• TENTANG KAMI
  • KERJASAMA
kediripedia.com
  • HOME
  • BISNIS
  • DESTINASI
  • KOMUNITAS
  • EDUKASI
  • KULTUR
  • PEOPLE
  • SURYAPEDIA
Tidak ada hasil
Tampilkan semua
  • HOME
  • BISNIS
  • DESTINASI
  • KOMUNITAS
  • EDUKASI
  • KULTUR
  • PEOPLE
  • SURYAPEDIA
Tidak ada hasil
Tampilkan semua
kediripedia.com
Tidak ada hasil
Tampilkan semua

Kongkow Budaya Seduluran: Tradisi Berpikir di Tengah Gempuran Budaya Instan

in KULTUR
4 menit baca
0
Kongkow Budaya Seduluran: Tradisi Berpikir di Tengah Gempuran Budaya Instan

Kongkow Budaya Seduluran adalah narasi kecil mengenai wacana kebudayaan, yang didasari semangat seduluran (kekeluargaan) yang senantiasa mengajak masyarakat untuk selalu mengasah pikiran melalui tema-tema yang telah ditentukan.

20
SHARES
157
VIEWS
Bagikan ke FacebookCuitkan di TwitterKirim ke Whatsapp

Dunia modern tidak dapat dipungkiri membawa dampak yang sangat besar terhadap cara hidup manusia. Penemuan mesin-mesin produksi membuat manusia semakin terlepas dari eksistensi serta fungsi sebagai penjaga alam semesta. Inovasi-inovasi dalam sains tidak lantas menjadikan manusia sebagai sentral dalam kehidupan, namun justru manusia semakin lama semakin terjebak dalam kecanggihan mesin-mesin yang merka ciptakan sendiri. Tanpa disadari manusia mengalami ketergantungan pada mesin, ini bisa dilihat jelas bagaimana remaja (bahkan orang tua) yang tidak bisa lepas dari gadget, seolah-olah mereka akan punah jika tak memegang gadget sehari saja.

ikrarDunia modern juga dibarengi dengan bangkitnya budaya kapitalisme yang mau tak mau membawa konsekuensi munculnya sub-kultur konsumerisme. Manusia hanya sebagai objek produksi, (secara tidak langsung) dituntut untuk membeli barang-barang tanpa perlu mempertanyakan proses produksi. Dan produsen memproduksi barang (karya) hanya sebatas untuk laku dijual, seringkali kreativitas (diri) dibenturkan oleh pasar. Dalam hal ini, lama kelamaan otak manusia menjadi beku dan pola pikir pragmatisme (instan, praktis) semakin menjangkit kehidupan manusia. Manusia semakin tidak kritis mengahadapi segala macam fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Waktu manusia modern habis untuk bekerja mencari uang guna memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk konsumtif. Dalam hal ini, masyarakat kita saat ini berada dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Max Horkheimer “Pragmatisme merefleksikan suatu masyarakat yang tak punya waktu untuk mengenang dan merenung.”

Budaya instan semakin berkembang pesat menyelimuti sendi-sendi kehidupan manusia. Sesuatu yang cepat, praktis dan tidak bertele-tele dianggap memiliki kualitas yang tinggi. Sesuatu yang penuh pertimbangan-pertimbangan mendalam dan tidak praktis dianggap akan menghambat jalan menuju kehidupan yang lebih baik; akhirnya memiliki dampak yang cukup mengerikan seperti munculnya korupsi dimana-mana, pencurian, pemerkosaan, begal dan kasus kriminal lain yang ternyata bukan sesederhana yang sering diduga—himpitan ekonomi—namun itu adalah salah satu dampak pola pikir instan manusia saat ini. Salah satu ciri paling menonjol budaya instan adalah menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang dikehendaki secara cepat.

