SELASA pagi, 29 Januari 1907, suasana di Dukuh Bendungan, Desa Barong, Kecamatan Tanjung Anom, Nganjuk, terasa mencekam. Sebanyak 43 orang bersenjatakan keris, tombak, arit, parang, dan batu, menyatroni Pabrik Gula Kutjonmanis yang dikelola Pemerintah Hindia Belanda. Warga desa memekikkan berbagai kalimat protes agar pabrik ditutup, bahkan berupaya menyerang buruh yang tengah bekerja.
Gerakan rakyat Nganjuk melawan Pemerintah Belanda itu dipimpin oleh Kiai Dermojoyo. Tokoh ulama itu murka pada kebijakan Belanda yang semakin menyengsarakan warga. Belanda yang sebelumnya sepakat menghapus aturan landelijk stelsel atau sistem sewa tanah, ternyata ingkar janji. Apa yang terjadi justru sebaliknya, uang pajak tanah semakin meningkat.
Dari kelicikan Belanda itulah kisah yang populer disebut “Geger Dermojoyo” ini bermula. “Keberanian Kiai Dermojoyo menentang Belanda sangat bulat, karena terinspirasi kisah perlawanan Pangeran Diponegoro,” kata Aries Trio Effendi, pemerhati sejarah Nganjuk, Senin 14 Mei 2021.
Dia menjelaskan, kemiripan gerakan Dermojoyo dengan Diponegoro ketika melawan Belanda, yaitu keduanya sama-sama mengangkat diri sebagai Ratu Adil. Mitologi yang kemudian membakar semangat bertempur Dermojoyo ini datang dari Prabu Jayabaya. Raja Kerajaan Kediri itu dalam kitabnya berjudul Jangka Jayabaya menyebutkan, akan datang seorang pemimpin yang menjadi penyelamat, membawa keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Salah seorang penyusun buku Dermojoyo, Pejuang Kabupaten Nganjuk itu melanjutkan, gerakan Dermojoyo dan Dipenogoro bisa dikatakan masih dalam satu benang merah. Wawasan terkait Ratu Adil didapatkan Dermojoyo ketika menjadi murid Kiai Hasan Besari. Pendiri Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo itu merupakan teman seperjuangan Diponegoro ketika terjadi Perang Jawa tahun 1825-1830.
“Tujuan dari gerakan Dermojoyo bukan ingin menggulingkan pemerintahan kolonial, ini adalah respon atas ketidakadilan,” ujar Eko Jarwanto, penulis buku Ngandjoek dalam Lintasan Sejarah Nusantara.
Dia menambahkan, pemerintah kolonial yang menduduki Nganjuk sering berbuat kecurangan. Bukan hanya tentang pajak, Belanda juga membeli hasil bumi seperti tebu dari para petani dengan harga rendah. Berbagai kelicikan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda itu membuat rakyat hilang kesabaran dan akhirnya melawan.
Sedangkan menurut kajian literatur yang dilakukan Aries, pihak kolonial sebenarnya tak menyangka akan terjadi pertempuran. Sebab, kondisi saat itu masih dalam suasana hari raya kurban atau Idul Adha.
Akan tetapi, informasi adanya perlawanan ternyata bocor ke telinga Wedana Warujayeng. Wedana adalah jabatan saat era kolonial di bawah Bupati. Sialnya, pejabat dari orang asli pribumi itu adalah kaki tangan kolonial Belanda.
“Kemarahan Dermojoyo juga dipicu oleh pejabat dari kalangan pribumi yang terlalu tunduk pada Belanda, sehingga merugikan rakyat Nganjuk,” kata Aries.
Wedana Warujayeng meminta agar aksi massa dibubarkan. Namun, pengikut Dermojoyo pantang mundur. Mereka malah semakin beringas dan berteriak lebih keras.
Perlawanan yang gagal dihentikan akhirnya dilaporkan ke Asisten Residen Nganjuk, C.C.M Henry. Usai menerima laporan itu, Henry menuju ke Pabrik Gula Kutjonmanis dengan membawa pasukan untuk menghentikan Dermojoyo.
Namun, tidak semudah itu menghentikan perlawanan tersebut. Para pejuang kembali menyerang Henry dan pasukannya secara brutal. Pihak Dermojoyo akhirnya berhasil memenangkan pertempuran di depan Pabrik Gula itu.
Ketika mendengar kekalahan Henry dan pasukannya, pejabat lokal Belanda bernama E. Constant datang membantu dengan mengerahkan pasukan tambahan. Namun, serdadu yang dipimpin oleh E. Constant juga kalah. Alhasil, Belanda memutuskan untuk mundur.
Pertempuran menyebabkan Henry, sang Asisten Residen terluka parah. Selain itu, dari pihak Belanda yang gugur yaitu Wedana Nganjuk, Kepala Desa Kauman, serta dua orang Oppas atau petugas keamanan Belanda.
Henry tidak tinggal diam dengan kegagalan membendung serangan Dermojoyo. Dia lantas mengirim telegram meminta bantuan pasukan militer dari Surabaya. Permintaan itu langsung direspon secara cepat. Di siang harinya, serdadu bersenjata laras panjang datang dari Surabaya dengan menggunakan kereta api. Mereka turun di sebuah stasiun kecil di sebelah selatan Dukung Bendungan, lalu menuju Pabrik Gula Kutjonmanis.
“Lewat gempuran pasukan militer Belanda bersenjata lengkap, baru gerakan Dermojoyo dapat dihentikan,” ujar Eko.
Senjata berupa keris, sabit, batu, parang, dan tombak tentu tak bisa melawan pasukan artileri Belanda. Meski sempat melarikan diri, Dermojoyo beserta pengikutnya tak bisa menghindar dari gelontoran peluru senjata api.
Dia tewas tepat di halaman pekarangan rumahnya di Dukuh Bendungan. Jenazah Dermojoyo dan pengikutnya dikubur di pemakaman umum Desa Kedungrejo. Mereka ditempatkan di satu liang lahat.
Meski Dermojoyo sudah kalah, Belanda rupanya tetap merasa gelisah. Pertempuran tersebut membuat orang-orang Eropa yang tinggal di wilayah Karesidenan Kediri, terancam. Mereka takut peristiwa itu akan memicu gerakan perlawanan lainnya.
Alhasil, Belanda melakukan penjagaan lebih ketat. Bahkan, kejadian itu juga dimuat dalam surat kabar Hindia Belanda, agar semua daerah jajahan mengambil sikap waspada.
Laporan itu menyebutkan, terdapat tanda-tanda jika murid-murid Dermojoyo masih berkeliaran. Ada dugaan, murid Dermojoyo tersebar bukan hanya di wilayah Nganjuk, mereka ada di setiap daerah di Jawa Timur. Mereka bersembunyi di pondok pesantren dan lereng Gunung Wilis untuk kemudian melancarkan aksi serupa. Namun, serangan balasan itu tak pernah terjadi.
Usai Indonesia merdeka, nama Dermojoyo terus melekat di ingatan warga Kabupaten Nganjuk. Untuk mengabadikan kisah perjuangannya, Dermojoyo dijadikan nama jalan di sejumlah kawasan di Kabupaten Nganjuk. Di antaranya, di Kelurahan Payaman, Tanjung Anom, dan Berbek. Bagi masyarakat Kota Angin, Dermojoyo dikenang sebagai tokoh yang lebih baik mati dari pada tunduk pada Belanda. (Kholisul Fatikhin)
Discussion about this post