-data baru, Arif dan Iqbal bertekad bahwa upaya pengungkapan sejarah Glenmore belum dinyatakan berhenti. Dengan dukungan dari tokoh masyarakat, pemuda, dan ulama di Banyuwangi, buku karya mereka selanjutnya yang membahas Glenmore dengan lebih komprehensif, patut ditunggu kehadirannya. (Kholisul Fatikhin)