PERJUANGAN bangsa Indonesia merebut kemerdekaan tak dapat dilepaskan dari peran kyai dan ulama. Salah satunya lewat Resolusi Jihad yang ditiupkan KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdatul Ulama (NU). Seruan jihad itu menggema di surau, masjid, dan pondok pesantren, lalu membakar semangat para santri berperang melawan penjajah.
Ketika kemerdekaan sudah diraih, ajaran nasionalisme di pesantren terus dipertahankan. Di antaranya, bisa dijumpai di Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Pesan-pesan membela Tanah Air dan menjaga NKRI itu disampaikan melalui media lagu atau syi’ir.
“Semangat kebangsaan tetap dijaga lewat kesenian dan setiap santri wajib melafalkan lagu ini,” kata Mochamad Chamdani Bik atau yang akrab disapa Gus Bik, Pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kamis 22, Juni 2023.
Kasidah yang mengajarkan cinta negara ini diperkirakan muncul pada tahun 1950an. Di naskah aslinya terdapat 28 bait berisi beberapa nasehat seperti bela negara, berbakti kepada guru, orang tua, dan membela agama. Namun, mars yang kini diajarkan hanya 9 bait saja.
Lirik itu ditulis ayah Gus Bik yaitu Kyai Shodiq. Penggalan syair yang terkandung nilai nasionalisme antara lain sebagai berikut: Pemuda Salfiyah Indonesia / Junjunglah serta agama kita / Gembira setia bangsa kita / Dengan mengorbankan tenaga / Bersama mengibarkan bendera / Untuk bangsa Indonesia.
“Lagu itu muncul kemungkinan karena dalam catatan sejarah, Pesantren Kapurejo lekat dengan perjuangan kemerdekaan,” ujar Gus Bik.
Pesantren Kapurejo didirikan Kyai Hasan Muchyi pada 1880. Ulama bernama asli Raden Ronowijoyo itu merupakan panglima perang Pangeran Diponegoro. Kyai Hasan Muchyi adalah teman seperjuangan kawan Sentot Prawirodirdjo yang juga pengikut Diponegoro.
Menjelang kemerdekaan, anak Kyai Hasan Muchyi menikah dengan Kyai Hasyim Asyari, pendiri NU. Hasyim Asyari sempat bermukim di rumah peninggalan Kyai Hasan Muchyi. Di rumah itulah, rancangan Resolusi Jihad mulai dibahas serius.
“Konon sejumlah tokoh pernah singgah di rumah tersebut, seperti Soekarno, Tan Malaka, hingga Jendral Soedirman,” kata Gus Bik.
Sejarah itulah yang akhirnya juga mengilhami lahirnya kasidah kebangsaan. Ayah Gus Bik, Kyai Shodiq, dulunya juga pejuang Laskar Hizbullah. Selain lewat kasidah, warisan perjuangkan dijaga dengan membentuk kelompok drumband.
Syariat, salah seorang pengajar di Ponpes Kapurejo menjelaskan, keberadan drumband di pesantren adalah perwujudan suara genderang Perang Badar. Setiap ketukan harapannya bisa membangkitkan semangat juang. Demikian pula dengan pemimpin barisan drumband atau mayoret, wajib berwarna merah atau putih yang melambangkan bendera Indonesia.
“Gerakan mayoret diambil dari gerakan silat, untuk menghalau musuh,” ujar Syariat.
Menurutnya, drumband adalah bentuk sikap bela negara, sedangkan mars atau kasidah merupakan pondasi membentuk karakter santri. Lagu ini wajib dikaji secara mendalam oleh santri yang hendak lulus.
Selain sebagai refleksi, kasidah berfungsi sebagai bekal para santri di kehidupan mendatang. Sehingga, semangat juang dalam belajar, berbakti, membela tanah air, dan agama dapat diamalkan hingga akhir hayat. (Kholisul Fatikhin, Ahmad Eko Hadi)
Discussion about this post