ISTILAH ada gula ada semut, barangkali tepat menggambarkan hubungan antara pabrik gula Belanda dan pondok pesantren. Ketika industri raksasa di era penjajahan itu digencarkan, di dekatnya juga berdiri lembaga pendidikan Islam. Salah satu cerita yang paling fenomenal, yaitu konflik antara KH Hasyim Asyari dari Pondok Pesantren Tebuireng dan Pabrik Gula Tjoekir di Jombang.
Pada tahun 1899, Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebuireng tepat di depan Pabrik Gula Tjoekir. Perjuangan dakwah ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) bermula saat melihat pesatnya laju indutri gula Belanda. Di balik gemerlapnya komoditas tebu di Jombang, ternyata melahirkan sisi gelap berupa kehidupan buruh yang kelam. Masyarakat yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan buruh mengalami eksploitasi luar biasa.
Meski pabrik gula sudah untung besar, Belanda tetap tak mau rugi. Mereka terus mencoba merongrong ketahanan ekonomi rakyat dengan berbagai siasat. Misalnya, mendirikan rumah bordil atau lokalisasi yang tak jauh dari wilayah pabrik.
“Pihak Belanda sering mengadakan pesta dengan mendatangkan gadis, sehingga buruh pabrik terlena dan uang mereka terkuras,” kata Nasrul Ilah atau yang biasa disapa Cak Nas, Budayawan Jombang, Rabu, 29 Desember 2021.
Ketika judi dan prostitusi sudah menjadi candu, mau tidak mau mereka harus berhutang pada pabrik. Di sisi lain, para buruh harus bekerja kembali untuk membayar hutang dengan gaji yang relatif kecil.
Taktik kolonial menjerumuskan masyarakat dilancarkan dengan mempelajari kebudayaan setempat. Upacara adat Tayuban—seni tari yang melibatkan pria dan wanita—wajib digelar saat acara buka giling pabrik. Dari budaya itulah aktivitas seperti judi, prostitusi, mabuk-mabukan, dan aksi perampokan, semakin merajalela.
“Adanya aksi kriminalitas yang sudah menjadi budaya itu membuat jalan dakwah Hasyim Asyari tak berjalan mulus,” kata Dian Sukarno, sejarawan Jombang.
Upaya dari centeng atau preman lokalisasi menghancurkan pesantren terus bergulir. Ketika mendapat serangan baik secara fisik maupun fitnah itu, ada sosok bernama Ki Ronggo Suro yang membela Tebuireng. Dia adalah pendekar dari daerah Tuban. Nama Ki Ronggo Suro sebagai pengawal Hasyim Asyari sejauh ini belum tercatat di narasi sejarah.
Sikap menentang dakwah Kiai Hasyim datang dari lokalisasi Gang Grasak. Lokasinya sekitar 600 meter dari Pabrik Tjoekir. Pemilik bar di lokalisasi tersebut dikenal dengan Mbah Sartini. Banyak buruh pabrik yang datang ke barnya untuk mabuk, berjudi, dan main perempuan. Ternyata, Mbah Sartini bekerja sama dengan Belanda dalam upaya menguras uang para buruh pabrik.
Adanya gerakan Islam yang masif, eksistensi dari tempat prostitusi itu terancam. Alhasil, sering terjadi bentrok fisik antara kedua belah pihak. Perlawanan dipimpin pengawal Mbah Sartini bernama Kebo Ireng, pendekar asal Madura. Sebutan Kebo Ireng merujuk pada fisiknya yang berkulit hitam, berbadan besar, tinggi, dan kekar.
“Yang dihadapi Mbah Hasyim tidak hanya Belanda, sebagian masyarakat juga melawan,” kata Cak Nas.
Berbagai cara ia lakukan untuk mengusir keberadaan pondok pesantren. Namun, Hasyim Asyari pun tidak menyerah. Kakek Gus Dur itu menggandeng ulama dari berbagai daerah untuk melawan Belanda dan Kebo Ireng.
Upaya menjernihkan kawasan hitam itu akhirnya berhasil. Setelah berdirinya pondok pesantren, lokalisasi di Tebuireng berangsur-angsur hilang. Tercatat sejak 1970an tradisi tayuban dan prostitusi sudah tak terlihat lagi.
“Kawasan yang dulu dikenal dengan nama gang Grasak itu kini berubah nama menjadi Tebuireng gang I,” kata Sugiat, Ketua Rw 09, Dusun Tebuireng gang 1, Desa Diwek, Jombang.
Dia menuturkan, keturunan Mbah Sartini pun tidak dapat ditemukan, bak hilang di telan bumi. Kawasan Tebuireng yang dulu menjadi tempat mesum, kini menjadi daerah santri, terutama jamaah nahdliyin.
Pemilihan lokasi dakwah di dekat industri kolonial Belanda selanjutnya banyak ditiru oleh para santri Kiai Hasyim Asy’ari di berbagai daerah di Pulau Jawa. KH Bisri Syansuri, mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif, pada 1917, di Denanyar. Uniknya, pesantren ini dekat dengan Pabrik Gula Djombang Baru. Ada juga KH Abdul Karim, yang mendirikan Pesantren Lirboyo Kediri pada 1910 yang secara geografis tak jauh dari PG Mrican. Di Tulungagung, ada Pabrik Gula Modjopanggung yang dekat dengan Pesantren Menara Al-Fattah Mangunsari Kedungwaru. Pesantren ini didirikan oleh KHR Abdul Fattah pada tahun 1935.
Santri Hasyim Asyari lainnya, KH Zaini Mun’im mendirikan Pesantren Nurul Jadid di dekat PG Paiton, Probolinggo. Lalu ada Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan, tak jauh dari PG Pajarakan. Di Jember, KH Djauhari Zawawi, merintis Pesantren Assunniyah dekat Pabrik Gula Gunungsari, Kecamatan Kencong, Jember.
Pesantren Tebuireng yang mengawali dakwah berdampingan dengan pabrik gula, berhasil melahirkan puluhan pondok sebagai upaya melanjutkan perjuangan Hasyim Asyari. Kini, berbagai pesantren itu eksistensinya justru melebihi pabrik-pabrik Belanda. Sebab, sejak dinasionalisasi pada 1957, komoditas pabrik gula terus merosot, sebagian besar bahkan sudah gulung tikar. Kondisi itu berbanding terbalik dengan kiprah pesantren yang sekarang berkembang semakin pesat. (Rokhimatul Inayah, Mahasiswi Program Studi Manajemen Universitas Hasyim Asyari Tebuireng Jombang, sedang magang di Kediripedia.com)
Discussion about this post