Dunia modern tidak dapat dipungkiri membawa dampak yang sangat besar terhadap cara hidup manusia. Penemuan mesin-mesin produksi membuat manusia semakin terlepas dari eksistensi serta fungsi sebagai penjaga alam semesta. Inovasi-inovasi dalam sains tidak lantas menjadikan manusia sebagai sentral dalam kehidupan, namun justru manusia semakin lama semakin terjebak dalam kecanggihan mesin-mesin yang merka ciptakan sendiri. Tanpa disadari manusia mengalami ketergantungan pada mesin, ini bisa dilihat jelas bagaimana remaja (bahkan orang tua) yang tidak bisa lepas dari gadget, seolah-olah mereka akan punah jika tak memegang gadget sehari saja.
Dunia modern juga dibarengi dengan bangkitnya budaya kapitalisme yang mau tak mau membawa konsekuensi munculnya sub-kultur konsumerisme. Manusia hanya sebagai objek produksi, (secara tidak langsung) dituntut untuk membeli barang-barang tanpa perlu mempertanyakan proses produksi. Dan produsen memproduksi barang (karya) hanya sebatas untuk laku dijual, seringkali kreativitas (diri) dibenturkan oleh pasar. Dalam hal ini, lama kelamaan otak manusia menjadi beku dan pola pikir pragmatisme (instan, praktis) semakin menjangkit kehidupan manusia. Manusia semakin tidak kritis mengahadapi segala macam fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Waktu manusia modern habis untuk bekerja mencari uang guna memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk konsumtif. Dalam hal ini, masyarakat kita saat ini berada dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Max Horkheimer “Pragmatisme merefleksikan suatu masyarakat yang tak punya waktu untuk mengenang dan merenung.”
Budaya instan semakin berkembang pesat menyelimuti sendi-sendi kehidupan manusia. Sesuatu yang cepat, praktis dan tidak bertele-tele dianggap memiliki kualitas yang tinggi. Sesuatu yang penuh pertimbangan-pertimbangan mendalam dan tidak praktis dianggap akan menghambat jalan menuju kehidupan yang lebih baik; akhirnya memiliki dampak yang cukup mengerikan seperti munculnya korupsi dimana-mana, pencurian, pemerkosaan, begal dan kasus kriminal lain yang ternyata bukan sesederhana yang sering diduga—himpitan ekonomi—namun itu adalah salah satu dampak pola pikir instan manusia saat ini. Salah satu ciri paling menonjol budaya instan adalah menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang dikehendaki secara cepat.

Di tengah-tengah gempuran budaya intstan dan pola pikir pragmatis, yang seringkali mengesampingkan proses berpikir secara mendalam, muncul pertanyaan “Manakah yang lebih utama, pikiran atau tubuh? Gagasan atau bentuk? Lalu, apa yang terjadi apabila keduanya tidak berjalan seimbang?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah usaha untuk mencari kebijaksanaan dan keutamaan dalam hidup, seperti yang seringkali dipertanyakan dalam mazhab tradisi Konghucu maupun tradisi Yunani Kuno sejak bertahun-tahun lalu. Alih-alih mencari jawaban dari pertanyaan tersebut, budaya instan dan pola pikir pragmatis telah menjangkit sedemikian kronis sehingga untuk memunculkan pertanyaan tersebut dalam setiap pribadipun (apalagi masyarakat) bukan perkara yang mudah.
