PADA 19 Maret 2003, serangan rudal mengguncang Bagdad, Irak. Presiden Amerika Serikat, George W. Bush berpidato bahwa gempuran itu adalah tahap awal operasi militer Pembebasan Irak atau Operation Iraqi Freedom. Tak berselang lama usai pidato Bush, Negeri 1001 Malam hancur dikoyak desing peluru, ledakan bom, dan serbuan pesawat tempur dari selatan hingga utara, dari barat hingga pusat kota Bagdad.
Meletusnya Perang Irak itu membuat Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) mengevakuasi warga negara Indonesia (WNI). Termasuk, empat orang wartawan Indonesia. Mereka dipindahkan ke Amman, Yordania. Usai proses pengungsian, WNI yang masih bertahan di Baghdad hanya Dachlan Abdul Hamid, Duta Besar Indonesia untuk Irak saat itu.
Dalam kondisi yang tengah berkecamuk, seorang jurnalis Indonesia terjun langsung ke peperangan sendirian. Rommy Fibri Hardiyanto, wartawan Majalah Tempo, menjadi satu-satunya jurnalis asal Indonesia yang berada di jantung Perang Irak. Dia menuju Bagdad melalui sebuah jalur dari kota Abu Kamal, sebuah kawasan di perbatasan Suriah dan Irak.
“Selama hampir 12 jam perjalanan dari Abu Kamal ke Bagdad, seluruh badan rasanya gemetar tak karuan,” ujar Rommy, Senin 13 Desember 2021.
Terjun ke medan perang seorang diri, rasa takut tak dapat ditampik. Perlintasan sepanjang rute Abu Kamal-Bagdad termasuk zona rawan perang. Beberapa hari sebelumnya, ada sebuah bus yang dihantam rudal pesawat Amerika ketika melewati rute dengan panjang sekitar 500 Kilometer. Perasaan cemas Rommy pun semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan sendiri bekas kendaraan yang hancur itu.
“Saat tiba di lokasi perang, rasa takut itu justru hilang,” ujar lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta.
Selama Maret hingga April tahun 2003 atau hampir satu setengah bulan Rommy berada di Bagdad. Dia bukan hanya jurnalis, tapi juga saksi mata kejatuhan rezim Saddam Hussein.
Pada 9 April 2003, pasukan Amerika merangsek ke Bagdad dari segala penjuru. Sore harinya, pasukan sudah menguasai kota, tepatnya di Firdaws Square, pusat kota Bagdad. Puluhan milisi yang menjadi pertahanan terakhir menanggalkan senjata tanda menyerah.
Patung Saddam Hussein di perempatan Firdaws akhirnya dirobohkan. Peristiwa bersejarah sekaligus ironis itu tak luput diabadikan Rommy. Dalam foto yang diambil Rommy, tergambar bagaimana situasi warga kesusahan saat hendak menumbangkan patung. Sehingga, proses penghancuran itu harus membuat tentara Amerika harus turun tangan. Sebuah tali diikatkan di bagian leher lalu ditarik kendaraan lapis baja Armored Personal Carrier (APC) dan patung itu roboh.
“Penduduk Bagdad memperlakukan Tentara Amerika seperti pahlawan. Mereka mengelu-elukannya serasa menghirup kebebasan,” kata pria yang kini menjabat Ketua Lembaga Sensor Film (LSF).
Peristiwa di Firdaws itu ditulis menjadi laporan pembuka di bukunya yang berjudul “Detik-detik terakhir Saddam: laporan wartawan TEMPO dari Bagdad, Irak”. Selepas di TEMPO, Rommy melanjutkan karir jurnalistik menjadi Produser Eksekutif Liputan 6 SCTV, Pemimpin Redaksi Tabloid Mingguan Prioritas, Direktur News dan Produksi TV Muhammadiyah, Direktur Harian Jurnal Nasional, dan pernah aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Dalam buku yang ditulis bersama Ahmad Taufiq, Rommy menyebut jika kebahagiaan penduduk Bagdad hanya sementara. Kelak, mereka akan menyadari apa artinya di bawah kendali Amerika, meski saat ini mereka merasa terbebas dari Saddam.
Bukan hanya sekali, Rommy mengunjungi Bagdad untuk kali kedua pada Desember 2003 hingga Januari 2004. Kala itu, dia meliput tertangkapnya Saddam Hussein. Dua hari setelah Saddam ditangkap, dia kembali masuk Irak. Selain Bagdad, dia mendatangi kota Najaf, Kufah, Karbala, Falujah, Ramadi, Tikrit, Baquba, Samarra, Kirkuk dan Sulaymaniyah. Masyarakat yang tinggal di kawasan itu lahir dari beragam kultur, dari arab hingga kurdistan. Rommy ketiga kalinya menyambangi bekas wilayah Mesopotamia ini pada Mei-April 2004, ketika penyerahan kekuasaan dari pasukan koalisi AS ke pemerintahan Irak.
Pada 13 Desember 2003 atau tepat 18 tahun lalu, Saddam Hussein ditangkap pasukan koalisi. Saddam diringkus di sebuah lubang yang disamarkan dengan tumpukan batu bata, ditutupi selembar styrofoam, serta karpet. Ini sekaligus mengakhiri pelariannya setelah 20 Maret 2003 ketika pasukan Amerika mulai menggempur Irak.
Saddam diburu karena dianggap menyimpan senjata pemusnah massal. Dia juga dikenal sebagai penjahat perang karena menggunakan gas kimia untuk menyerang warganya sendiri. Saddam akhirnya menjalani eksekusi hukuman gantung pada 30 Desember 2006. Kedua anaknya yakni Uday dan Qusay juga terbunuh dalam penggerebekan di persembunyian mereka di kota Mosul, Irak bagian utara.
“Perang selalu meninggalkan torehan sejarah bagi pemenangnya. Dan di bawah itu semua, hanya tersisa rakyat kecil yang menderita,” kata Rommy.
Masyarakat Irak sudah terbebas dari Saddam Husein. Namun, hal itu bukan berarti menyelesaikan masalah di Irak. Mereka kini banyak terbenam pada konflik internal, misalnya perlawanan Kaum Kurdi, kelompok Sunni dan Syiah, serta munculnya gerakan ISIS. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post