Semangat literasi terasa sangat kental di daerah Jambu. Adanya Festival Kembang Jambu 2 menjadi salah satu bukti kemunculan semangat itu. Festival literasi dari warga untuk warga ini diadakan tiap dua tahun sekali. Acara ini bertujuan untuk mengenalkan tradisi baca dan tulis kepada masyarakat sekitar.
Festival Kembang Jambu 2 diadakan selama tiga hari berturut-turut di Jalan Masjid 429 Desa Jambu Kecamatan Kayen Kidul Kabupaten Kediri, tepatnya di Taman Baca Masyarakat (TBM) Gelaran Jambu. Dibuka pada hari Jumat tanggal 20 Mei pukul 19.30 dengan pameran dan diskusi seni rupa. Pameran drawing ini menampilkan karya 6 perupa komunitas Bangsal J dan perupa muda Kediri lainnya. Mencoba untuk mendefinisikan kembali Panji dan tema lainnya ke dalam kertas, mix media dan instalasi.
Festival hari kedua tidak kalah seru. Diramaikan oleh adik-adik kelas IX MTs Miftahul Huda yang kebetulan memakai seragam pramuka pagi itu, mengingatkan bahwa tradisi literasi juga penting untuk kalangan pelajar. Peluncuran dan bedah buku adalah agenda hari berikutnya dari Festival Kembang Jambu. Antusias dan tak jarang gelak tawa mengiringi ulasan dari narasumber Dwijo U. Maksum dan Lutfi Zanwar Kurniawan. Buku yang berisikan kumpulan cerpen tersebut adalah hasil karya dari 42 orang siswa-siswi kelas IX MTs Miftahul Huda.
Di sela kesibukan mereka sebagai pelajar dan membantu orang tua, mereka menenyempatkan waktunya untuk menulis. Kisah yang muncul di buku ini menggambarkan kejujuran dan kehidupan mereka sehari-hari. Menceritakan orang terdekatnya, yang kebanyakan tentang Ibu, Bapak dan keluarga lain kemudian mengenai sahabat dan kisah yang berhubungan dengan sekolah mereka. Mereka mengaku bahwa dorongan dari guru Bahasa Indonesianya yang selalu menyemangati untuk menyelesaikan tulisan tersebut.
Siangnya, siswa siswi MTs Miftahul Huda diajak berkunjung ke sebuah tempat peninggalan sejarah yang tak jauh dari tempat acara, sekitar tujuh menit dari Desa Jambu. Di situs yang dikenal dengan nama Candi Tegowangi mereka diajak untuk mengenal dan membaca sejarah. Dipandu oleh Syafi’ Maulida, beberapa anak membacakan sebuah buku secara bergantian untuk memahami relief yang ada di candi. Pecah. Kata yang tepat untuk menggambarkan suasana siang itu. Adik-adik dengan sangat antusias mendengarkan satu demi satu penjelasan yang disampaikan.
Obrolan seputar arkeologi, relief, dan sejarah cukup mencerahkan para siswa saat itu walaupun cuaca sedikit mendung. Perjalanan mengelilingi situs berhenti pada diskusi tentang salah satu relief tokoh terkenal, yakni Panji siang itu, Sabtu 21 Mei 2016. Penjelasan tentang beberapa folklore dan tradisi bertutur yang mengantarkan cerita Panji sampai ke negeri Champa. Acara berlangsung hingga jam empat sore dan kemudian diakhiri dengan berfoto bersama.
Gerakan literasi tidak harus dengan memaksa masyarakat untuk membaca dan menulis, namun, dengan mengunjungi tempat peninggalan sejarah akan mengajak masayarakat untuk membaca secara tidak langsung. Membaca sejarah seperti yang dilakukan para pelajar ini misalnya. Dari situ juga akan mengantarkan kesadaran betapa pentingnya menulis sejarah bagi masa yang akan datang.
Ahmad Ikhwan Susilo atau yang lebih dikenal dengan Iwan Kapit adalah salah satu figur dibalik kesuksesan acara tersebut. Selain guru Bahasa Indonesia di MTs Miftahul Huda, dia adalah inisiator berdirinya TBM Gelaran Jambu. Taman baca itu awalnya adalah komunitas tempat berkumpulnya anak muda kreatif di daerah Jambu dibidang film, sastra dan musik. Seiring bergantinya minat dan passion yang lebih mengarah dibidang literasi, muncullah ide untuk mendirikan taman baca atau gerakan literasi berbasis kampung.
Hari ketiga festival diisi dengan diskusi dari beberapa taman baca dan penggiat budaya tentang gerakan literasi. Pada malam harinya, pertunjukan Ketoprak Tobong Suryo Budoyo menutup perhelatan Festival Kembang Jambu 2 di Lapangan Desa Bendo Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
Munculnya TBM ini karena keprihatinan terhadap menurunnya minat baca di Indonesia yang hanya 0, 49% dibawah rata-rata dibanding negara Asia lainnya. Survei dari UNESCO menyebutkan bahwa tak sampai satu judul buku per orangnya per tahun yang dibaca. (Santi Dwi Efianti dan Putriyana Deasy Cahyani)
Editor : Nakula