Tampaknya hal ini juga yang dikritik secara tajam oleh Ki Sanggem, budayawan asal Kediri, dalam Diskusi Kebudayaan dalam rangka 1st Anniversary Kongkow Budaya Seduluran Pare bulan Mei lalu. Beliau melontarkan pertanyaan filosofis-eksistensialis, “Apakah Anda hidup? Bagaimana Anda bisa hidup? Di mana letak hidup Anda?” Ketika dalam sesi tanya jawab Ki Sanggem berceletuk “Bahkan untuk bertanya saja Anda tidak bisa.” (sambil beliau terkekeh). Pertanyaan Ki Sanggem tersebut senada dengan pertanyaan eksistensial tokoh Goethe dalam novel terkenal Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting, “Apakah seorang manusia itu hidup ketika yang lainnya hidup?” Di tengah arus pemikiran pragmatisme dan budaya instan manusia seringkali tidak “hidup” secara eksistensial, tidak eksis. Hal ini berarti peran dan fungsi manusia bagi manusia lain dan bagi semesta telah tergerus. Manusia diseragamkan dengan semangat universalisme dan tak pernah mempertanyakan itu, sebab kekritisan pikiran manusia telah ditumpulkan oleh arus pragmatisme.
Kongkow Budaya Seduluran adalah narasi kecil mengenai wacana kebudayaan, yang didasari semangat seduluran (kekeluargaan) yang senantiasa mengajak masyarakat untuk selalu mengasah pikiran melalui tema-tema yang telah ditentukan. Kongkow Budaya Seduluran terbentuk melalui sebuah dialog warung kopi di tengah-tengah keriuhan Kampung (bahasa) Inggris Pare. Melihat kondisi Kampung (bahasa) Inggris yang semakin semarak dengan semangat hedonis dan pola pikir pragmatis inilah semangat untuk mentradisikan kembali berpikir kritis dimanifestasikan melalui Kongkow Budaya Seduluran. Anggota Kongkow Budaya Seduluran terdiri dari berbagai macam latar belakang, mulai dari pengajar, mahasiswa, pekerja seni, pekerja serabutan dan lain sebagainya. Berbagai macam latar belakang dari ini memunculkan variasi gagasan sehingga seringkali ada perdebatan panjang dan mengasyikkan mengenai konsep-konsep pemikiran yang didiskusikan.
Melalui kegiatan diskusi yang tematik setiap bulan, diharapkan mampu mempertajam kembali pikiran-pikiran kritis dalam masyarakat. Tradisi berpikir sebagai counter-hegemoni (budaya tanding) dari budaya instan menjadi pilihan strategi yang dianggap representatif untuk mengimbangi arus pragmatisme yang sedemikian deras dewasa ini. Selain kegiatan diskusi yang diadakan secara rutin setiap bulan dari lembaga ke lembaga, kafe ke kafe dan tempat-tempat lain di sekitar Kampung (bahasa) Inggris Pare. Selain kegiatan diskusi tematik setiap bulan, kawan-kawan Kongkow Budaya Seduluran juga sering berkumpul dan berdiskusi di Baron Coffee Jalan Anyelir No 62b, diskusi kecil mengenai seni, sastra, politik dan sejarah atau fenomena sosial yang sedang boom menjadi tema-tema untuk menghabiskan malam.
Harapannya Kongkow Budaya Seduluran mampu memberikan percikan-percikan semangat berpikir kritis dalam lingkup yang lebih luas, tidak hanya di wilayah Kampung (bahasa) Inggris. Beberapa kali Kongkow Budaya Seduluran diundang ke Tuban dan Bojonegoro untuk menggelar kongkow di daerah tersebut sebagai usaha untuk menyebarkan semangat berpikir kritis melalui forum diskusi yang tematik.
Di tengah keringnya budaya berpikir kritis, Kongkow Budaya Seduluran adalah sumur yang berisi air ilmu pengetahuan. Diskusi mengenai sastra, sejarah, seni, politik maupun produk-produk kebudayaan yang lain selalu menjadi hal yang tak habis-habis dibahas dan diperbincangkan. Dari proses diskusi dan bertukar (seringkali juga beradu) wacana seperti inilah tradisi berpikir kembali tumbuh, sekaligus sebagai penyeimbang budaya instan, minimal di lingkungan sekitar yang paling dekat. (Netizer: Dedi Ashari)