JIKA pernah mendengar nama Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, dan Jong Ambon; di Kediri, Jawa Timur juga ada sebutan serupa yaitu Jongbiru. Meski sama-sama berawalan “jong”, Jongbiru tidak ada kaitannya dengan Jong sebagai organisasi pemuda saat perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Jongbiru adalah sebuah desa di Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Letaknya berada di tepi Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang berbatasan dengan Kota Kediri. Tepatnya, di kiri-kanan Jembatan Mrican, dekat Pabrik Gula Mrican.
Meski sekarang tampak tak ada yang istimewa, siapa sangka jika di Jongbiru pernah berdiri sebuah pelabuhan besar. Di masa kerajaan, keberadaannya menjadi tempat bersandarnya kapal dagang Jawa kuno. Kawasan inilah yang menghubungkan beragam kegiatan perdagangan. Baik itu antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisir maupun aktivitas antarbangsa di masa lalu.
Jongbiru mulai difungsikan pada zaman Raja Airlangga Kerajaan Kahuripan, lalu berlanjut di era raja setelahnya. Mulai dari Jayabaya, Kertajaya, dan Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri, serta Hayam Wuruk hingga raja-raja di akhir keruntuhan Majapahit. Saking pentingnya dermaga ini bagi kerajaan, nama Jongbiru dicantumkan dalam karya-karya sastra kuno. Di antaranya, Kidung Sundayana, Kidung Ranggalawe, dan Kidung Panji Wijayakrama.
“Penyebutan Jong berasal dari kata tanjung yang berarti tanah yang menjorok ke perairan,” kata M. Dwi Cahyono, Sejarawan Universitas Negeri Malang, Senin 14 Maret 2022.
Sedangkan kata “biru”, menurut Dwi itu merupakan identifikasi masyarakat berdasarkan kearifan lokal. Sebab, penggunaan unsur warna untuk menyebut sebuah pelabuhan tidak hanya Jongbiru saja.
Ada juga Jong Abang, yang kemudian dikenal dengan Jombang. Pelabuhan sungai di Jombang diperkirakan berada di Kecamatan Megaluh, letaknya di Jombang sebelah utara. Secara toponimi, nama Megaluh kemungkinan masih ada berkaitan dengan Ujung Galuh, pelabuhan besar yang juga menjadi pangkalan militer Kerajaan Kadiri.
“Baik Jongbiru maupun Megaluh berada di aliran Sungai Brantas yang berkelok tajam atau meander, itu tanda jika disitu dulunya pelabuhan kuno,” ujar pria lulusan S2 Arkeologi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Dalam berbagai penemuan, di DAS Brantas yang berbentuk meander inilah biasanya banyak bertebaran benda-benda arkeologi. Sebab, kawasan tersebut dulunya menjadi daerah ramai. Selain transportasi, juga menjadi pusat perdagangan komoditas pertanian. Sehingga tak heran jika di Jongbiru beberapa kali sempat ditemukan tembikar, logam, dan koin. Bukan tidak mungkin juga ada kapal karam.
Sayangnya, hingga kini belum banyak ditemukan peninggalan berupa bangkai kapal. Padahal dalam Prasasti Dhimanasrama di zaman Mpu Sindok abad 11, disebutkan terdapat 50 jenis perahu yang menjadi moda transportasi. Contohnya parahu pakbowan atau rakit bambu yang dipasang di kiri-kanan perahu supaya tidak oleng, atau jenis perahu lain misalnya parahu ikang langkapan wlah galah, panawa, jurag, panggagaran, pawalian, dan pangngyan. Seperti apa bentuk kendaraan air yang dipakai ketika itu belum banyak diketahui.
“Bentuk kapal yang kemungkinan bersandar di Jongbiru salah satunya bisa dilihat di pahatan relief di pandapa teras luar Candi Penataran,” kata Dwi.
Dia menerangkan, Sungai Brantas dulu memang bisa dilalui kapal besar. Tenaga penggeraknya berupa layar dan dayung renteng. Sehingga, bisa dibayangkan betapa besarnya dermaga Jongbiru kala itu.
Namun, Pelabuhan Jongbiru berangsur-angsur ditinggalkan seiring meredupnya kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1527, pasukan Kerajaan Demak dipimpin Sultan Trenggono berhasil memusnahkan ibu kota Majapahit yang saat itu berada di Daha, Kediri. Jongbiru, pelabuhan yang beroperasi sebagai sandaran transportasi dan perdagangan selama 5 abad, ikut dihancurkan. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post