SEORANG wartawati sebuah kantor berita asing ditangkap pemerintah pada bulan Agustus 1966. Ia dituduh menyiarkan berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan nilai kebenaran faktanya. Karena marasa yakin berita yang ditulisnya berdasarkan fakta, ia beradu argumentasi, wartawati itu kemudian dibebaskan dan dideportasi ke negara asalnya.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada 13 Agustus 1996, wartawan harian Bernas tergeletak bersimbah darah tewas di kediamannya. Udin alias Muhammad Fuad Syafrudin, nama wartawan itu, tidak sempat diminta keterangan perihal kesalahan apa yang telah dia buat. Tim pencari fakta yang melakukan investigasi beranggapan bahwa kematian Udin ada kaitannya dengan soal pemberitaan yang dimuat di medianya.
Udin merupakan salah satu dari sekian banyak wartawan yang terbunuh karena tekad menyampaikan berita, kebenaran, serta misi kebebasan tanpa rasa gentar sedikit pun. Dengan menggunakan gaya tulisan sederhana dan lugas, ia tampilkan fenomena penyimpangan yang terjadi. Udin menilai penyimpangan yang merambah daerahnya dinilai sangat kontras dengan suasana keseharian masyarakat di sekelilingnya.
Ada juga Irham Nasution, wartawan Sinar Indonesia Baru, Medan, mengalami hal serupa yang banyak dialami wartawan media masa di Indonesia. Ketika Irham berusaha membenturkan fakta dengan kuasa sang penguasa, ia tewas sewaktu cairan kimia disiramkan ke mukanya pada tahun 1981.
Sebelumnya, pada 1979, kejadian serupa nyaris menimpa wartawan Waspada, Julius Rivai di Medan. Namun, ia masih beruntung. Ketika Julius ingin membuat laporan investigasi tentang kasus pelarian warga Cina dari RRC yang tidak memiliki izin tinggal di Indonesia dan dilindungi oleh oknum aparat, nyawanya terancam. Ia bahkan sempat mendekam dalam “kamp” tawanan selama lebih dari satu minggu di kampung Lalang, sebuah kompleks penampungan warga RRC eks pelarian Aceh. Ia nekat dan berhasil kabur dari sekapan kamp penyiksaan.

Berita tindak kekerasan yang menyebabkan kematian terhadap profesi jurnalistik, juga merambah di Kolombia. Maria Jimena Duzan, kolumnis surat kabar El Espectador di Kolumbia, mengalami tindak kekerasan secara fisik maupun non fisik. Maria mendapat ancaman pembunuhan, upaya penculikan, dan teror mental secara terus-menerus setelah membeberkan jaringan perdagangan obat bius yang melibatkan gembong narco (pengedar) berkolusi dengan perwira militer dan para tuan tanah. Maria Jimena Duzan akhirnya selamat dari usaha penculikan dan pembunuhan, namun adik kandungnya, Sylvia Duzan yang juga bekerja di surat kabar El Espectador, mengalami nasib naas sewaktu melakukan liputan investigatif pada kasus yang hampir sama. Setelah diculik dan dianiaya, akhirnya Sylvia Duzan meninggal dunia.
Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin di Yogyakarta, Irham Nasution di Medan, Giwa di Nigeria dan Sylvia Duzan di Kolombia merupakan sedikit nama dari sekian banyak wartawan atau wartawati yang mengalami tindak kekerasan pembunuhan akibat sajian berita-berita mereka.
Dalam penelitian beberapa tahun terakhir mengenai kebebasan pers, Freedom House secara keseluruhan mencatat 834 serangan terhadap dunia pers di 91 negara pada tahun 1990, sekalipun mengalami penurunan dari jumlah 1164 pada tahun 1989, jumlah itu masih masih dua kali lipat jumlah kasus yang terjadi pada tahun 1987 atau 1988.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa pada tahun 1990, 43 wartawan terbunuh karena misi jurnalistiknya, 16 orang diculik atau ditahan dan bahkan dikabarkan “hilang”, 41 orang mengalami luka-luka, 16 orang dipukuli, 82 orang mengalami serangan fisik, 50 orang mengalami ancaman pembunuhan, 170 orang ditakut-takuti dan 31 orang dibuang keluar dari negerinya (Sussman, L.R., Freedom Review, 1990).
Publikasi yang dilansir Freedom House secara berkala dengan rinci memuat setiap kejadian tindak kekerasan terhadap para wartawan dan wartawati. Kondisi secamam ini sangat kontras bila kita bandingkan dengan data yang ada di PWI. Kalau Freedom House secara teratur mempublikasikan tindak kekerasan yang menimpa wartawan dan wartawati mencakup seluruh dimensi tindak kekerasan fisik maupun non fisik.

Pers Indonesia, tampaknya belum memiliki tradisi mencatat. Apalagi mendokumentasikan secara rinci tindak kekerasan yang pernah dialami wartawan/wartawati dari awal kebangkitan pers nasional. Kalau pun toh ada, catatan dan studi mengenai pembredelan pers di Indonesia, itu pun dilakukan oleh bangsa lain.
Edward C. Smith menggali informasi di tengah kelangkaan data mengenai kasus pembredelan pers dan kemudian diterjemahkan Atmakusumah, 26 tahun lalu. Dalam desertasinya A History of Newspaper Suppression in Indonesia, Smith mengkaji pembredelan pers dengan perspektif sejarah terhadap tekanan pers, penyebaran gagasan-gagasan politik dan perubahan kondisi politik dari tahun 1949-1965.
Meskipun Smith telah banyak berjasa dalam membukukan sejarah pembungkaman pers melalui kekerasan, namun kehadiran pemikiran historiografisnya masih belum lengkap benar. Kenapa? Karena, penelitian yang telah dilakukannya, tampak belum menyentuh dimensi kekerasan secara mendetail yang pernah dialami oleh para wartawan dalam menjalankan misi jurnalistiknya. Dan yang paling penting, saya kira, bahwa kita telah kehilangan sebuah mata rantai tradisi catat-mencatat dan membuat dokumentasi ilmiah mengenai: tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik, terhadap pers yang dilakukan penguasa.
Sejarah mencatat setiap tindak kekerasan yang dilakukan untuk membungkam hak kebebasan bersuara dan menyebarluaskan suatu peristiwa berdasarkan fakta, akan membuahkan perlawanan yang berujung pada pelecehan, penistaan, pelanggaran hak dan martabat azasi manusia. Dan kita telah membuat kesalahan dengan tidak mencatat pergulatan sejarah dalam melawan upaya kesewenangan penguasa, yang acap bertindak antagonis, membungkam pers di Indonesia. (Eddy J Soetopo, Direktur Eksekutif Institute for Media and social Studies IMSS dan Pemimpin Redaksi sarklewer.com)
Discussion about this post