SEJUMLAH bangunan berarsitektur Indische Empire Style bekas Belanda masih berdiri kokoh di Desa Sidorejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Di antaranya, gereja yang terletak di dekat monumen kincir angin. Dari kejauhan, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Sidorejo tampak megah dengan pilar, pintu, serta jendela besar. Pada dinding tempat ibadah itu terdapat prasasti bertuliskan 16 Juli 1933.
Sekitar seratus meter dari gereja terdapat klinik Kesehatan Mitra Waluya. Permukaan dinding atas atau fasad balai kesehatan itu tertulis angka tahun 8-3-1918. Saat pandemi Flu Spanyol pada 1920, klinik tersebut diduga kuat menjadi lokasi berobat para pasien yang tertular virus mematikan tersebut. Kala itu, di daerah Karesidenan Kediri terdapat puluhan ribu korban meninggal akibat Flu Spanyol.
“Daerah ini menjadi permukiman umat Kristiani sejak era Kolonial Belanda,” kata Bagus Krisdijanto, Kepala Desa Sidorejo, Kamis 1 Juni 2022.
Dia menjelaskan, hampir 95 persen penduduk Desa Sidorejo, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, memeluk agama Kristen atau Nasrani. Jika suatu saat berkunjung ke kawasan di selatan Kampung Inggris Pare ini, jangan kaget bila kumandang adzan penanda waktu salat umat Islam nyaris tak terdengar. Selain itu, tidak perlu panik ketika menjumpai puluhan anjing peliharaan warga berkeliaran di jalanan.
Pria pengkoleksi benda antik itu bercerita, kisah awal mula warga Kristen di Sidorejo amat berkaitan dengan erupsi Gunung Kelud. Keterangan itu didapat dari riwayat yang ditulis pengurus Yayasan Badan Pendidikan Kristen (YBPK) Cabang Sidorejo. Lembaga inilah yang mengelola gereja, klinik, serta lembaga pendidikan tingkat sekolah dasar dan menengah di desa seluas 651 hektar itu.
Dari informasi para sesepuh desa, gereja dibangun bersamaan dengan dibukanya lahan pertanian tembakau dan kopi. Tanah di daerah tersebut sangat subur karena dialiri lahar dingin letusan Gunung Kelud. Tersebab menjadi lintasan lahar, daerah tersebut dulunya bernama Gerojogan, Parerejo.
Sayangnya, keganasan erupsi Sang Kampud mengubur perkampungan. Ratusan penduduk terpaksa pindah tempat tinggal.
Tanah persil itu selama puluhan tahun dibiarkan bongkor atau terbengkalai. Pohon ploso, glagah, alang-alang, dan semak belukar tumbuh lebat. Pada tahun 1895 umat Kristen Kediri dan Madiun menggelar rapat. Ketua Gereja Besar Kediri bernama T. Dumenek memohon agar persil Gerojogan yang tak terurus itu dimanfaatkan gereja. Permohonan Dumenek kemudian dikabulkan oleh pejabat Residen Kediri di zaman Belanda.
“Persil Gerojogan dimanfaatkan untuk menampung umat Nasrani yang secara ekonomi kurang mampu,” ujar Kepala Desa yang menjabat 2 tahun lalu itu.
Ratusan warga akhirnya kembali menghuni bekas perkebunan tersebut. Mereka di antaranya berasal dari jemaat GKJW dari kawasan Kediri dan Mojowarno, Kabupaten Jombang.
Pada tanggal 11 November 1936, daerah Parerejo Gerojogan berdiri dengan nama baru, yaitu Sidorejo. Diambil dari kata “Sido” yang berarti Jadi, dan “Rejo” berarti Ramai. Warga Kristen laki-laki kebanyakan bekerja sebagai petani, sedangkan perempuan membuat kerajinan kain rajut. Keterampilan ini diajarkan oleh para Suster Gereja dari Belanda dan masih ditekuni warga Sidorejo hingga sekarang.
Seiring waktu, pendatang beragama Islam masuk ke Desa Sidorejo pada 1940-an. Umat muslim itu datang dari kawasan Kediri dan Nganjuk. Warga pemeluk Islam tidak tinggal di pusat keramaian desa. Mereka mendirikan masjid di batas desa wilayah utara dan selatan.
Kini, masyarakat muslim di Sidorejo sekitar 250 keluarga. Sedangkan umat Nasrani berjumlah lebih dari 7000 orang. Walaupun berbeda agama, masyarakat hidup berdampingan dengan damai. Setiap perayaan hari besar Islam maupun Kristen, mereka saling membantu dan merayakan bersama-sama.
Bagus menambahkan, dia berencana mengembangkan potensi desa yang kaya dengan gedung bernuansa vintage. Sejumlah bangunan tua itu akan terus dilestarikan agar di kemudian hari dapat menjadi kunjungan wisata. (Ahmad Eko Hadi, Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post