RATUSAN pemuda berkumpul di parkiran kampus Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri pada Rabu malam, 28 September 2022. Mahasiswa, pegiat literasi, dan sejumlah aktivis di Kediri tampak menghayati pemutaran film berjudul Kiri Hijau Kanan Merah garapan Watchdoc Documentary. Film ini mengisahkan perjalanan hidup Munir Said Thalib, seorang aktivis Hak Asasi Manusia. Mulai dari cerita masa kecil, perjuangan ketika menjadi aktivis HAM, hingga akhirnya tewas dibunuh di pesawat ketika perjalanan ke Belanda untuk melanjutkan studi S2.
Nobar film diinisiasi oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Kediri (PPMI DK Kediri) untuk memperingati dan mengenang kasus yang dialami Munir. Acara yang diberi nama Ngopi Rasan-Rasan (Ngopras) #1 itu mengusung tema “September Hitam; Nobar dan Panggung Bebas”. Acara ini juga berkolaborasi dengan AJI Kediri, Kediripedia.com, dan Sinema Kadirian, serta beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa di IAIN Kediri seperti Kanda, Kerohanian, dan Mapala Nayotama Universitas Pawyatan Daha.
Usai film berdurasi 48 menit itu selesai diputar, Saphira Noor Adlina dari KontraS Surabaya menyebut bahwa kasus Munir merupakan pelanggaran HAM berat. Sebab, pembunuhan Munir dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan masif, bahkan dilakukan dengan cara tidak wajar.
“Munir merupakan sosok aktivis pembela masyarakat sipil hak-haknya yang dirampas dan ditindas. Akan tetapi, negara justru menghilangkan nyawa Munir dan tidak ada kejelasan sampai sekarang,” jelas Saphira.
Dia menambahkan, seharusnya nama Munir ini masuk dalam daftar pahlawan Indonesia. Hingga kini, para aktivis dan advokat HAM masih terus memperjuangkan agar kasus Munir segera mendapat keadilan. Namun hasilnya nihil, negara justru bungkam dan acuh atas apa yang dialami Munir.
Diskusi tersebut juga membahas tentang hal-hal penting yang dapat dipelajari dari sosok Munir. Semasa hidup, ia tidak membeda-bedakan soal ideologi, ras, dan agama dari setiap orang. Ia membela kaum-kaum marjinal tanpa melihat latar belakangnya. Sebut saja kasus penculikan para aktivis HAM pada 1997-1998, tragedi Semanggi 1998, pembunuhan Marsinah, dan kasus pelanggaran HAM lain di Indonesia.
“Tiga hal yang perlu kita pelajari dari Munir. Pertama soal humanisme, kedua sosialisme, dan ketiga adalah Islamisme kritis. Dan ini tadi sudah ditunjukkan dalam film dokumenter tadi,” kata Moh. Fikri Zulfikar, Divisi Advokasi AJI Kediri.
Melalui pemutaran film ini, setidaknya perjuangan Munir membela ketidakadilan negara pada rakyat dapat diteruskan. Di antaranya kasus-kasus yang dialami jurnalis, mahasiswa, dan pejuang HAM yang kerap dikriminalisasi dan terus mendapat represi.
Acara yang berlangsung selama hampir 4 jam ditutup dengan panggung bebas. Acara yang digelar untuk merefleksikan ketidakadilan itu diisi dengan penampilan teater dan pembacaan puisi dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Komunitas Pemuda Progresif, Aksi Kamisan Kediri, dan AJI Kediri. (Rokhimatul Inayah, Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Kediri)
Discussion about this post