SELAIN tahu takwa, kuliner khas Kediri, Jawa Timur yang tak kalah populer yaitu getuk pisang. Makanan bercita rasa asam manis itu cukup mudah dijumpai di kawasan yang terbelah arus Sungai Brantas. Di warung-warung, pasar tradisional, maupun tempat wisata, getuk pisang dijajakan sebagai penganan di kala bersantai atau menjadi oleh-oleh bagi pelancong yang berkunjung ke Kediri.
Di balik keunikan rasanya, siapa sangka jika getuk pisang muncul akibat masa kelam penjajahan Jepang. Masyarakat Kediri yang saat itu berada di bawah invasi tentara Nippon, diterpa kesulitan ekonomi. Bahan makanan yang sulit ditemukan membuat warga mengalami krisis pangan.
“Dari peristiwa itulah akhirnya timbul ide menjadikan olahan pisang menjadi getuk agar dapat menyambung hidup,” kata Novi Bahrul Munib, Ketua Komunitas Pelestasi Sejarah Budaya Kadhiri (PASAK), Sabtu 1 Mei 2021.
Dia menjelaskan, pada era penjajahan Jepang, di bantaran Sungai Brantas banyak tumbuh pohon pisang raja nangka. Jenis pisang yang ukuran buahnya cenderung besar ini kemudian diolah menjadi getuk, agar terasa lebih nikmat ketika dikonsumsi. Getuk pisang menjadi makanan alternatif yang mengeyangkan.
Menurut kajian literatur yang dilakukan Novi, pembuat pertama kali getuk gedang adalah seorang nenek yang tinggal kawasan Mojoroto, Kota Kediri. Data itu dia temukan ketika membaca naskah tua di perpustakaan Universitas Negeri Malang ketika masih duduk di bangku kuliah.
Dari awalnya hanya sebagai makanan darurat, setelah Indonesia merdeka, getuk mulai marak diperjualbelikan. Bentuk jajanan berwarna merah maron ini dulunya dijual dengan cara ditaruh pada cetakan loyang. Apabila ada pembeli, maka akan diiris kotak, seperti halnya penjual getuk lindri yang berbahan dasar singkong.
“Bentuk getuk pisang berubah ketika dipasarkan oleh orang-orang Tionghoa Kediri,” ujar Novi.
Modifikasi yang paling menonjol yaitu tidak lagi menggunakan loyang. Bahan mentah berupa pisang yang telah ditumbuk, lalu dibungkus daun pisang kemudian dikukus. Secara fisik, bentuknya menjadi lonjong menyerupai lontong. Wujud getuk pisang itu tak mengalami perubahan hingga sekarang.

Ketika dipasarkan warga Tionghoa Kediri, getuk pisang banyak diminati masyarakat. Bukan hanya dari Kediri tapi juga dari luar daerah. Puncak kepopuleran getuk pisang terjadi pada tahun 2000-an. Makanan yang telah menjadi identitas Kediri itu menyebar ke berbagai daerah seperti hingga ke luar Jawa Timur.
Sebagai bisnis yang menjanjikan, getuk pisang kini tidak lagi didominasi masyarakat Tionghoa. Warga asli Kediri mulai memproduksi dan memasarkannya dengan beragam label atau merek. Di warung maupun pasar tradisional getuk pisang rata-rata dihargai Rp.5000 untuk ukuran besar. Sedangkan untuk ukuran lebih kecil, harganya Rp. 2500.
“Getuk pisang selain menjadi jajanan yang merakyat, tapi juga mengandung cerita sejarah yang layak dipelajari,” kata Novi.
Menurutnya, Komunitas PASAK telah mengusulkan ke Kemendikbud agar getuk pisang mendapatkan predikat sebagai warisan budaya. Akan tetapi, upaya itu masih belum bisa terealisasi karena sejarah getuk pisang membutuhkan penelitian ilmiah dari kampus atau perguruan tinggi. (Wilynia, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNP Kediri, sedang magang di Kediripedia.com dalam Program Kampus Merdeka Kemendikbud)
Discussion about this post