KITAB Sirojud Tholibin yang ditulis Kiai Ihsan Muhammad Dahlan atau Syekh Ihsan, hingga kini masih menjadi rujukan materi ajar seluruh pondok pesantren di Indonesia, bahkan seluruh universitas Islam di dunia. Sayangnya, buku Kiai Kediri ini pernah dibajak penerbit Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Lebanon pada 2006. Penerbit itu bukan hanya mengubah nama pengarangnya menjadi Syech Ahmad Zaini Dahlan. Mereka juga menghapus kata pengantar yang ditulis pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Hasyim Asy’ary.
“Sejumlah toko buku di Kairo, Mesir masih menjual buku bajakan yang mengganti nama Syekh Ihsan,” tutur Alfin Ghozali, mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Kairo Mesir, ketika diwawancarai Kediripedia melalui chat Whatsapp, pada Kamis, 14 April 2022.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan ahli waris sempat mengurus pembajakan bersama kedutaan Lebanon. Mereka menemui dua pihak percetakan asal Lebanon yakni Darul Fikr penerbit di tahun 1990 dan Darul Kutub Ilmiyah. Semua pihak bersepakat menyelesaikan masalah tersebut. Namun hingga kini masih ditemui kitab Sirojud Tholibin yang salah dalam penulisan nama pengarangnya.
Kiai Munif Muhammad, cucu dari Syekh Ihsan menuturkan, pihak keluarga selama ini tidak mendapatkan uang royalti sepeserpun atas kitab tersebut. Namun, sebelum wafat pada 1952, Syekh Ihsan pernah berwasiat jika kitab itu dibuat untuk menambah wawasan keislaman. Semua orang diizinkan memperbanyak dan mempelajarinya agar semakin bermanfaat.
“Apa yang dilakukan mbah itu, agar anak cucunya tetap mengajar dengan ikhlas dan tak mengharap materi atas karya beliau,” ucap Kiai Munif saat ditemui di kediamannya.

Syekh Ihsan lahir pada tahun 1901 di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Ulama itu menulis kitab Sirojud Tholibin pada 1932 atau ketika usianya baru 31 tahun. Sirojud Tholibin bermakna lentera untuk orang-orang yang mencari ilmu. Isi buku setebal 1089 halaman ini membahas ajaran-ajaran tasawuf lengkap dengan tuntunan seperti zuhud, wirai, sabar, dan ikhlas.
Di awal kemunculannya, kitab sufi ini pernah menggetarkan dunia keilmuan Islam. Buku tersebut berhasil menjabarkan pemikiran tasawuf Imam al-Ghazali secara lengkap, lugas, dan mudah dipahami.
“Kiai Ihsan membutuhkan waktu 8 bulan untuk mengarang kitab tersebut,” ujar ulama berusia 56 tahun itu
Kiai Munif kini meneruskan perjuangan kakeknya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al Ihsan. Pesantren salaf yang biasa dikenal dengan Pondok Jampes itu berdiri pada 1886.
Kepopuleran kitab Sirojud Tholibin, menarik perhatian Raja Farouk dari Mesir. Pada 1934, dia mengirim utusannya datang ke Indonesia untuk bertemu dengan Syekh Ihsan. Utusan itu berupaya membujuk Syekh Ihsan agar bersedia tinggal dan mengajar di Mesir. Bahkan, Raja Mesir berjanji akan memberikan berbagai fasilitas jika Syekh Ihsan mengajak keluarganya.
“Syekh Ihsan menolak, beliau memilih tetap tinggal di Kediri dan meneruskan dakwah di pesantren,” kata Kiai Munif.

Sirojud Tholibin pertama kali dicetak secara massal pada tahun 1950. Penerbitnya adalah An Banhaniyah di Surabaya yang dikelola Syekh Salim bin Sa’ad dan saudaranya Achmad. Lima tahun kemudian, mereka bekerjasama dengan percatakan Mustafa Al-Baby Al-Halaby di Kairo, Mesir.
Hingga kini, kitab Sirojud Tholibin masih diajarkan di perguruan tinggi luar negeri, salah satunya Universitas Kairo Mesir. Karangan Kiai asal Jampes Kediri menjadi materi penguatan ajaran tasawuf di Masjid Agung Kairo Mesir.
Materi itu dibawakan oleh Syech Ahmad Hajin As Syafi’i Al Azhari Syech Hazin asal mesir. Pengajaran dilakukan di Ruwa’ atau ruangan kosong masjid setiap Rabu setelah shalat Ashar. Transformasi wawasan itu menggunakan sistem talaqqi atau yang di kalangan pesantren disebut bandongan yakni guru membacakan dan murid menyimak.
“Para peserta didik biasanya berasal dari Asia Tenggara dan Timur Tengah,” kata Alfin Ghozali.
Mahasiswa asal Baron, Nganjuk itu menjelaskan, karangan Syekh Ihsan bukan sekadar bahan diskusi di masjid. Kitab tersebut banyak menjadi rujukan penelitian literatur dan kajian program magister hingga doktoral di Universitas Kairo.
Said Aqil Siradj, mantan ketua PBNU pernah menuturkan jika kitab sufi asal Kediri itu juga diajarkan di Mali, Afrika Barat. Keterangan itu disampaikannya pada acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad dan Haul Ke-25 KH. Sofyan Abdul Wahab, Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar, Simo Sungelebak, Karanggeneng, Lamongan tahun 2013.
Kiai Said berada di Mali selama 4 hari dalam rangka Studi Banding tahun 2012. Saat berjalan-jalan di Kota Tembakto ditemani Mustofa, alumnus Al-Azhar, mereka tak sengaja menemukan pengajian di masjid yang membahas kitab asal Indonesia. Setelah ditanya, ternyata yang dibacakan adalah kitab Sirojud Tholibin karangan Syekh Ihsan.
Berbagai kisah itu semakin meneguhkan, jika karya Syehk Ihsan berkontribusi penting dalam kajian ilmu sufistik Islam. Hingga kini, narasi di dalam kitab Sirojud Tholibin masih tak tertandingi. Ulama-ulama Islam seluruh dunia sepakat jika kitab sufi asal Kediri adalah satu-satunya buku paling komprehensif yang mengupas pemikiran Imam al-Ghazali. (Ahmad Eko Hadi)
Discussion about this post