Di tengah-tengah gempuran budaya intstan dan pola pikir pragmatis, yang seringkali mengesampingkan proses berpikir secara mendalam, muncul pertanyaan “Manakah yang lebih utama, pikiran atau tubuh? Gagasan atau bentuk? Lalu, apa yang terjadi apabila keduanya tidak berjalan seimbang?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah usaha untuk mencari kebijaksanaan dan keutamaan  dalam hidup, seperti yang seringkali dipertanyakan dalam mazhab tradisi Konghucu maupun tradisi Yunani Kuno sejak bertahun-tahun lalu. Alih-alih mencari jawaban dari pertanyaan tersebut, budaya instan dan pola pikir pragmatis telah menjangkit sedemikian kronis sehingga untuk memunculkan pertanyaan tersebut dalam setiap pribadipun (apalagi masyarakat) bukan perkara yang mudah.

rsz_20160212_220004_llsTampaknya hal ini juga yang dikritik secara tajam oleh Ki Sanggem, budayawan asal Kediri, dalam Diskusi Kebudayaan dalam rangka 1st Anniversary Kongkow Budaya Seduluran Pare bulan Mei lalu. Beliau melontarkan pertanyaan filosofis-eksistensialis, “Apakah Anda hidup? Bagaimana Anda bisa hidup? Di mana letak hidup Anda?” Ketika dalam sesi tanya jawab Ki Sanggem berceletuk “Bahkan untuk bertanya saja Anda tidak bisa.” (sambil beliau terkekeh). Pertanyaan Ki Sanggem tersebut senada dengan pertanyaan eksistensial tokoh Goethe dalam novel terkenal Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting, “Apakah seorang manusia itu hidup ketika yang lainnya hidup?” Di tengah arus pemikiran pragmatisme dan budaya instan manusia seringkali tidak “hidup” secara eksistensial, tidak eksis. Hal ini berarti peran dan fungsi manusia bagi manusia lain dan bagi semesta telah tergerus. Manusia diseragamkan dengan semangat universalisme dan tak pernah mempertanyakan itu, sebab kekritisan pikiran manusia telah ditumpulkan oleh arus pragmatisme.

Baca Jugadi Kediripedia

Persahabatan Antara Mata Air dan Pesantren

Bantengan, Potret Kehidupan Masyarakat yang Cenderung Berkoloni

Kongkow Budaya Seduluran adalah narasi kecil mengenai wacana kebudayaan, yang didasari semangat seduluran (kekeluargaan) yang senantiasa mengajak masyarakat untuk selalu mengasah pikiran melalui tema-tema yang telah ditentukan. Kongkow Budaya Seduluran terbentuk melalui sebuah dialog warung kopi di tengah-tengah keriuhan Kampung (bahasa) Inggris Pare. Melihat kondisi Kampung (bahasa) Inggris yang semakin semarak dengan semangat hedonis dan pola pikir pragmatis inilah semangat untuk mentradisikan kembali berpikir kritis dimanifestasikan melalui Kongkow Budaya Seduluran. Anggota Kongkow Budaya Seduluran terdiri dari berbagai macam latar belakang, mulai dari pengajar, mahasiswa, pekerja seni, pekerja serabutan dan lain sebagainya. Berbagai macam latar belakang dari ini memunculkan variasi gagasan sehingga seringkali ada perdebatan panjang dan mengasyikkan mengenai konsep-konsep pemikiran yang didiskusikan.

Melalui kegiatan diskusi yang tematik setiap bulan, diharapkan mampu mempertajam kembali pikiran-pikiran kritis dalam masyarakat. Tradisi berpikir sebagai counter-hegemoni (budaya tanding) dari budaya instan menjadi pilihan strategi yang dianggap representatif untuk mengimbangi arus pragmatisme yang sedemikian deras dewasa ini. Selain kegiatan diskusi yang diadakan secara rutin setiap bulan dari lembaga ke lembaga, kafe ke kafe dan tempat-tempat lain di sekitar Kampung (bahasa) Inggris Pare. Selain kegiatan diskusi tematik setiap bulan, kawan-kawan Kongkow Budaya Seduluran juga sering berkumpul dan berdiskusi di Baron Coffee Jalan Anyelir No 62b, diskusi kecil mengenai seni, sastra, politik dan sejarah atau fenomena sosial yang sedang boom menjadi tema-tema untuk menghabiskan malam.

Harapannya Kongkow Budaya Seduluran mampu memberikan percikan-percikan semangat berpikir kritis dalam lingkup yang lebih luas, tidak hanya di wilayah Kampung (bahasa) Inggris. Beberapa kali Kongkow Budaya Seduluran diundang ke Tuban dan Bojonegoro untuk menggelar kongkow di daerah tersebut sebagai usaha untuk menyebarkan semangat berpikir kritis melalui forum diskusi yang tematik.

