BENDERA merah putih berkibar, tanda dimulainya perang besar. Pasukan Glang-Glang di bawah pimpinan Jayakatwang menyerbu wilayah Singhasari. Serangan yang dilancarkan secara mendadak itu membuat Raja Kertanegara tewas. Keruntuhan Singhasari memuluskan ambisi Jayakatwang membangkitkan kerajaan leluhurnya, Kerajaan Kadiri. Peristiwa yang terjadi tahun 1292 ini diceritakan dalam Prasasti Kudadu di Gunung Buthak, Malang.
Simbol kemenangan Jayakatwang berupa bendera merah putih menginspirasi Pemerintah Kabupaten Kediri ketika merangcang pakaian khas Kediri. Baju yang didominasi warna merah maroon dan putih terang ini tak hanya menampilkan keindahan batik dan motif. Di baliknya terdapat beragam filosofi dan kisah-kisah sejarah seputar peradaban Kediri.
“Pakaian khas ini benar-benar baru diciptakan, bukan pakaian adat yang merupakan turunan terdahulu,” ujar Yuli Marwantoko, Kepala Bidang Sejarah dan Purbakala, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) saat ditemui di kantornya pada Kamis, 2 Mei 2022.
Pemerintah Kabupaten Kediri secara resmi meluncurkan busana khas ini pada Rabu, 25 Maret 2022. Terdiri dari Wdihan untuk laki-laki dan Ken untuk perempuan, rancangan pakaian ini melalui sejumlah kajian selama dua bulan penuh. Salah satunya, pengujian secara komprehensif di Balai Pelestarian Nilai Budaya di Jogjakarta.

Yuli menambahkan, dalam perumusan busana ini Disbudpar mengajak beberapa elemen masyarakat. Mulai dari budayawan, seniman, pembatik, akademisi, maupun dinas-dinas terkait. Sebab, proses pencetusan pakaian khas tidak bisa sembarangan, perlu kajian dari segi literatur, arkeologi, sastra, bahkan seni rupa. Sejumlah pegiat budaya yang turut andil antara lain Imam Mubarok Muslim, Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri (DK4) dan Novi Bahrul Munif, Ketua Komunitas Pelestari Sejarah dan Budhaya Kadiri (PASAK).
“Dari rapat bersama pegiat budaya dan sejarah di Kediri, menghasilkan dua jenis pakaian untuk laki-laki dan satu untuk perempuan,” kata pria yang menjabat sebagai Sekretaris Tim Kajian pakaian khas Kediri.
Baju berjenis Wdihan Satria Kadiri yang terdiri dari Surjan dan Asinjang digunakan pada acara-acara atau upacara resmi. Sedangkan untuk kegiatan umum memakai Wdihan Mapanji Kadiri berupa rompi dan celana. Perempuan hanya satu jenis, yakni Ken Kadiri hampir mirip dengan Wdihan Satria, tapi ada tambahansanggul dan selendang.
Eko Priatno, Kabid Museum dan Purbakala Disparbud Kabupaten Kediri menjelaskan jika penentuan motif, warna, dan bentuk pakaian ditentukan berdasarkan tiga hal. Pertama, artefaktual berupa benda-benda peninggalan seperti relief, candi, dan arca. Kedua, tekstual atau diambil dari karya sastra kuno dan cerita rakyat atau dongeng. Ketiga yaitu kajian ekokultural, melihat Kerajaan Kediri dengan pendekatan lingkungan, ekonomi, dan budaya pada era lampau.

Baju surjan dan kalambi dipilih menjadi model dasar pakaian khas. Pakaian yang sering dipakai pada ritual adat Jawa tersebut ditampilkan secara sederhana dengan belahan tengah berkancing, sedangkan kalambi lebih kepada rompi dengan baju dalam putih. Pemilihan tersebut didasarkan pada temuan pada arca Candi Sewu, Singosari, Adan-adan, dan Sumbercangkring. Dari kajian etnografis wilayah Kediri abad ke 12 yang agraris dan profesi masyarakatnya kebanyakan petani.
“Pada zaman itu orang banyak yang jadi petani, jadi butuh baju yang sejuk dan fleksibel buat kerja,” ujar Eko.
Untuk motif, terdapat motif sulur lidah api atau dahana, nama itu diambil dari ibu kota Kerajaan Kediri, Dahanapura. Motif itu didapatkan dari relief candi dan prasati dalam rentang waktu tahun 1045-1222. Sumbernya berasal dari Prasasti Tangkilan, Blumbung, Adan-Adan, Nambakan, Bogem, dan Goa Selomangleng. Akan tetapi, bentuk lidah api di pinggiran baju adalah kreasi baru, dan ditentukan saat diskusi bersama ahli sejarah dan perupa.
Eko menambahkan, batik pada baju khas Kediri bercorak pageringsingan dan tunjung ijo. Sedangkan pemilihan kain adodot berdasar pada penilitian G.P. Rouffaers dan H.H Juynboll pada buku De Batik-Kunst in Nederlandsch-Indie en haar geschiedenish. Buku terbitan 1900 tersebut mengatakan jika batik pertama kali ditemukan di jawa sekitar abad ke-12 dengan motif gringsing atau sisik naga. Di era tersebut kerajaan yang berkuasa di Pulau Jawa yaitu Kerajaan Kadiri.

“Untuk motifnya tambahan sesuai Prasasti Gandhakuti yang berbunyi Adodot Tunjung ijo yang bermakna kain yang dipakai raja Airlangga bergambar untaian teratai hijau,” jelasnya.
Makna filosofis juga muncul pada kain dan selendang berjenis walang sampir. Terdapat motif meander (kelokan sungai) dan tumpal (segitiga) yang ditemui pada Candi Tegowangi. Motif itu melambangkan wilayah Kediri yang berada di bantaran Sungai Brantas dan diapit Gunung Wilis dan Kelud. Selain itu, air melambangkan peradaban, serta kehidupan gunung melambangkan keluhuran dan kedekatan pada Tuhan.
Sebagai pelengkap, terdapat aksesoris ikat pinggang dan ikat kepala. Masing-masing Bernama Asabuk pageringsingan Panjalu dan Iket Jayabhaya. Sabuk berhiaskan Ganesha yang berdiri siap tempur adalah perwujudan ketangguhan dan kekuatan tekad . Sedang penghias kepala Jayabaya yang diambil dari nama Raja Kediri penyatu Jenggala dan Panjalu itu melambangkan kebijaksanaan, kewibawaan, dan luasnya pengetahuan. Ada juga tambahan keris berbentuk lurus dengan wadah keris Kediri atau warangka sandang walikat kadiri.
“Untuk perempuan terdapat tambahan sanggul padmagiri. Hiasan kepala beruntaikan teratai berarti keindahan dan keharuman yang semerbak,” ucap Eko.
Pakaian khas asal kediri ini sudah ditampilkan di berbagai acara di dalam maupun luar negeri. Misalnya Pentas Duta Genre se-Indonesia, Bimbingan Teknis Pegiat Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di Makassar, Pertemuan Desa Budaya oleh Kementerian Desa di Jogja, dan Pentas Seni dan Fashion Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) di Istanbul, Turki.
Ke depan, baju ini dapat dipakai sebagai pakaian resmi di instansi Pemerintah Kabupaten Kediri. Busana ini juga menyiratkan pesan jika kawasan Kediri amat kaya budaya dan sejarah. Peluang ekonomi juga dapat diraih pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari pembuatan dan penjualan pakaian khas Kediri ini. (Ahmad Eko Hadi)
Discussion about this post