Boleh jadi perjalanan lokalisasi prostitusi Semampir sudah mencapai titik akhir. Pada Kamis, 15 Desember 2016 yang lalu, sentra rumah bordil di bantaran sungai Brantas itu telah lebur dengan tanah.
Sejatinya, Semampir ialah nama Kelurahan di pucuk utara Kota Kediri, berbatas dengan Desa Jongbiru, Kabupaten Kediri. Kini warga penghuni Semampir bisa sedikit bernafas lega. Sorotan negatif publik terhadap Kelurahannya, lantaran lika-liku pelacuran yang pernah bercokol di sana dalam kurun beberapa dekade belakangan, pelan-pelan reda.
Jauh sebelum familiar dengan lokalisasi prostitusi, Semampir lebih dulu terkenal akan sejarah penting perkembangan pabrik rokok milik PT Gudang Garam Tbk. Semenjak didirikan pada tahun 1958, pertumbuhan produsen rokok yang bermula hanya usaha rumahan tersebut berkembang pesat. Sepuluh tahun kemudian, di atas sebidang lahan Semampir, seluas 1000 meter persegi, PT Gudang Garam Tbk. membangun pabrik pertamanya sebagai unit produksi, diberi nama Unit 1. Tahun demi tahun, unit produksi PT Gudang Garam Tbk. tambah berlipat hingga 12 unit. Sebagian besar berdiri di atas 60% dari keseluruhan wilayah Semampir.
Selain pabrik rokok, keberadaan ribuan makam warga Cina (bong cina) pernah sangat lekat dengan nama Semampir. Setidaknya berjejer di sepanjang satu setengah kilometer pada tanah batas sebelah barat Semampir, di tepian sungai Brantas. Bahkan sampai masuk wilayah Desa Jongbiru, Kabupaten Kediri. Berpunca sejak zaman penjajahan kolonial, yang konon, warga Cina Kediri menyewa lahan itu kepada pihak Belanda, untuk digunakan sebagai tempat pemakaman.
“Saya masih ingat, waktu penggalian pondasi bangunan yang saat ini jadi Kantor Kelurahan Semampir itu, ditemukan banyak tulang manusia. Lalu saya pindahkan (kubur) ke pemakaman umum Semampir,” kenang Pak H. Sapto Darmo, 73 tahun, pada Kamis, 22 Desember 2016. “Sering kok, orang nemu tulang manusia di sekitaran sana. Biasanya saat akan bangun rumah, gedung atau buat sumur,” lanjut eks pegawai Kelurahan Semampir Kota Kediri itu.
Di sebagian petak kecil area pemakaman Cina itulah kelak difungsikan sebagai lokasi tujuan hiburan malam, yang lambat laun mengembang dan terkenal hingga sekarang. Kakek dari 3 cucu asli Semampir itu mengisahkan, beralih-fungsinya bong cina menjadi lokalisasi kembang latar, dengan cepat mengubah rupa Semampir. Sebelumnya hanya kawasan khas pinggiran kota yang sepi menjadi penuh oleh pemukiman penduduk.
Mulanya, baik secara terbuka maupun terselubung, hampir saban Kelurahan (saat itu masih disebut sebagai Desa) di Kediri, marak terdapat praktik prostistusi. Sebut saja di sekitaran pabrik gula Pesantren, pasar Setono Betek, Bok Ijo di Desa Tamanan, warung-warung di pinggiran Desa Bujel atau Mrican, dll.
Hal ini cukup meresahkan Walikota Kediri saat itu, Anwar Zainudin, yang kemudian tergerak mengumpulkan seluruh Kepala Desa ke Balaikota, untuk berembug mencari solusi. Pada tahun 1968 diputuskan, bong cina Semampir sebagai tempat untuk melokalisasir hiburan malam yang saat itu mewabah di penjuru kota Kediri.
Tak lama berselang, utusan dari Pemerintah Kota Kediri meninjau lokasi, didampingi beberapa pamong Desa Semampir. “Saya ikut mengukur lokasi yang ditunjuk, dan membagi menjadi 90 kapling kecil. Lupa ukuran pastinya, tidak besar kok,” ujar Pak H. Sapto Darmo yang saat itu menjabat sebagai Komandan Hansip, Desa Semampir. Ia menuturkan, setahun kemudian, lokalisasi Semampir resmi menebar kupu-kupu malam. Ditandai dengan adanya 3 sampai 4 warung atau rumah sederhana, berdinding anyaman bambu, lengkap dengan fasilitas Pekerja Seks Komersial (PSK).
Sesanter aliran air sungai Brantas, ketika rombongan PSK dari desa dan daerah lain bondong-bondong turut mengais rezeki di sana, arus pengunjung warung pun makin deras. Seirama kencangnya hiburan paling menggiurkan bagi kawula hidung belang ini tumbuh, dalam waktu singkat bong cina seakan tersulap. Silih-berganti rumah penduduk tegak berdiri, menghimpit pusara-pusara bong dan perlahan sirna. Hanya menyisa beberapa, tersembunyi di balik padatnya rumah penduduk.
Peradaban baru pun memaksa lahir. Sebuah kampung bernama Moro Rukun, berjarak sekitar 200 meter dari lokalisasi, adalah Dusun yang terbilang anyar dalam Desa Jongbiru, Kabupaten Kediri. Meski tidak masuk otonomi Kelurahan Semampir, Kota Kediri, warga Dusun tak menafikan, Moro Rukun terbentuk setelah warung remang-remang berdenyut makin keras di bantaran Brantas.
“Setahun setelah menikah, saya pindah ke sini (Moro Rukun). Rumah-rumah masih belum banyak, itu pun (jaraknya) berjauhan, dibangun di sela-sela kuburan,” cerita Pak Mukiran, Kamis, 22 Desember 2016, warga Moro Rukun. Ia mulai menempati tanah bekas bong cina itu pada tahun 1970.
Beragam dampak buruk yang menyertai kemunculan lokalisasi Semampir, askes lokasi yang berdampingan dengan jalur utama antar propinsi, atau menyempitnya jarak lokalisasi dengan pusat kota ialah bagian kecil dari banyak pertimbangan dan perdebatan antar lintas masyarakat Kediri. Menginjak 1998, lokalisasi di Semampir resmi ditutup oleh Pemerintah Kota Kediri. Meski demikian, praktik persundalan diam-diam tetap berjalan.
Pada hakikatnya, lokalisasi Semampir berpijak di atas tanah negara yang sudah menjadi hak milik Pemerintah Kota Kediri. “Warga di sana menggunakan Sertifikat Hak Pakai Tanah Pemkot (Pemerintah Kota) Kediri. Sederhananya, mereka menyewa tanah Pemkot,” kata Moh. Sirojuddin, pegawai Kelurahan Semampir, Kota Kediri, kepada Kediripedia.com. Adapun pada tahun 2014, kontrak sewa tanah oleh Pemkot Kediri tidak diperpanjang lagi.
Kamis, 15 Desember 2016, Walikota Kediri, Abdullah Abu Bakar, S.E melakukan pembersihan dan pembongkaran area lokalisasi. Langkah itu menjadi babak baru perjalanan peradaban sebuah kawasan kelam di ujung Kelurahan Semampir. (Naim Ali)