MENJELANG akhir Pelatihan Dasar Pemandu Wisata Sejarah yang digelar Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kota Kediri pada Minggu, 30 Juni 2019, Kediripedia.com memberikan dooprize berupa t-shirt terbaru karya Kediripedia. Di acara yang bertempat di Nol Kilometer Resto, hadiah ditujukan bagi salah satu peserta yang tangkas menjawab pertanyaan: di manakah tepatnya lokasi Titik Nol Kilometer Kota Kediri?
Kuis sederhana tersebut seketika berubah jadi diskusi seru, karena banyak peserta turut menyampaikan pendapat berbeda. Sekar Meganandhi, perwakilan dari Kelurahan Setonogedong, menjawab bahwa titik penghitungan jarak antar kota tersebut berada tepat depan SMP Katolik Santa Maria, di Jalan Brawijaya. Dia mengacu pada sebuah patok beton yang kondisinya kini sudah tidak utuh, tapi masih terpaku di tengah trotoar depan sekolahan.

Novi Bahrul Munib, peserta dari komunitas Pelestari Sejarah Kediri (Pasak) ikut menanggapi. Dia menuturkan, pada masa kolonial Belanda, Nol Kilometer kota diposisikan di depan kantor eks-Karsidenan Kediri. Kala itu, disebut dengan istilah “Paal Nul”. Paal adalah satuan ukuran era kolonial, dengan panjang kisaran 1,5 Kilometer.
“Tercatat dalam peta terbitan pemerintah Belanda, keluaran tahun 1913,” kata pemerhati sejarah dan budaya itu.
Dia menerangkan, peletakan Paal Nul di kawasan Sekartaji karena sejumlah kantor pemerintahan pernah terpusat dalam area barat Sungai Brantas ini. Antara lain, Kantor Residen serta Rumah Residen yang sekarang menjadi rumah dinas Kapolresta Kediri, Benteng Blokhuis, Gereja Merah, dan Pasar Pelabuhan di bilangan Pasar Bandar.
Dari perbedaan versi tersebut, Kediripedia.com bergerak untuk melakukan penelusuran lebih mendalam. Ternyata, tonggak serupa dan cenderung utuh dapat dijumpai di beberapa lokasi. Yaitu di pertigaan Jetis, Jalan Urip Sumoharjo Kota Kediri. Pacak setinggi satu meter itu bertuliskan “SBY 126” dalam kolom putih besar bagian atas, dan “K.DIRI 0” pada bagian bawah. Tonggak lain juga tampak tegak Jalan Suparjan Mangunwijaya, di perbatasan Kelurahan Mojoroto dan Bujel. Keterangan “S.BAYA 123” tercatat pada bagian atas. Di bawahnya bertuliskan “K.SONO 28” dan “KEDIRI 0”.

Jika merujuk pada era kolonial Belanda, pancang penanda jarak kota jamak tertancap di sekitar pusat pemerintahan dan seringkali berdekatan dengan kantor pos. Hal itu lazim terjadi sejak zaman pembangunan De Grote Postweg atau Jalan Raya Pos. Mega proyek itu digenjot dengan sistem kerja paksa selama tahun (1808-1809) oleh tangan dingin Herman Willem Deandels.
Selain untuk memperkuat pertahanan militer, jalur sepanjang seribu Kilometer di pesisir utara Pulau Jawa ini dihubungkan untuk memperlancar ketahanan ekonomi dan komunikasi antar daerah. Tiap jangka 30-40 Kilometer didirikan gardu pos sebagai tempat pemberhentian dan pengiriman surat-surat.
“Saya pernah melihat patok berbahan tembaga, saat renovasi trotoar jalan depan Balai Kota Kediri,” kata Ferry Mahbub, Staf Bina Marga Kota Kediri.
Ia menyaksikannya pada tahun 2010. Pancang dengan ketinggian sekitar tiga puluh Centimeter dari lantai trotoar itu, berbentuk bundar dengan diameter sekitar empat Dim, setara sepuluh Centimeter.
Beberapa pihak, termasuk para konsultan pembangunan kota, meyakini bahwa tunggak itu adalah indikator teritori kota. Berfungsi sebagai penanda titik koordinat Nol Kilometer Kediri. Maka harus tetap berada di lokasi semestinya. Tidak boleh dicabut tapi bisa dipendam. Bila wujudnya sekarang tidak ditemukan, kemungkinan telah tertimbun tanah atau tertutup taman saat peremajaan lingkungan.
Menurut Ferry, patok tembaga di balai kota memiliki fungsi berbeda dengan patok beton, sebagaimana yang ada di pertigaan Jetis dan Jalan Suparjan Mangunwijaya. Kedua tonggak tersebut ialah penanda dari Bina Marga, untuk menunjukkan jarak antar wilayah sepanjang jalur arteri.
Hal itu diamini oleh Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Kediri, Ferry Djatmiko. “Patok beton itu adalah tanda jarak geometrik jalan, bukan penanda titik nol kota,” katanya.

Tulisan “KEDIRI 0” seperti pada patok beton, dimaksudkan untuk informasi rambu pendahulu penunjuk jalan raya yang ditentukan oleh Bina Marga. Bila keterangan dalam patok bertuliskan “SBY 123”, sebagaimana yang terpancang di kawasan Jalan Suparjan Mangunwijaya, berarti jarak Kota Surabaya dari patok terkait sejauh 123 Kilometer.
Di tempat yang sama, Bambang Tri Lasmono, Kabid Manajemen Anggota Dishub menjelaskan, dari cerita yang pernah ia dengar, titik nol kota terbesar ketiga Jawa Timur itu tersembunyi dalam sebuah rumah. Ditandai dengan sebuah tonggak berbentuk panji seekor burung garuda. Ia mengaku tidak mengetahui lokasinya secara pasti, karena keberadaannya hanya diendus oleh beberapa gelintir orang saja.
Menurut Bambang, diperkirakan ada di seputar Kelurahan Kemasan. Hal tersebut cukup masuk akal. Mengingat kawasan tengah kota Kediri ini dilewati jalur kereta, salah satu pintu masuk utama perekonomian kota di masa lalu. (Naim Ali)