Jombang, daerah yang populer dengan sebutan kota santri, didapuk menjadi tuan rumah agenda ASEAN Youth Interfaith Camp (AYIC) 2017. Kegiatan tersebut melibatkan para pemuda dari negara yang tergabung dalam ASEAN dan beberapa negara undangan lainnya. Total 150 pemuda dari 22 negara berpartisipasi pada acara yang berlangsung pada tanggal 28-30 Oktober 2017 itu.
“Tolerance in Diversity for ASEAN and World Harmony” menjadi tajuk acara AYIC 2017. Kegiatan bertaraf internasional ini, terselenggara hasil dari kerja sama antara Kementrian Luar Negeri dan Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU) Jombang. Selama tiga hari pelaksanaan, peserta dari berbagai negara diajak untuk berdialog tentang arti keberagaman, serta mengenal lebih dekat keberagaman masyarakat Kabupaten Jombang.
“Jombang kita pilih karena sejarah panjangnya dalam hal pluralitas beragama,” ujar Isman Pasha, Kepala Sub Direktorat Kerjasama Pembangunan Sosial Budaya ASEAN, Kementrian Luar Negeri, Senin, 30 Oktober 2017.
Lebih lanjut Isman mengatakan, pemahaman mengenai pentingnya keberagaman harus terus digencarkan. Arus informasi yang menjurus pada provokasi di era modern semakin deras. Menurutnya, hal itu wajib disikapi dengan bijak. Lewat agenda ini, harapannya bisa mencegah konflik antar suku dan agama. “Agar peserta open minded pada keberagaman,” tegasnya.
Selain diajak untuk berdialog, pada hari terakhir acara tepatnya Senin, 30 Oktober 2017, peserta diajak untuk mengunjungi tempat-tempat ibadah di Jombang. Salah satu lokasi yang ditunjuk adalah klenteng Hong San Kiong di desa Gudo. Wihara Tri Dharma (Budha, Khongucu, dan Tao) tersebut merupakan yang tertua di Kabupaten Jombang.
Klenteng yang berdiri sejak tiga abad yang lalu itu, kerap kali menjadi tempat perhelatan entah pelatihan atau sekedar diskusi tentang keberagaman. Pada bulan Agustus lalu misalnya, komunitas Gusdurian Jombang dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jawa Timur menggelar acara training penggerak perdamaian di klenteng tersebut.
Ketua Klenteng Hong San Kiong, Tony Harsono, mengatakan, ia sangat mendukung acara bertema keberagaman. Pria penggerak kesenian tradisional tionghoa potehi ini, merasa bangga Klenteng Hong San Kiong jadi tempat belajar tentang pluralitas para peserta AYIC 2017 dari berbagai negara itu.
Ketika para partisipan acara tiba di Klenteng Hong San Kiong, mereka disambut oleh pertunjukan kesenian barongsai dan wayang potehi. Khusus mengenai potehi, klenteng ini merupakan salah satu wadah pelestarian kesenian tradisional itu. Potehi asal Gudo gaungnya sudah terdengar hingga ke luar negeri. Di tahun ini, mereka sudah pentas ke Taiwan dan Malaysia.
![](https://kediripedia.com/wp-content/uploads/2017/10/IMG_1711.jpg)
Seorang peserta Asean Youth Interfaith Camp (AYIC) 2017 asal Inggris, Simon Duncan, terlihat menikmati pertunjukan wayang potehi. Selama pentas berlangsung, ia beberapa kali berpindah tempat mencari angle foto yang tepat. “Potehi ini cukup menarik, karena sangat beragam cerita dan karakter,” ujar pria asal Southamton Inggris itu.
Simon bercerita jika di negara asalnya juga ada kesenian yang hampir serupa bernama “Punch and Judy”. Bedanya,” Punch and Judy” hanya ada belasan karakter, sementara potehi ini bisa ada puluhan hingga ratusan karakter.
Saat diwawancara perihal pendapatnya tentang keberagaman, Simon mengaku sangat terkesan dengan kemajemukan suku dan agama di Indonesia. Mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Indonesia, menurutnya suatu pengalaman yang luar biasa. “Ketika negara lain ingin belajar mengenai keberagaman, mereka harus datang ke Indonesia,” tambah Simon. (Kholisul Fatikhin)