BERBARENGAN dengan meningkatnya tren gowes di masa pandemi Covid-19, toko-toko sepeda kini dibanjiri pembeli. Bahkan, saking tingginya permintaan membuat harga sepeda semakin mahal. Uniknya, kondisi itu justru mendorong munculnya ide kreatif. Salah satunya, merakit sepeda dari limbah besi tua.
Di tengah situasi ekonomi yang sedang menurun, barang-barang bekas bisa jadi pilihan alternatif. Itu adalah solusi jika tidak memungkinkan membeli sepeda baru. Seperti yang dilakukan Imam Syafi’i, salah seorang warga Desa Deyeng, Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri.
“Kalau yang bekas masih layak digunakan, kenapa harus beli yang baru,” ujar pria yang akrab disapa Pollo, Kamis, 13 Agustus 2020.
Dia meyakini bahwa bersepeda tidak harus mahal. Untuk mendapatkan kerangka dan onderdil sepeda, Pollo berkunjung ke sejumlah pengepul rongsokan di kawasan Kediri selatan.
Di lokasi itu, barang bekas yang berkaitan dengan sepeda dapat ditemukan dengan mudah dan murah. Misalnya, onderdil seperti kerangka, roda, rantai, dan setang; hingga printilan bernuansa vintage yang langka. Semuanya bisa dibeli melalui sistem hitung kiloan. Per kilogramnya dikenakan biaya sekitar 5 ribu hingga 10 ribu rupiah.
“Jika lagi mujur biasanya bisa dapat barang dengan kualitas lebih bagus,” kata pemeran Sukirman (Kirman) di film Air Mata di Ladang Tebu ini.
Menurutnya, membeli suku cadang sepeda bekas tidak hanya menghemat uang. Hal yang lebih penting adalah melestarikan benda tua, sekaligus memperpanjang unsur kegunaan sebuah komponen.

Sekitar dua bulan yang lalu, Pollo berhasil membawa pulang frame sepeda produksi Jerman. Konstruksi rodanya berukuran 24, sedangkan bentuk rangkanya menyerupai sepeda jengki.
Proses restorasi sepeda Jerman tidak terlalu sulit. Jika di pengepul rosok tidak ditemui suku cadang yang diperlukan, dia akan berbelanja ke pedagang sepeda bekas.
Salah satunya, di lapak milik Purwanto di Desa Srikaton, Kecamatan Ringinrejo, Kabupaten Kediri. Di tempat itu, segala kebutuhan onderdil sepeda dari berbagai jenis maupun keluaran tahun dapat dijumpai. Harganya pun cukup murah.
Baca juga:
Raja Sepeda Bekas dari Kediri
Dalam proses restorasi, segala printilan yang menempel di badan sepeda miliknya merupakan barang bekas. Satu-satunya onderdil yang dibeli dari toko hanya sepasang ban. Dari tahap membeli rangka, onderdil, pemasangan, hingga siap jalan; biaya yang dihabiskan hanya sebesar 250 ribu rupiah.
“Ada rasa puas yang sulit dijelaskan ketika berhasil merakit sepeda dari barang rombeng,” kata Polo.
Usai sepeda telah siap digunakan, dia kerap menggunakannya gowes keliling desa. Pada Minggu 16 Agustus 2020, dia akan bersepeda ke makam Pahlawan Buruh Marsinah; menempuh jarak 53 kilometer ke Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk.
Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik zaman pemerintahan Orde Baru. Dia diculik lalu terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Dalam misi gowes dan berziarah ke makam Marsinah, Pollo akan ditemani kedua sahabatnya, Muhammad Basuki Abbas dan Fahreza Yudith Rahendra.

Selain Polo, upaya merakit sepeda dari limbah juga dilakukan Nur Huda. Bukan sepeda buatan Jerman, melainkan kereta angin produksi Jepang bermerk Fujiwara. Sepeda tipe balap itu juga dibeli dalam bentuk frame dari tempat rosok.
Menariknya, tak berselang lama setelah direstorasi, ada seorang kawan yang berminat membeli sepeda tersebut. Huda tak menyangka, merakit sepeda dari limbah ternyata bisa dijadikan sumber bisnis baru di tengan wabah corona.
“Saya berencana merakit sepeda dari barang bekas dengan jenis yang berbeda, siapa tahu bisa laku lagi,” ujar lelaki yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Mantenan, Blitar.

Menurutnya, selain menyenangkan, upaya merakit sepeda bekas juga dapat menopang kelangsungan para pelaku bisnis lainnya. Di antaranya, pada pedagang printilan maupun bengkel penyedia jasa reparasi sepeda.
Dia meyakini, pemanfaatan dan pengelolaan barang bekas akan menjadi gaya hidup masyarakat modern. Sebab, semakin maju peradaban pasti dibarengi kesadaran tentang efektifitas, kesederhanaan, dan penghematan demi kelangsungan hidup yang berkelanjutan.
Nur Huda terpaksa tidak bisa mengikuti Polo berziarah ke makam Marsinah karena sepedanya laku. Namun dalam waktu dekat, dia berupaya keras merakit kembali sepeda dari bahan limbah. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post