BAU tanah basah masih menguar di lapangan terbuka Gedung Olah Raga Jayabaya, Kota Kediri, Jawa Timur, ketika ritual pogo-pogo, moshing, dan headbang para penonton mengiringi lagu terakhir band Tenggorokan. Aksi gahar para musisi yang berkomplot di komunitas Kediri Kingdom Death Metal ini memungkasi pagelaran Rock Heroes 2, even musik tahunan memperingati Hari Pahlawan. Di depan panggung, penonton bergandengan tangan membentuk lingkaran, lalu berlompatan sembari saling membenturkan badan.
“Perhelatan ini bukan hanya untuk pecinta musik rock, tapi juga penghormatan pada seluruh pelestari seni budaya seperti wayang kulit, ketoprak, jaranan. Semoga Kediri segera punya gedung pertunjukan yang hebat biar nggak malu sama kota lain,” kata Viky, vokalis Tenggorokan, disambut teriakan penonton, Selasa, 10 November 2015 tengah malam.
Rangkaian acara yang dikomandani David CB ini cukup menggugah. Selain panggung musik, diselingi juga konvoi dan doa klub otomotif di Taman Makam Pahlawan pada pukul 15.00 – 16.00. Mendung tebal dan gerimis sepanjang sore hingga petang tak menyurutkan semua orang yang terlibat dalam acara itu.
Aksi panggung yang digelar sejak pukul 13.00, berakhir hampir pukul 24.00, molor sejam dari jadwal yang diagendakan. Beruntung, aparat keamanan terlihat setia menjaga keamanan dan bisa memahami antusias para pecinta musik cadas. “Ini tahun kedua Rock Heroes,” kata Doni ‘Bejo’ Susanto, Co-director Rock Heroes 2.
Menurut dia, Rock Heroes adalah bentuk dedikasi para anggota Kediri Rock Community untuk mengenang jasa para pahlawan bangsa. Selain itu juga menghormati para musisi terdahulu yang hingga kini musiknya masih didengar dan dimainkan. “Menjadi tribute untuk band legendaris dan apresiasi pada musisi muda,” kata Doni.
Kalimat Bung Doni sepertinya benar. Meskipun tidak sehingar-bingar Woodstock Festival di Bethel, New York, pagelaran Rock Heroes 2 mampu menjadi jembatan bertemunya para musisi lintas zaman Kediri. Perhelatan yang juga menandai 3rd Anniversary Kediri Rock Community itu seperti jambore para pengusung musik bernafas pemberontakan.
Tercatat sedikitnya 22 band turut berpartisi dalam acara yang tak mengutip tiket masuk itu. Apocalipse, GMT, Avenger, Viber, U-vibe, Snapburn, Afterlife, Alfamotion, Flashlight, Get Married, Aeroplane: menggebrak panggung sepanjang siang hingga menjelang maghrib. Dilanjutkan dengan Kediri Drum Squad, Brandalan, Metronome, CB Band, DAAD, CB Band Veteran, Mushroom, Tempo Doeloe, Floyd, Emmy Band, dan Tenggorokan.
Cukup menggetarkan ketika tiba-tiba Tom Sawyer, lagu milik Rush mengemuka di panggung. Betotan bass dan vocal Geddy Lee terasa hadir seperti gegap-gempita tahun 1980-an, ketika aliran progressive rock berjaya. Para pemain band CB Veteran mampu menghadirkan ruh kelompok musik asal Kanada itu. Beberapa lagu God Bless juga mampu menghipnotis penonton. Komposisi rumit seperti lagu Musisi mampu dibawakan Neo CB Band dengan presisi akurat.
Selain geng CB, grup-grup eksis Kediri juga tampil dengan konsep tribute. Mushroom membawakan lagu-lagu Metallica, Tempo Doeloe menampilkan Beatles, Floyd mengusung Red Hot Chili Peppers, dan Tenggorokan menggebrak dengan konsep brutal death metal dan beberapa lagu milik Sepultura.
Suasana asyik tampak di deretan penonton di luar pagar ketika Emmy Band menampilkan empat komposisi Deep Purple. Perfect Stranger, Black Night, Smoke on the Water, dan Highway Star mampu menggerakkan orang-orang sepuh bangkit dari kursinya di warung kopi. Mereka mendekati panggung dan larut dalam garukan melodi Yoyok yang berdesau mirip lentingan dawai Ritchie Blackmore.
“Saya sangat menikmati munculnya teman-teman yang cukup lama hilang dari panggung. Semoga tahun depan bisa terus digelar,” kata Eka Hasya, bassis Dupa Band yang menonton dari belakang mixer.
Joko Bank, gitaris band Suku Qlawu juga mengapresiasi Rock Heroes 2. Tapi, musisi beraliran progressive hymne metal ini menyayangkan kualitas sound system yang menurun ketika beberapa band tampil. “Semoga ke depan bisa lebih terkontrol karena kunci pertunjukan musik rock itu pada kualitas suara yang dihasilkan, bukan hanya aksi panggungnya” kata Joko.
Tepat pukul 24.00, panitia mematikan lampu penerang lokasi Rock Heroes 2. Namun penonton seperti enggan meninggalkan venue. Beberapa orang masih bercakap-cakap tentang performance band-band yang baru mereka tonton. Sebagian lainnya duduk, diam: larut dalam zaman keemasan musik rock beberapa tahun silam.
Jika ada yang gundah tentang masa depan musik rock, mungkin perhelatan Rock Heroes 2 bisa menjadi jawaban. Pelataran terbuka GOR Jayabaya membuktikan, musik cadas yang lahir dari jiwa-jiwa pemberontak masih dicinta orang-orang yang tak malu meneriakkan, “Rock never die…” (Dwidjo U. Maksum)