Di tengah keringnya budaya berpikir kritis, Kongkow Budaya Seduluran adalah sumur yang berisi air ilmu pengetahuan. Diskusi mengenai sastra, sejarah, seni, politik maupun produk-produk kebudayaan yang lain selalu menjadi hal yang tak habis-habis dibahas dan diperbincangkan. Dari proses diskusi dan bertukar (seringkali juga beradu) wacana seperti inilah tradisi berpikir kembali tumbuh, sekaligus sebagai penyeimbang budaya instan, minimal di lingkungan sekitar yang paling dekat. (Netizer: Dedi Ashari)

Follow Us

  • 2.9k Fans
  • 1.8k Followers

Recommended

Karyawan Gudang Garam Juga Punya Klub Sepeda

Karyawan Gudang Garam Juga Punya Klub Sepeda

2 years yang lalu
128
Tiga Agama Menyambut Hari Raya Nyepi Bersama

Tiga Agama Menyambut Hari Raya Nyepi Bersama

4 years yang lalu
226
Pertama dalam Sejarah, Peresmian Pembangunan Bandara Dilakukan Secara Virtual

Pertama dalam Sejarah, Peresmian Pembangunan Bandara Dilakukan Secara Virtual

9 months yang lalu
1.9k
Covid-19 Perlu Dipahami, Bukan Ditakuti

Covid-19 Perlu Dipahami, Bukan Ditakuti

7 months yang lalu
1.1k

KATEGORI

  • BISNIS
  • DESTINASI
  • EDUKASI
  • KOMUNITAS
  • KULTUR
  • PEOPLE
  • SURYAPEDIA
  • Video

TOPIK

#AJI #Bisnis #corona #covid19 #EDUKASI #GG #gudanggaram #headline #Kediri #kediripedia #kelud #komunitas #kuliner #pare #pilihan #rondaliterasi #scooterist #SEJARAH #SeniBudaya #suryapedia #TanKhoenSwie #trending #vespa #WISATAKELUD Bisnis budaya Corona Covid-19 Destinasi forscook gudang garam Headline Idul FItri Jombang jurnalis Kediri ksf kultur lebaran people sejarah seni sepeda Tulungagung Virus Corona
Tidak ada hasil
Tampilkan semua

HEADLINE

Guru Sepuh di Surabaya Menciptakan 120 Lagu Selama Pandemi

Empat Seniman Berjuang Menyehatkan Alam Sekitar

Tim Enduro Gudang Garam Merajai Kompetisi IERC 2020

Empat Pemuda Pelopor Keselamatan Pangan

Persahabatan Antara Mata Air dan Pesantren

Bantengan, Potret Kehidupan Masyarakat yang Cenderung Berkoloni

Trending

KOMUNITAS

Watchdoc Menerima Penghargaan Human Rights dari Korea Selatan

oleh Kediripedia
20 January, 2021
293

PADA Kamis, 14 Januari 2021, Watchdoc Documentary Maker, meraih penghargaan Special Prize of The 2021 Gwangju Prize...

Wayang Perlu Dikenalkan Sejak Dini

14 January, 2021
406
Motif Tenun Ikat Kediri Perlu Didokumentasi

Motif Tenun Ikat Kediri Perlu Didokumentasi

4 January, 2021
439

Guru Sepuh di Surabaya Menciptakan 120 Lagu Selama Pandemi

28 December, 2020
496
Empat Seniman Berjuang Menyehatkan Alam Sekitar

Empat Seniman Berjuang Menyehatkan Alam Sekitar

1 December, 2020
228
kediripedia.com

© 2020 Kediripedia.com

#jalanjalandangembira

  • TENTANG KAMI
  • ATURAN PENGGUNAAN
  • KERJASAMA
  • KONTAK

Follow Us

Tidak ada hasil
Tampilkan semua
  • HOME
  • BISNIS
  • DESTINASI
  • KOMUNITAS
  • EDUKASI
  • KULTUR
  • PEOPLE
  • SURYAPEDIA

© 2020 Kediripedia.com