KETIKA Pramoedya Ananta Toer menghembuskan nafas terakhirnya di Jakarta pada 30 April 2006, boleh jadi ia tak menyangka, berbagai benda yang lekat semasa hidupnya kini dirawat oleh Angga Okta Rachman, salah seorang cucunya. Angga masih berusia empat belas tahun, saat pengarang novel berjudul Bumi Manusia itu berpulang.
Sedari kecil Angga tinggal bersama sang kakek di sebuah rumah di Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Gambaran tentang sosok “opa” yang memiliki sikap tegas tapi sangat penyayang, masih menempel kuat dalam kenangan sarjana lulusan Universitas YAI Jakarta ini. Bersinggungan dengan berbagai piranti kerja Pram, seperti mesin ketik manual, ribuan buku, dokumen, surat, hingga klipping surat kabar, adalah keseharian yang sering dilakukan di masa belianya.
Lelaki penghobi otomotif ini mengaku telah membaca seluruh karya kakeknya. Namun, ada satu judul buku yang tak sanggup ia baca, yaitu Nyayian Sunyi Seorang Bisu. Baru membaca beberapa kalimat, Angga sudah tidak kuat untuk melanjutkannya.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu merupakan karya berupa kumpulan catatan memoar. Tidak seperti karya-karya yang lain, buku tersebut merupakan satu-satunya karangan bergenre non-fiksi yang ditulis Pram semasa menjadi tahanan politik di Pulau Buru, Maluku pada tahun 1966 hingga 1979.
Berisi tentang kegelisahan hati Pram, sebagai seorang suami dan ayah yang ketika itu dijauhkan dari keluarga. Dalam lektur tersebut juga terselip surat-surat pribadi Pram kepada anak-anaknya. Namun, tak pernah tersampaikan.
“Bagi keluarga, tulisan-tulisan di buku itu sangat mengaduk-aduk perasaan,” ujar Angga saat menghadiri acara Workshop Pengembangan Taman Baca di TBM Gelaran Jambu Daar El Fikr, Kayen Kidul, Kabupaten Kediri, Sabtu, 7 Juli 2018.

Selain tentang cerita pribadi Pram, buku itu menjadi rekaman kehidupan tahanan politik lainnya yang juga dibuang ke Pulau Buru. Angga menuturkan, ia beberapa kali berinteraksi dengan kawan-kawan Pram yang juga diasingkan serta para keluarga korban peristiwa 65. Dari mereka, banyak yang mengucap terimakasih. Melalui catatan-catatan yang ditulis Pram, para keluarga mendapat informasi berharga; sehingga tahu bagaimana gambaran kehidupan dan kondisi saudaranya saat dibuang ke pulau pengasingan itu.
Sepeninggal Pram, rumah di Bojong Gede kini ditempati Angga dan bibinya, Astuti Ananta Toer. Selain berkebun, keseharian anak sulung Pram itu diisi dengan merapikan setiap arsip kepunyaan Pram. Melihat kegigihan bibinya bekerja saat tengah malam hingga tembus pagi, Angga yang kebetulan gemar begadang berinisiatif membantu.
Kegiatan membantu sang bibi, terus berulang hari demi hari. Angga ikut menyisir tumpukan arsip-arsip Pram yang menggunung. Ketekunan yang ditunjukkan Angga, membuat keluarga besar terutama Astuti yakin, jika ia adalah sosok yang tepat untuk mengemban amanah; mewarisi dan menjaga semua karya-karya sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah itu.
Saat disodori tanggung jawab tersebut, Angga tak bisa mengelak. Menurut pria berkaca mata ini, mendapat kepercayaan itu seperti sudah digariskan oleh semesta.
“Saya siap merawat semua karya-karyanya opa,” kata Angga. (Kholisul Fatikhin)